Minggu, 23 November 2008

Petani Jawa dipedesaan Sarolangun


Kajian mengenai migrasi penduduk dan keterkaitannya dengan dasar ketentuan budaya asal pelaku serta pengaruhnya terhadap daerah tujuan telah banyak dikaji ilmuwan sosial. Ranah kajian migrasi memunculkan berbagai topik bahasan menarik seputar urbanisasi, merantau, transmigrasi, akulturasi, adaptasi budaya, integrasi dan konflik antar golongan/etnis, maupun kehidupan multikultur yang sebenarnya telah menjadi bagian dari entitas sejarah dan masa depan bangsa ini.

Terkait hal tersebut diatas, saya sendiri melihat ada perbedaan orientasi migrasi diantara penduduk pulau Sumatera secara khusus Minangkabau, dengan penduduk etnis Jawa dalam melakukan migrasi.

Bagi etnis Minangkabau, secara konseptual migrasi berkait dengan adanya ketentuan merantau sebagai budaya khasnya. Rantau diartikan sebagai daerah baru diluar luhak[1]. Dengan seperangkat pengertian tersebut dalam melakukan migrasi etnis Minangkabau cenderung mencari pusat keramaian diperkotaan sebagai sumber pengetahuan dan ekonomi baru, dimana secara perlahan berevolusi dari masyarakat agraris menjadi masyarakat yang bergerak disektor informal dan jasa, terutama di perkotaan pulau Jawa maupun perkotaan lainnya di wilayah Indonesia.

Mereka kemudian berdagang dipasar, dipertokoan, maupun menyerap hiruk pikuk suasana perkotaan dengan berdagang kaki lima di emper toko maupun di trotoar jalan. Bukan berarti keberadaan kaki lima merupakan monopoli etnis Minangkabau. Belakangan laju pertumbuhan sektor informal yang satu ini sulit dikendalikan, menimbulkan masalah sosial dari segi kenyamanan pengguna jalan dan tata ruang kota.

Sedikit berbeda dengan migrasi etnis Batak, salah satu etnis yang juga menonjol di Sumatera. Mereka bergerak mulai dari sektor informal dan jasa seperti menjadi tukang tambal ban, supir. Juga ada yang menjadi tukang kredit. Di daerah Bukittinggi, etnis Batak selain bekerja sebagai tukang kredit, juga menekuni pekerjaan berdagang sayur keliling mengunakan sepeda maupun motor ke perkampungan penduduk. Pekerjaan ini banyak ditekuni oleh kaum ibu, yang oleh pelanggannya dipanggil Inang (ibu).Sebuah pekerjaan yang tidak ditekuni penduduk Kurai [2] – Bukittinggi. Pemilihan pekerjaan berdagang sayur keliling dapat dilihat sebagai bagian strategi budaya bertahan hidup diperantauan dan hidup berdampingan dengan penduduk Kurai Bukittinggi. Celah budaya ditengah sirkulasi sistem pasar tradisional dan periodik[3] yang secara umum dikuasai etnis Minangkabau. Hubungan dagang yang terjadi, membantu meningkatkan pemahaman budaya dari kedua belah pihak.

Selain itu didaerah lain terutama dipedesaan Indonesia, seperti pedesaan Jambi, Palembang, Lampung, Bengkulu sampai ke pelosok Kalimantan, mereka bekerja disektor perkebunan kelapa sawit. Hal ini tidak terlepas dari kuatnya budaya kebun dalam struktur etnis Batak, yang diperoleh dari pengaruh budaya perkebunan Belanda di daerah Sumatera Utara.

Sedangkan migrasi etnis Jawa ke wilayah pulau Sumatera cenderung kearah pedesaan. Pada zaman penjajahan Belanda, mereka ini dipekerjakan sebagai tenaga kerja paksa untuk kebutuhan pembangunan jalur kereta api ataupun onderneming/perkebunan Belanda di Sumatera Utara, tambang batu bara di Sawahlunto Sumatera Barat. Sedangkan dipedesaan Sarolangun, secara umum etnis Jawa hidup dengan mengembangkan usahatani agroforest[4] hutan karet rakyat komersil, baik sebagai petani pemilik kebun maupun sebagai petani pengarap/pekerja sadap lateks karet milik orang dusun[5]

Migrasi etnis Jawa ke pedesaan Sarolangun dapat ditelusuri dengan munculnya orang Batin[6] yang tersebar di pedesaan Sarolangun sampai kabupaten Batang Hari. Berdasarkan folklore serta bukti artefak berupa gong dan kain batik tua yang dimiliki orang dusun, mereka meyakini orang Batin merupakan keturunan kerajaan Mataram Jawa, yang melakukan ekpedisi kepedalaman Sumatera waktu itu. Didalam struktur masyarakat Sarolangun, selain komunitas orang Batin juga terdapat pengkategorian sosial lainnya yang disebut komunitas orang Penghulu yang bermukim dipedesaan Sarolangun[7]. Komunitas orang Batin dikatakan sebagai penduduk asli Sarolangun atau disebut orang dusun. Sedang komunitas orang Penghulu awalnya berasal dari pendatang keturunan Minangkabau, yang konon pada awalnya berprofesi sebagai pencari emas. Kebudayaan Sarolangun sendiri merupakan hasil akulturasi, perpaduan kuat pengaruh Melayu Jambi, Jawa, Sriwijaya dan Minangkabau.

Selanjutnya pada zaman orde baru sekitar tahun 1980, migrasi etnis Jawa dilakukan melalui bantuan program transmigrasi pemerintah yang ditujukan sebagai upaya memecahkan masalah pembangunan nasional berupa kemiskinan, pengganguran, dan kesenjangan antar daerah. Mereka diarahkan bergerak disektor perkebunan dan pertanian, terutama tanaman palawija. Dalam dua dasawarsa ini, daerah Singkut dan Pemenang menjadi kisah sukses petani transmigran di Sarolangun, sentra penghasil lateks karet dan kelapa sawit. Dimana kehidupannya secara ekonomi berada diatas rata-rata orang dusun. Semuanya dimungkinkan karena dimilikinya sifat ulet sebagai etos kerja. Walaupun tidak dapat ditampik pada tahap awalnya banyak transmigran tidak tahan, kemudian menjual lahannya dan kembali ke Jawa.

Berikutnya terdapat sebuah fase dimana etnis Jawa datang secara lebih mandiri. Mereka yang datang kemudian ini, tidak menjadi petani sawah sebagaimana usaha tani umumnya di Jawa. Mereka terserap dalam usaha tani agroforest “hutan karet” [8] rakyat yang telah sejak lama digeluti orang dusun[9]. Mereka bekerja menjadi petani penggarap/ pekerja sadap lateks karet, atau buruh tani, yang menetap bersama anggota keluarganya di pondok ladang sederhana, secara tidak permanen, terisolasi dari pusat kegiatan ekonomi, politik dan sosial, terpisah jauh dari pemukiman orang dusun tempat petani pemilik berada.

Didalam sistem ekonomi usaha tani agroferest hutan karet rakyat Sarolangun terdapat kategori petani pemilik kebun, toke lateks karet dan petani pengarap lahan/pekerja sadap lateks karet. Penduduk pedesaan Sarolangun yang bekerja diluar pertanian seperti Pegawai Negeri , pedagang ataupun ABRI bisa saja berstatus pemilik hutan karet. Selain sebagai pemilik hutan karet, bisa saja mereka berprofesi langsung sebagai toke pengumpul lateks karet dan kemudian menjualnya ke pabrik atau malah bekerja sebagai pemilik Sainsaw dan mempunyai anak buah tukang gesek kayu hutan.

Dipedesaan Sarolangun etnis Jawa terutama dari Pati yang datang secara mandiri banyak bekerja sebagai petani pengarap / pekerja sadap lateks karet di hutan karet milik orang dusun. Khusus di lokasi-lokasi Transmigrasi, komunitas Jawa bisa menempati posisi petani pemilik kebun, toke lateks karet dan juga sebagai petani penggarap/pekerja sadap lateks karet. Dimana secara umum pekerja sadap lateks karet mendapatkan 2 bagian dari hasil sadapan, sedangkan sisanya untuk pemilik kebun.

Pada masa itu, pekerjaan sebagai penyadap lateks karet, dinilai secara sosial oleh orang dusun sebagai sebuah pekerjaan rendahan. Selain itu permintaan pasar yang besar terhadap lateks karet telah mendorong pembukaan lahan hutan maupun belukar sebagai hutan karet, baik itu dengan cara membuka lahan baru ataupun membeli lahan. Kondisi ini membutuhkan masuknya tenaga kerja diluar rumah tangga pemilik kebun untuk mengolah tanah dan lahan yang tersedia. Hingga pada akhirnya perekrutan tenaga kerja petani penggarap/penyadap lateks karet dilakukan dengan mendatangkan tenaga kerja yang berasal dari daerah Jawa terutama dari daerah Pati. Ini dapat dilakukan dengan bantuan etnis Jawa Pati yang telah lebih dulu bekerja sebagai petani penggarap/penyadap lateks karet dihutan karet orang dusun.
Tercatat sampai tahun 2008, luas tanaman karet di Kabupaten Sarolangun mencapai 117.995 ha. Sebagian besar atau seluas 58.911 ha merupakan tanaman yang sudah menghasilkan, selebihnya 30.935 ha belum menghasilkan, dan 28.150 dikategorikan tanaman rusak/tua dan perlu diremajakan. Pada tahun 2006 lalu Pemerintah Provinsi Jambi menganggarkan Rp60 miliar, yang dialokasikan dari APBD Jambi untuk membiayai program peremajaan karet tua, dan sekaligus dicanangkan sebagai tahun kebangkitan karet rakyat Jambi. Sampai tahun 2008 ini peremajaan karet tua untuk Kabupaten Sarolangun telah mencapai 2.500 ha, tersebar di delapan Kecamatan, dengan melibatkan 2.171 Kepala Keluarga (KK). Pada tahun yang sama Kabupaten Sarolangun kembali mendapatkan bantuan perluasan kebun karet rakyat dari Pemberintah Provinsi Jambi seluas 300 ha, melalui program PLTB (peluasan lahan tanpa bakar) [10].
Dengan perkembangan masyarakat seperti ini, maka sistem ekonomi pedesaan Sarolangun yang diciptakan dari hutan karet bisa dikatakan berada pada tingkat kapitalis dalam konteks usaha komersil. Ini ditandai dengan hasil pertanian tidak lagi digunakan untuk pemenuhan subsisten belaka, melainkan terhubung dengan sistem ekonomi pasar komersil. Selain itu pengerjaan tanah milik pribadi sudah tidak lagi dilakukan dengan menggunakan sumber daya tenaga kerja yang berasal dari dalam keluarga.

Selanjutnya, dengan masuknya etnis Jawa sebagai tenaga petani penggarap/pekerja sadap lateks pada hutan karet orang dusun, menandakan salah satu ciri petani peisan sebagaimana yang dikemukan oleh Wolf 1955, Ellis 1988 sudah tidak dapat lagi dipenuhi. Karena usaha tani peisan bersandar pada usaha tani keluarga/subsisten dengan sumber daya tenaga kerja berasal dari dalam keluarga [11].

Hal menarik lainnya adalah mengenai kepemilikan lahan usaha tani karet yang juga mengalami perubahan. Kepemilikan lahan yang pada awalnya hanya berasal dari hasil bukaan tebang tebas hutan atau diperoleh secara waris keturunan, menjadi kepemilikan melalui proses jual beli lahan. Hal ini merubah posisi etnis Jawa dalam struktur pedesaan Sarolangun, dimana dengan akumulasi uang/modal dari hasil menjadi penyadap karet, mereka bisa membeli lahan dan menjadi petani pemilik kebun. Selain itu mereka juga bisa membeli tanah perumahan serta menetap di sekitar pemukiman orang dusun.

