Pagi ini mendadak saja istriku menekan tombol call nomor seorang kawan - sebut saja Tibhet- yang sudah lama tidak bisa dihubungi. Terakhir kontak 5 bulan yang lalu. Mungkin karena sudah lama tidak ada kontak, pagi itu dia tidak mengenali suaraku. Setelah kata-kata ‘Maaf siapa ini ?’, ‘masa nggak kenal ?’ dan diselingi guyonan, akhirnya dia bisa mengenali kembali suara ku di loud speaker handphone. Sambil mengklarifikasi kenapa sampai tak mengenali suara ku, dia memberitahukan handphonenya terdahulu rusak, sekarang dia cuma pegang sim card. Dengan pulsa yang terbatas, jika ada keperluan untuk menelpon dia akan pinjam mesin handphone teman satu selnya. Begitu juga sekarang, disaat aku kebetulan mengontaknya.
Di sel? Tibhet memang sedang terbelit kasus hukum cukup serius, narkoba. Saat ini dia sedang menjalani pemeriksaan dan berada di penjara polisi. Berdasarkan pemeriksaan air seni, diketahui Tibhet positif mengkonsumsi narkoba. Katanya, sangat kecil kemungkinan dia bisa lolos dari tuntutan hukum. Artinya dia akan menginap di hotel prodeo. Ia mengatakan menyesal, karena dalam seusianya (sekitar 40-an tahun) ini masih juga bejad. Ia juga tidak kuat membayangkan nasib anaknya kedepan.
Pada saat penggerebekan di lakukan polisi di kedai sablon miliknya, menurut pengakuannya sudah dua bulan dia tidak lagi mengkonsumsi narkoba. Tapi dasar lagi apes, di TKP ditemukan barang bukti. Menurutnya ‘barang’ itu punya teman – temannya, dan zat temuan dalam air seninya merupakan sisa hasil pemakaian 2 bulan lalu.
Tibhet bercerita tentang kondisi tempat tinggal barunya. Ia mengatakan, justru kondisi di dalam Lembaga Permasyarakatan (LP) lebih parah. Parah dalam pengertian didalam LP rupanya sangat mudah mendapatkan berbagai macam jenis narkoba di antara sesama tahanan. Asal ada uang, barang yang di inginkan bisa didapat. Namun Tibhet sudah bertekad tidak lagi terjerumus kedalam masalah yang sama apalagi didalam LP, yang nyata-nyata adalah tempat untuk konsekuensi/mempertanggungjawabkan tindakannya. Godaannya memang berat, apalagi kondisi tekanan psikis lingkungan, perasaan merasa sendirian didalam LP juga cukup berat dirasakan.
Aku sendiri sebenarnya tidak begitu terkejut dengan kasus peredaran narkoba didalam LP, karena banyak sudah pemberitaan yang mengabarkan bisnis narkoba banyak dikendalikan dari dalam LP dan beredar di bebas di dalam LP. Bahkan berdasarkan tugas akhir seorang kawan bernama Yayan, ternyata benar di dalam LP banyak beredar narkoba. Dan secara kebetulan pula Yayan adalah narapidana kasus narkoba.
Kasus ini memperlihatkan bagaimana lemahnya LP sebagai sebuah institusi. Kalau tidak kuat justru kondisi LP seperti itu, dapat menjerumuskan orang – orang ( pengguna narkoba) lebih dalam lagi. Dalam pikiran ku, selain memperbaiki mekanisme LP secara keseluruhan sudah saatnya dibuat LP khusus bagi narapidana kasus narkoba dilengkapi fasilitas konseling dan terapi penyembuhan ketergantungan narkoba. Karena besar kemungkinan selepas keluar dari LP, pengguna narkoba akan tertangkap lagi dengan kasus yang sama. Artinya dia kembali menjalani proses yang sama, tetap berputar dalam lingkaran itu – itu juga.
Mengenai perlunya konseling dan terapi penyembuhan ketergantungan bagi penguna narkoba didalam LP, hal Ini menjadi bagian yang tak tidak bisa lagi dielak kan dari kebutuhan penanganan kasus serupa di dalam LP. Kapan lagi kita bisa melihat penjara di Indonesia bisa kosong seperti yang baru – baru ini terjadi di Singapura, jika salah satu masalah utamanya tidak ditangani secara bersamaan dengan proses hukum yang dijalani pengguna narkoba.
Balik lagi ke Tibhet, karena dia merasa tidak nyaman bercerita panjang lebar tentang keadaan di LP, akhirnya kami bertukar kabar tentang keluarga. Karena topik itulah yang dapat membuatnya nyaman untuk bercerita. Pembicaraan kami berdua pun akhirnya harus berakhir, karena Tibhet di panggil menghadap kepala Sipil. (jangan) Nakal lagi Mas? (07/08/08)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar