Rabu, 20 Juli 2011

Ibu - ibu doyan ngopi

Berturut –turut saya menemukan sosok ibu-ibu luar biasa, dengan hobi dan kebiasaan yang juga luar biasa. Pertama : melalui Istri, saya ketahui didunia maya, khususnya Facebook, terdapat group ibu-ibu doyan nulis. Kedua : pada saat diklat, beberapa hari ini saya berkenalan dengan perempuan / ibu-ibu doyan ngopi. Hobi ataupun kebiasaan yang terakhir ini, sepertinya bukan merupakan kebiasaan umum yang banyak dilakukan kaum perempuan. Saya dan peserta laki-laki lainnya terkejut sekaligus tidak percaya ketika mengetahui ada peserta perempuan doyan ngopi. Apa yang dilakukan rombongan ibu-ibu peserta diklat telah menabrak dan mengoyang konstruksi pengetahuan saya tentang kopi, yang terlanjur mengidentikkan kopi sebagai dunia milik laki-laki.

Di Nagari-nagari Minangkabau - Sumatera Barat - dapat dilihat bagaimana setiap pagi laki-laki berhamburan keluar rumah, menuju lapau (kedai kopi) untuk sarapan pagi dan menyeruput pahitnya kopi. Dan secara tidak sadar, pemilihan penggunaan kedai kopi sebenarnya telah mengukuhkan kedai kopi sebagai dunia milik laki-laki. Sedangkan perempuan pada structure budaya masyarakat seperti itu, baik di rumah maupun di kedai kopi ditempatkan sebagai peramu, pembuat sekaligus pelayan yang menyuguhkan kenikmatan, kehangatan dan pahitnya kopi kehadapan suami atau pelanggan laki-laki di kedai kopi.

Seorang Ibu-ibu doyan ngopi peserta diklat mengatakan bahwa segala yang baik-baik selalu diberikan dan diperuntukkan bagi laki-laki. Perempuan diletakkan dibelakang, diposisikan untuk membuatnya tanpa pernah berani meminumnya, apalagi didepan khalayak ramai. Pada moment lain, kopi dihadirkan sebagai kehangatan tuan rumah terhadap tamunya, yang lagi-lagi lebih memilih menyuguhkan kopi untuk tamu laki-laki.

Dan pantaslah rasanya saya dan peserta lain terkejut ketika menemukan sekumpulan ibu-ibu doyan ngopi, karena fakta sosial ini secara nyata mengusik konstruksi sosial dan pengetahuan yang sudah terlanjur ada dan lebih dulu terbentuk.

Melalui perempuan –ibu-ibu doyan ngopi- kelas menengah terdidik itu ( di diklat, seminar dll), kopi yang semula menjadi identitas keakraban sosial alam pedesaan dan menjadikannya sebagai dunia milik laki-laki secara perlahan mulai bergeser dan dipertanyakan kembali.

Lewat media dan kemasan rasa baru seperti capucino, copilate, dikalangan perempuan, aktivitas ngopi sepertinya mulai menjadi sebuah trend, disuguhkan di café-café, diminum berhadap-hadapan laki-laki dan perempuan dalam suasana keakraban, kehangatan dan sebuah privasi yang lain. Kehadiran ibu-ibu doyan ngopi dapat dimaknai sebagai sempalan, sebuah gugatan untuk mempertanyakan kembali kekokohan konstruksi sosial ngopi dan kedai kopi sebagai dunia milik laki-laki seorang.

Diakhir presentasi sore itu, saya membayangkan, apa jadinya jika kebiasaan ibu-ibu doyan ngopi itu dilakukan di lapau, dikampung halamanku Bukittinggi ? yang ada ketika konteks struktur sosial nya berbeda atau berubah, maka yang terjadi adalah sebuah penyimpangan, benturan, resistansi, yang keberadaannya juga akan dipertanyakan.

· · Share · Delete


Jumat, 01 Juli 2011

Memotret potret lama


Memandangi foto repro hitam putih Kota Sungai Penuh tempo dulu di dinding hotel Jaya Wisata. Dilingkupi bukit, hamparan tanah lapang, garis putih jalan, siluet asap pembakaran dari ladang atau sawah, tampak rumah penduduk mengelompok kecil searah masjid. Mesjid itu tampak menonjol, seperti menjadi pemimpin bagi rumah-rumah, bagi orientasi nilai masyarakatnya. Tak ada yang lebih agung secara fisik maupun kosmologi selain mesjid itu.Menjadi pusat kegiatan penduduk, keramat bagi masyarakatnya, penanda zaman waktu itu. Sesuai dengan namanya Mesjid Agung.

Gambaran kehidupan tempo dulu, sebagaimana diwakilkan sebuah foto, tampaknya akan selalu hadir sebagai hitam putih, buram, kabur dalam pengertian apapun. Tidak seperti zaman ini, semua dapat dihadirkan dengan kualitas beragam warna benderang. Atau bahkan bisa di dibalikkan, direkayasa sekendak hati menjadi hitam putih, buram atau kabur sama sekali. Jika potret itu diulang dengan sudut pengambilan yang sama, yang didapat adalah sebuah potret baru, sebuah perubahan yang mungkin saja tak pernah dibayangkan oleh penduduk waktu itu.

Sama seperti seorang lelaki tua, supir travel Sungai Penuh Kerinci yang tak pernah membayangkan kampungnya seperti sekarang, dipenuhi mobil, dan jalan-jalan besar. Sesuatu yang dulu tak pernah singgah dalam pikirannya. Tahun 1960 an, Ia bersama puluhan penduduk kampung lainnya, merasakan bagaimana berjalan kaki selama 9 hari Sungai Penuh – Jambi untuk membeli bongkahan garam di Angso Duo Jambi dari pedagang India. Membawa bekal tembakau dan hasil ladang lainnya sebagai alat penukar, karena pada waktu itu uang belum banyak beredar. Garam adalah kebutuhan yang langka di Sungai Penuh, sehingga memilikinya adalah prestise, layak disebut saudagar. Setiap kali Ia pulang dari Jambi, orang-orang kampung akan berbondong kerumahnya hanya untuk mendapat sebongkah kecil garam. Katanya,”Memang tak ada makanan yang enak kalau tak diberi garam”

Begitu juga hal gula pasir, yang juga tergolong langka pada saat itu. Ketika sebuah pesta diadakan di kampung, rasa air bergula adalah suatu nikmat yang luar biasa waktu itu. Walaupun itu rasa manis yang cenderung hambar, karena tak se-royal kita sekarang yang menuangkan bersendok-sendok gula pada hanya segelas minuman . Sekarang apalah arti garam dan gula selain hanya asin dan manis bagi Bapak tua itu? Malah sekarang dia memiliki mobil, mengemudikannya melintasi sebagian rute jalan yang dulu dilaluinya dengan berjalan kaki.

Mesjid Agung pun sekarang tidak lagi hadir sendiri, tunggal, tidak lagi menjadi pusat dari segalanya. Diantara deretan blok –blok kota telah hadir gedung-gedung perkantoran, gedung pemerintahan, pusat pertokoan, plaza, hotel, tanah lapang alun-alun kota, bahkan mesjid lain yang tak kalah megah. Semua tumbuh menjadi bagian masyarakat, bagian dari perubahan terus menerus.

Mesjid yang Agung itu pun selain tetap menjadi tempat beribadah, juga berubah menjadi bagian sejarah menjadi sebuah situs budaya. Dilindungi dengan undang-undang,di dagangkan atas nama kupon retribusi daerah, menjadi tujuan wisata. Semoga saja nasibnya tak akan sama dengan mesjid di Asia Tengah di kisah Garis Batasnya Agustinus Wibowo. Dimana tampak pasangan muda mudi bergandengan tangan, berpelukan menikmati udara sore, tanpa risih mengabadikan kehadirannya dengan latar mesjid. Apakah ini yang disebut menikmati sejarah sebagai wisata religi itu? kembali kehadirannya akan dapat dijawab, ditafsirkan secara beragam dan berwarna.