Sekarang, ketika Amerika Serikat dan dunia terkena krisis keuangan, usaha tani komersil yang berkembang di pedesaan Sarolangun pun terkena imbasnya. Krisis keuangan dunia berdampak langsung pada melemahnya permintaan pasar terhadap lateks karet dari arah hilir industri karet dunia,sehingga harga karet jatuh. Ini berbeda dengan situasi ketika krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1998, dimana petani justru menjadi makmur karena harga lateks karet justru naik. Untuk sementara waktu, saat ini petani menghentikan menyadap lateks karet[12], yang memberi pengaruh pada pendapatan petani dan menyebabkan daya beli menjadi rendah. Turunnya harga jual lateks karet juga menyebabkan menurun atau bahkan hilangnya kemampuan petani membayar angsuran kredit ke bank.

Kondisi ini cukup membuktikan bagaimana sistem agroferest dari usaha tani hutan karet rakyat komersil dan para pelaku didalamnya(etnis jawa pendatang) memainkan peranan bagi perekonomian, bukan lagi dalam cakupan pedesaan, melainkan Sarolangun secara keseluruhan.

Bahan Bacaan
Amri Marzali, Konsep Peisan dan Kajian Masyarakat Pedesaan Indonesia, Jurnal Antropologi Indonesia No.54 Th XXI, Des 1997-April 1998.

Fahrudin, Orang Dusun : Studi Antropologi Ekologi Terhadap Pemukiman Orang Dusun Di Kecamatan Sarolangun – Kabupaten Sarolangun , Skripsi Jurusan Antropologi- Universitas Andalas 2005
Kurniatun Hairiah, Sistem Agroforestri di Indonesia, www.worldagroforestrycenter.org
Juan Fransiska, Inang Pedagang Sayur Keliling di Bukittinggi,Buletin Antroactive No..2001-Jurusan Antropologi Universitas Andalas Padang
Peremajaan Karet Tua di Jambi http://sarolangunjambi.wordpress.com, 19 Oktober 2008


