Dalam buklet panduan penyusunan peraturan desa secara partisipatif tentang pengendalian kebakaran hutan yang diterbitkkan oleh SSFFMP 2006,disebutkan bahwa Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan berbagai wilayah di Sumatera seperti Riau dan Sumatera Selatan acapkali dilanda oleh bencana kebakaran hutan dan lahan. Akibatnya terjadi deforestrasi yang masif, lahan budidaya musnah dan keragaman biodiversity pun hancur.
Masalah asap hasil kebakaran hutan dan lahan telah menjadikan persoalan ini menjadi urusan politik dan lingkungan hidup international, dimana negara – negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura begitu marah dan prihatin dan menuduh pemerintah Indonesia tidak mampu mengurus masalah yang satu ini. Hal ini pun terjadi di negeri rumput salah satu kecamatan di propinsi Jambi. Sehingga sekitar tahun 2007 pemerintah propinsi Jambi melakukan MoU dengan pemerintah Singapura tentang komitment pemerintah daerah terhadap penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.
Tercatat pada tahun 2004 terjadi kebakaran hutan dan lahan diwilayah negeri rumput tepatnya berada di daerah taman nasional hutan raya gambut seluas 30 hektar habis terbakar api. Kejadian berlangsung ketika musim panas panjang terjadi dinegeri rumput. Lokasi kejadian berhasil dipantau oleh satelit NOAA yang berada di sekitar perkebunan kelapa sawit, perusahaan hak penguasaan hutan dan hutan tanaman industri, lahan pertanian transmigrasi, areal pengunaan lain (APL) ataupun lahan perkebunan karet tradisional milik warga [1].
Berdasarkan pengalaman lapangan yang ada selama ini, penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan terutama di negeri rumput yang di dominasi oleh daerah hutan gambut disebabkan oleh dua faktor utama. Faktor pertama : alam dan kedua ; manusia & industri. Untuk yang pertama, kondisi lahan yang didominasi oleh gambut, secara bawaan sangat berpotensi terjadi kebakaran terutama pada musim kemarau. Kondisi ini sulit untuk dilakukan intervensi, selain upaya kontrol dan kesiapan tenaga dan peralatan dari tim pemadam kebakaran yang sudah terlatih. Selain itu upaya yang dapat dilakukan dalam bentuk pencegahan adalah tidak melakukan budidaya tanam/atau merubah kawasan hutan gambut menjadi daerah perkebunan berskala besar maupun perkebunan rakyat.
Kedua : sering kali faktor alam tersebut terhubung dengan prilaku masyarakat disekitar lokasi kebakaran terutama diwilayah operasional perkebunan kelapa sawit. Dan pihak perusahaan tidak bisa melepaskan diri dari stigma bahwa kebakaran hutan dan lahan disebabkan oleh cara – cara tidak ramah lingkungan /pembakaran lahan yang dilakukan perusahaan dalam pembukaan lahan. Padahal sudah lama perusahaan perkebunan meninggalkan cara –cara tradisional yang merusak lingkungan seperti ini. Dalam pembukaan lahan /land clearing pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit telah melakukan teknik rumpukan , dengan menumpuk kayu –kayu dari hasil pembukaan lahan yang telah dipotong menjadi beberapa bagian, disusun rapi memanjang seperti benteng, dan membiarkannya mengalami pelapukan alami.
Berdasarkan keterangan para pekerjaan perusahaan yang terlibat langsung dalam proses land clearing disebutkannya bahwa benar perusahaan tidak melakukan pembakaran lahan dalam pembukaan lahan serta tidak melakukan illegal loging dari hasil pembukaan lahan sebagaimana yang diberitakan salah satu TV swasta nasional baru – baru ini terhadap salah satu perkebunan kelapa sawit yang beroperasional di negeri rumput. Menurut keterangan para pekerja, yang terjadi sebenarnya, secara perlahan kayu – kayu rumpukan yang sudah dianggap sebagai limbah ini di sisihkan dan dimanfaatkan oleh penduduk setempat. Dijualnya kembali kepada pihak yang membutuhkan, dan sebagiannya dimanfaatkan oleh para pekerja untuk kebutuhan bahan bangunan rumah mereka dikampung. Dan sering kali aktivitas pemotongan kayu yang dilakukan dengan sainsaw oleh masyarakat terhadap kayu rumpukan menjadi salah satu prilaku penyebab kebakaran di lokasi perkebunan.
Prilaku lainnya adanya aktivitas mencari ikan didalam lokasi perkebunan yang dilakukan oleh masyarakat disekitar kebun. Proses pencarian ikan dilakukan diparit – parit yang memisahkan blok-blok kebun kelapa sawit, yang dulunya menurut keterangan penduduk setempat merupakan lokasi tempat mencari ikan secara turun temurun. Pencarian ikan dilakukan dengan mengunakan pancing ataupun alat lain seperti setruman yang dinilai banyak kalangan merusak lingkungan alami ikan – ikan dan membunuh bayi – bayi ikan diparit. Semua aktivitas ini sangat memungkinkan menjadi pemicu kebakaran hutan dan lahan terutama yang ditimbulkan dari puntung rokok maupun sisa rokok yang dibuang begitu saja ke lahan. Dan juga bisa juga berasal dari puntung rokok pekerja kebun yang tidak menyadari bahaya membuang puntung rokok sembarangan.
Dan berdasarkan cerita beberapa teman dilapangan juga keterangan salah seorang pihak kepolisian, kebakaran lahan diperkebunan merupakan persoalan yang dipicu oleh persoalan internal yang terjadi didalam perusahaan. Sumbernya berasal dari ketidak puasan beberapa karyawan terhadap suasana kerja & juga penghasilan mereka. Dan beberapa diantaranya dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan hitungan kerja (lembur/upah) yang ditimbulkan dari kerja-kerja pada saat melakukan pemadaman kebakaran lahan secara mandiri oleh pihak perusahaan yang juga melibatkan hampir semua karyawan harian dalam wilayah afdeling yang menjadi lokasi kebakaran.
Secara tertulis pihak perusahaan telah mempunyai SOP pemadam kebakaran yang standar, menara pantau api, namun terkadang dilapangan sulit untuk dilaksanakan terutama menyangkut kelengkapan alat – alat pemadam kebakaran dan tenaga pemadaman mandiri yang terlatih untuk itu. walaupun perusahaan komitm terhadap upaya pencegahan kebakaran lahan, terutama untuk alasan asset perusahaan. Bagi perusahaan kebakaran lahan selain menyangkut persoalan hukum, secara ekonomi juga merugikan, dimana tanaman mati, sisip ulang, cost pekerja pemadam kebakaran, biaya tak terduga dari kedatangan aparat penegak hukum, tim pemadam manggala agni serta pembentukan image terhadap perusahaan. Sekarang perusahaan tidak bisa lagi menutup – menutupi lokasi kebakaran diwilayahnya, karena lokasi kebakaran terpantau di satelit NOAA, dan pihak dinas kehutanan melalui Manggala Agni dapat mengeluarkan titik koordinat lokasi kebakaran lengkap dengan peta sekaligus tata pemanfaatan ruang.
Kendala yang kadang kala muncul pada saat melakukan pemadaman kebakaran lahan secara mandiri adalah jauhnya lokasi kebakaran dari jalan akses utama, dan ini menyulitkan alat pemadaman dan tim untuk sampai ke lokasi, belum lagi kendala water management (air di parit) yang dibutuhkan untuk melakukan pemadaman terutama pada saat musim kemarau datang. Dan terkadang tantangannya pun datang dari alam itu sendiri, dengan adanya angin besar yang tidak menentu, sehingga sulit melakukan zonasi /membatas wilayah sebaran api.
Dengan kondisi yang demikian, kebakaran hutan terutama lahan dalam areal kebun kelapa sawit sangat merugikan pihak perusahaan dan juga masyarakat sebagai mitra perusahaan. Sudah saatnya pihak perusahaan selain melakukan sosialisasi kebakaran hutan dan lahan kepada masyarakat yang di bantu juga oleh pihak terkait, menjajaki pembuatan peraturan desa tentang pengendalian kebakaran hutan dan lahan terutama menyangkut kebakaran lahan diperkebunan kemitraan dengan mendorong partisipasi masyarakat desa sebagai mitra perusahaan, karena pada dasarnya kebun perusahaan berada dalam wilayah desa – desa yang ada disekitar perkebunan. Kebun yang dibangun pun merupakan aset masyarakat desa. Peraturan desa kiranya mencakup kategori tata pemanfaatan ruang lain selain wilayah desa yang di jadikan sebgai lokasi perkebunan kemitraan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar