Senin, 22 September 2008

BEKERJA JUGA BERARTI PERGI BERWISATA


Sudah berbulan kejenuhan menggerogoti semangat dan pikiran. Aku jenuh kerja. Tapi yang lebih anehnya, mulai jenuh makan nasi, apalagi bangun makan sahur. Oh ya hampir saja lupa, jenuh masakan catering ibu depan kantor. Untuk yang terakhir, sudah kuputuskan, mulai bulan depan tidak ada lagi namanya catering. Ternyata, rasa bisa sampai pada titik akhir kejenuhan lidah sebagai alat pengecap rasa.

Barangkali rasa jenuh, kendala psikis yang satu ini, juga meninjui siapapun manusianya, apapun jenis pekerjaannya. Sama seperti istriku, jenuh di Sarolangun. Katanya sepi, jauh dari keramaian. Sekali lalu dia merengek persis kelakuan orang ngidam ; pengen ke toko buku Gramedia, ke Gramedia…. itu katanya. ” Wah kalo yang satu itu mana ada di Sarolangun, Jelee ”. Dengan berat hati, istriku menerimanya. Bagiku sendiri, kelakuannya tak lebih dari suatu kelucuan belaka sekaligus keunggulannya “ istriku gila buku”. Karena tak akan ada satu orangpun berani melarang ‘kegilaan’ seperti ini.

Tentu berbeda dengan kejenuhan. Jenuh adalah penyakit hati. Aku harus keluar sesegera mungkin bagaimanapun caranya. Terkadang terlintas dipikiran, sebaiknya berhenti saja kerja, pindah ketempat baru atau istirahat sama sekali. Untuk situasi sekarang, itu pilihan konyol untuk dilakukan, hidup udah sulit, urusannya bisa jadi berabe, bisa dipecat jadi suami dan menantu.

Disela sisa kantuk bangun sahur, aku berusaha memaknai kembali apa arti bekerja. Mempersenjatai kembali imajinasi, itulah yang harus kulakukan. Menemukan kalimat mantra sugesti maha dahsyat perontok kejenuhan. Dan ini berarti membujuk otak dan imajinasi yang mulai tumpul tertimbun pasir rutinitas.

Setelah beberapa lama nongkrong didepan komputer kantor yang acap kali koma, terserang virus, mendadak saja muncul susunan alpabet didalam kepala ku. Setelah ku urut dan ku eja ternyata dia berbunyi “ Bekerja juga berarti pergi berwisata” . Seolah – olah ada peri kecil pembisik di dalam diriku. Apa maksudnya kalimat tadi ?

Kuselisik lebih dalam, mungkin ini berhubungan dengan tumpukan alam bawah sadar, residu pekerjaanku sebelumnya. Kerja ku sebelumnya walaupun tidak dalam waktu panjang dan permanen, walaupun belum pernah keluar negeri, seringkali aku harus pergi ke tempat baru yang sebelumnya belum pernah ku kenal, Painan, Solok, Batusangkar, Pesisir Kepulauan Mentawai, tepian Batanghari, dan sekarang Sarolangun.

Yang jelas semuanya jauh dari keramaian, pusat segala peristiwa, barometer kekinian. Tapi menurutku sendiri, dimensi keramaian terhubung langsung dengan rangkaian relatifitas sudut pandang atau malahan justru menjadi suatu keadaan bertingkat – tingkat dalam suatu sudut pandang tertentu. Ambil saja contoh : Painan sepi dalam pandangan orang Padang, tapi Painan bisa menjadi ramai bagi penduduk pingiran Painan. Sama seperti istriku memandang Sarolangun sepi di bandingkan Pekanbaru, Tapi bagi Orang Rimba, Sarolangun adalah sebuah belantara keramaian, Kota Metropolitan.

Balik lagi ke soal kerja. Dalam usia seperti sekarang, dari dulu aku selalu memandang dan memberikan kenyakinan, kerja tidak melulu menyangkut urusan penghasilan, kerja juga berarti pergi berwisata. Wisata dalam pengertian seluas – luasnya ; fisik dan batini. Secara fisik, ada sebuah pertemuan, suguhan panorama dari sebuah mobilitas fisik.

Dalam mobilitas fisik seperti itu, terkadang jika situasi menjadi sulit, genting, muncul ketakutan - ketakutan, bahaya membayang dan datang begitu dekat. Pernah, sekali dia tersenyum , dan benar – benar tersenyum kepadaku. Diatas perahu yang bahannya dipahat dari satu glondongan pohon serentangan tangan orang dewasa, setelah selesai kemudian ditambahkan speed boat 25 atau 40 PK dibelakangnya. Masih kuingat betul, bersama rombongan penduduk setempat, menyeberangi ganasnya terjangan ombak Tanjung Pengharapan, dari Boshua menuju Sipora Mentawai, aku merasa begitu kecil, begitu dekat dengan kematian, teringat semuanya, dosa, ibu, bapak, tidak pada perempuan manapun, karena waktu itu aku terputus dengan mata rantai hidup yang diberi nama perempuan.

Tanpa keahlian berenang, tanpa Life Jacket, konyol memang !.Untuk menghilangkan tekanan dan tidak membuat panik penumpang lain, biasanya aku mengambil inisiatif, mengeluarkkan air yang mulai mengenangi perahu dengan ember kecil, sedikit demi sedikit. Dengan pekerjaan itu aku tidak lagi menghawatirkan betapa tingginya ombak disampingku, melainkan fokus pada ritual kecil yang baru saja kumulai. Atau aku akan mencelupkan kedua tanganku kedalam air laut, dan membasuhkannya kemuka, ritual yang satu ini kulakukan sebagai sugesti, aku telah menyatu dengan gemuruh ombak yang terhempas ke karang, dengan asinnya air laut yang mulai membuat mataku pedih.

Saat itu, semuanya berakhir pada kalimat Tuhanku : Kunfayakun dan keahlian juru mudi perahu speedboat membaca arah ombak setinggi rumah yang bergantian datang disebelah kanan badan perahu, Rasanya dia akan jatuh menimpa kepalaku. Dan alhamdulillah, aku masih bisa menuliskannya. Sampai sekarang, aku tetap mengingatnya sebagai kekonyolan dari pada sebuah babak tes tantangan adrenalin.

Tapi tak jarang pula, batiniah terpuaskan, suguhan panoramanya, mengalir, menelisik, menghujam palung hati, berbekas seumur-umur. Tapi yang lebih penting, mobilitas tadi memberi tambahan pengetahuan tentang hal ihwal, dari tidak tahu menjadi tahu, atau menjadi tidak tahu sama sekali. Dan untungnya sejauh ini, aku tidak tersesat pada pemikiran “ tidak mau tahu “ karena itu serupa kejahatan yang lain.

Sungguh tak dapat kupercayai, dulu bisa memiliki alam pikiran dan jiwa seperti itu dalam bekerja, batin jiwaku terpenuhi sulur waktu, kaya berjuta makna perpindahan fisik, pertemuan dan juga perpisahan datang bergantian. Betapa tidak, setelah berkali – kali senewen mabuk laut dan dihajar ombak dalam perjalanan Sipora, Katiet, Boshua, Masokut. Aku terhasut juga kecemasan pikiran logis, aku tak mau mati muda sia – sia. Akhirnya kuputuskan untuk berhenti kerja. Aku hanya bertahan kurang dari kisaran 6 bulan, hanya 5 bulan dipotong hilir mudik kota Padang paling tidak seminggu tiap bulannya. Hitung saja, berapa lama sebenarnya aku bertahan bekerja di Mentawai waktu itu.

Karena pada musim badai, tak ada satu alasan atau kekuatan manapun yang membuatku bertahan kerja menyusuri pesolok desa Mentawai, begitu juga dalih kehangatan fraternite (persaudaraan) dari persahabatan teman sejawat, sama – sama senewen dihajar ombak, berjalan kaki 8 jam menyusuri pantai Barat Mentawai, menghindari amukan ombak Tanjung Pengharapan. Termasuk bujukan promosi kerja dalam deretan jabatan senior kerja tak kuhiraukan. Belum lagi rayuan salah seorang penduduk Masokut keturunan Pariaman yang bersedia membuatkan pondok kecil beratap daun kelapa untukku, tepat menghadap lautan lepas pantai barat Mentawai Samudra Hindia. Bila perlu lengkap dengan istri katanya. Tapi hatiku tak dapat lagi dibujuk, merajuk sejadi-jadinya, keras membatu untuk berhenti.

Pagi itu, ombak begitu keras menghantam dasar laut berkarang tajam, menuju muara sungai pintu masuk menuju perkampungan Masokut. Seorang panene Gereja berujar, setiap saat, apalagi dimusim badai seperti sekarang, kurang perhitungan sedikit saja juri kemudi speedboat membaca arah ombak, bersiaplah gulungan ombak berkekuatan berjuta ton membalikkan perahu, menggulung, menyeret, lalu membantingnya ke karang dimuara perkampungan.

Dan ketika airnya mulai sedikit surut, para penduduk sibuk mencari gurita laut yang lezat, diceruk-ceruk karang, menyelamkan kepalanya kedalam air laut dan sebagian badannya yang lain tetap menjadi kuda–kuda yang kuat ketika ombak menerjangnya. Menahan dan mengambil nafas berkali – kali dalam sela ombak , hingga kepalanya muncul sepenuhnya diantara buncahan ombak, tangan kanannya kuat memegang gurita tangkapan, siap digulai sari pati santan kelapa tepi pantai. Tapi tak jarang pula, perburuan gurita nihil sama sekali.

Dimuara sungai pulalah sebagian besar penduduk sembunyi di kelok sungai dekat hutan mangrove tepi pantai, melepas tinja lambungnya. Disana pulalah aku faham kebenaran ilmu pengetahuan dalam buku pelajaran Biologi SMP ; bahwa alam, lingkungan, manusia dan binatang membentuk sebuah pohon rantai makanan. Menjadi seperti kalimat Avatar Aang ; semuanya terhubung. Ternak babi penduduk berkeliaran, serupa tikus – tikus besar mengendus, tak kenyang – kenyang dengan pakan tuannya, kali ini dia asyik lahap memakan tinja lambung penduduk dipasir putih ditumbuhi kelapa condong tergerus ombak. Atau yang lebih ekstrim lagi, biasanya anak – anak kecil akan langsung nongkrong membuang tinja di atas kandang babi, sejurus kemudian babi sibuk menjilati sisa tinja di lubang matahari kecilnya itu. Sempat sekali aku berusaha memotretnya, tapi anak kecil itu berteriak – teriak menimbulkan kegaduhan pagi itu. Dengan kesadaran penuh, lalu kuhentikan niat untuk mengganggu kesenangan masa kecilnya.

Hampir saja terlewat, rumah ibadah seperti Gereja, seperti berdesak-desakan berlomba berebut umat dari 156 Kepala Keluarga. 3 sampai 4 gereja dari aliran berbeda bisa berdiri disana. Terkadang perselisihan antara penduduk kampung yang secara berkebetulan melakukan ibadah pada satu gereja yang sama, berakibat kepindahan aliran keagamaan, pindah gereja. Belum lagi selentingan isu penggelapan dana pembangunan Gereja oleh panitia pembangunan.

Aku ingat betul hari itu, ketika aku memutuskan untuk berhenti kerja, 25 September 2006. Karena tanggal 1 Oktobernya aku sudah harus masuk kerja ditempat kerjaku yang baru, diperkebunan kelapa sawit ditepi Batanghari. Malam sekitar jam 8, didalam kamar kapal besi feri penyeberangan Sipora Mentawai menuju Padang, dada triplekku disesaki sengatan tangis hendak meledak tumpah ruah, tanpa malu. Seperti ada yang tertahan sekaligus lepas berdesak-desakan memenuhi rongga dada, perasaan senang akan pulang dan kehilangan kehangatan fraternite teman sejawat dan orang – orang kampung timbul tengelam berbareng ombak menghantam perahu besi kaku di kesunyian selat Mentawai. Tak berapa lama berselang, akhirnya bobol juga benteng terakhir ego doktrin kepriaanku, aku menangis tertahan dibalik bantal, sembunyi takut terlihat dan ditertawai teman seperjalan pulang, Bli Raka orang Bali yang bekerja untuk sebuah Hotel di Katiet. Aku dengar dari cerita Bli, hotel itu dibangun oleh pemilik modal dari Australia. Sedangkan dia sendiri terpaksa pulang karena bertengkar hebat dengan teman sekerja, yang nyata – nyata adalah penduduk Katiet. Dari wajahnya yang muram, memar bekas kena ketupat mentah, dapat kulihat dia begitu tertekan, karena belum sepenuhnya dapat menstransfer pengetahuan dan keahliannya dibidang praktis parawisata kepada penduduk setempat.

Tepat didepan hotel itulah ombak Katiet yang ternama memangil para surfer gila ombak dari seantero dunia. Mulai dari Australia, Jepang, Brazil, Inggris, Hawaii, Afrika Selatan, bahkan dari Bali Indonesia, tak ketinggalan anak – anak setempat. Satu diantaranya adalah yang terhebat, pemenang kontes surfing tingkat nasional. Aku sendiri pernah melihatnya keluar dari ombak menuju pantai, menenteng papan surfingnya yang patah jadi dua, dihantam ombak. Mereka ini datang dengan kapal pesiar mewah dari Padang atau langsung dari negeri asalnya, sebagiannya lagi, yang benar – benar gila tidak berduit menumpang perahu speedboat penduduk.

Tapi sekarang semua keindahan yang ditawarkan pikiran bekerja berarti juga pergi berwisata, seperti hilang menguap disengat terik panas udara Sarolangun. Sebuah kota dalam jalur pelintasan yang sedang mengeliat digelitik pembangunan, investasi swasta, perkebunan kelapa sawit, batubara, dan minyak bumi. Sarolangun tepat berada di jalan lintas barat Sumatera yang dulu di bangun kontraktor asing Korea.

Walaupun miskin tempat wisata representative, paling tidak masih ada Beatrix Brug alias jembatan Beatrix peninggalan kumpeni Belanda, berdiri kokoh sejak tahun 1939. Baru-baru ini tiang –tiangnya dicoreti pilox kelulusan anak SMA. Tepat dibawahnya mengalir Batang Tembesi yang penuh sejarah. Sampai sekarang belum diketahui secara pasti siapa arsitek Beatrix Brug. Fasilitas pencari elektronik tercanggih sekelas google pun tak dapat mengetahuinya. Yang ada, Beatrix adalah nama ratu Belanda yang hidup pada masa sekarang.

Di ujung – ujung bulan puasa seperti sekarang, para pemuda dari berbagai penjuru kampung, sibuk berlatih mengayuh perahu naga mereka. 7 hari pasca lebaran Idul Fitri, 5 – 6 perahu naga akan dikayuh, bila perlu seperti kesurupan, susul menyusul bak susunanan cahaya equalizer, ditimpali cicitan walet pulang menuju bangunan tua 3 tingkat milik Tionghoa dekat perkampungan lama dengan nuansa pertokoan dari kayu, tidak beberapa jauh dari Beatrix Brug.

Perayaan ini bukan lagi sekedar merayakan pencapaian rohani setelah 1 bulan berpuasa, melainkan seperti hendak berkata ini adalah sebuah romansa pembalut sejarah, seperti dikisahkan tua – tua kampung, berpuluh perahu kerajaan Mataram memasuki pedalaman Jambi, mencari daerah baru, bermetamorfosis menjadi peladang, dan menyebut dirinya sebagai orang Bathin.

Tapi entah mengapa, sekarang aku malah rindu Mentawai, rindu ombaknya. Rindu untuk kembali barang sebentar (20/09/08)