[1] Luhak berarti wilayah tradisi asal mula budaya Minangkabau. Dalam hal ini terdapat 3 Luhak asal, pertama Luhak 50 Koto sekitar Kabupaten 50 Koto dan Payakumbuh, Luhak Agam sekitar Kabupaten Agam dan Kota Bukittinggi, Luhak Tanah Datar sekitar Kabupaten Batusangkar dan Kota Padang Panjang.
[2] Kurai merupakan sebuah Nagari di Bukittingi. Penduduk kurai cenderung dinilai masyarakat diluar Nagarinya sebagai sebuah Nagari yang keras dan rumit didalam melaksanakan ketentuan adat Minangkabau. Dan secara umum penduduk Kurai mempunyai streotipe yang kuat terhadap etnis Batak, terutama yang bersumber dari pengetahuan agama Islam yang dianut penduduknya.
[3] Sistem pasar tradisional periodik kurai dalam periode satu minggu terdapat 2 hari pasar, yakni Kamis dan Sabtu. Pada periodik inilah secara umum masyarakat tumpah ruah berbelanja kebutuhan rumah tangga ke pasar tradisional.
[4] agroforest,adalah sebuah system usahatani hutan yang letaknya jauh dari tempat tinggal (Kurniatun Hairiah, Sistem Agroforestri di Indonesia, www.worldagroforestrycenter.org)
[5] Orang dusun merupakan hasil dari proses panjang hubungan antar suku bangsa yang berada didaerah Sarolangun. Suatu penggambaran atas komunitas yang berasal dari perkampungan masyarakat pedesaan Sarolangun yang telah menetap didaerah itu sejak awal, yang selanjutnya melakukan persebaran ketempat lain dalam kawasan tersebut (Lihat Fahrudin, Persebaran Orang Dusun : Studi Antropologi Ekologi Terhadap Pemukiman Orang Dusun Di Kecamatan Sarolangun –Kabupaten Sarolangun , Skripsi Jurusan Antropologi- Universitas Andalas 2005)
[6] Terdapat dua pengertian tentang sebutan Batin. Pertama dari bahasa Arab berarti “dalam” sama dengan orang dalam, yang mengacu pada orang keratin, karena orang Batin mempunyai keistimewaan yang diberikan Raja Melayu Jambi pada masa itu dengan tidak dikenai wajib bakti sebagai pekerja dikeraton maupun diluar keratin. Kedua, berasal dari kalimat Batino /perempuan, lebih dalam lagi induk, atau pangkal, asal mula, asli. Jadi pengertian terangkum menjadi orang induk/ orang asli Jambi. Lihat Mukty Nasrudin dalam Fahrudin, Persebaran Orang Dusun : Studi Antropologi Ekologi Terhadap Pemukiman Orang Dusun Di Kecamatan Sarolangun –Kabupaten Sarolangun , Skripsi Jurusan Antropologi- Universitas Andalas 2005.
[7] Kecenderungan migrasi etnis Minangkabau yang dikatakan sebelumnya cenderung kedaerah perkotaan, tidak berlaku untuk kasus orang Penghulu dipedesaan Sarolangun.
[8] Disebut hutan karet karena kebun karet yang dikembangan oleh penduduk Sarolangun, secara umum berasal dari bibit karet lokal/hutan, ditanam dengan jarak tanam cukup rapat, terkadang berjejer membentuk pagar. Pembukaan lahan dilakukan dipinggiran hutan, dilahan tanah kering bekas hutan alam, atau semak yang diawali dengan penebangan dan pembakaran semua tumbuhan, dilakukan pada musim kemarau. Setelah ditanami karet, lahan cenderung ditinggal, tidak dilakukan perawatan tanaman secara periodik, sehingga sekitar tanaman karet dipenuhi semak. Perlakuan tanaman seperti ini terus berlangsung selama usia karet produktif. Sehingga lingkungan yang terbentuk dan tampak adalah hutan karet. Bukan kebun karet yang terawat bersih secara periodik. Inilah salah satu faktor penyebab kenapa petani masih enggan menanam karet unggul, karena perlakuan dan perawatannya akan berbeda dengan karet lokal/hutan yang biasanya mereka budidayakan. Bagi penduduk, lahan rawa/payau tidak ditanami karet karena lateks yang dihasilkan tidak bagus dan karet pun sulit tumbuh. Biasanya lahan tersebut dibiarkan begitu saja, atau pada musim hujan akan ditanami padi, belakangan ditanami kelapa sawit, karena kelapa sawit cocok dan dapat bertahan di tanah rawa berair. Selain itu rawa juga berfungsi sebagai area pembatas kepemilikan tanah, yang mana sering berpotensi konflik.
[9] Karet yang dikenal dalam bahasa lokal sebagai Para(h) mulai berkembang di Jambi pada tahun 1905, akibat tanam paksa penjajah Belanda yang baru menguasai Jambi waktu itu. Perkembangan agroforest hutan karet dipelosok Jambi disinyalir merupakan suatu penanda dari perkembangan masyarakatnya, dari sistem berladang berpindah ke sistem agroforest hutan karet. Usahatani agroforest hutan karet dapat tumbuh dan bertahan karena hubungan penduduk dengan dunia luar sebagai pasar lateks karet, seperti Cina, India, Arab dan Belanda telah berkembang sejak lama. Pohonnya sendiri konon berasal dari Brazil.
[10] Paragraf ini disarikan dari Peremajaan Karet Tua di Jambi http://sarolangunjambi.wordpress.com, 19 Oktober 2008
[11] Lihat Amri Marzali, Konsep Peisan dan kajian Masyarakat pedesaan Indonesia, Jurnal Antropologi Indonesia No.54 Th XXI Des 1997 –April 1998.
[12] Bagi pohon karet sebenarnya kondisi ini merupakan sebuah masa istirahat, dimana pohon karet dapat beristirahat memulihkan kulitnya yang terus disadap. Dalam jeda waktu tersebut, pohon karet dapat kembali menghasilkan lateks karet dengan kuantitas dan kualitas yang lebih baik.

Tidak ada komentar: