Beberapa hari belakangan, ada yang membuatku penasaran sekaligus ngenes, karena secara kasat mata ini adalah sebuah pemandangan menyedihkan. Hampir setiap sore dan malam ketika berada diatas sepeda motor , aku selalu berpapasan dengan dua sosok berbeda yang membuat mataku selalu saja menoleh kearahnya, lalu hatiku bergulat sendiri mencari kebenaran. Ingin rasa mengetahui kisahnya, tapi tak pernah ada keberanian untuk berhenti barang sebentar dan moment tepat untuk berhenti mengajaknya bercerita. Sepintas takut menganggu aktivitasnya atau malah diusir tegak dari hadapannya.
Sosok pertama, adalah laki-laki melayu paruh baya. Hampir setiap malam selepas maghrib selalu tampak duduk disamping gerobaknya di tepi bundaran dekat tugu juang. Tanpa peduli debu jalanan, bising kendaraan, atau bahkan hujan sekalipun dia tetap duduk sendirian diatas tembok taman pembatas jalan. Terkadang dimalam yang lembab asap rokok keluar dari hidungnya, mematung dengan pikiran yang entah apa. Sendirian ditengah malam, ditengah keramaian lalu lintas. Tak ada kawan bercerita, menghabiskan malam sendirian gigit dingin nya angin pagi, hanya mengandalkan kesehatan tubuhnya yang secara perlahan pasti dicuri jahatnya angin malam.
Penampilannya , tidaklah seperti para pengelandang jalanan lainnya. Setiap malam dia tampak bersih seperti siap mandi dengan rambut di sisir rapi kebelakang. Aku terus saja bertanya kenapa dia tidak beristirahat dengan gerobaknya di trotoar pertokoan tak jauh dari bundaran itu. Aku pikir akan jauh lebih aman dan nyaman, terhindar dari hujan dan mungkin saja kendaraan sesat yang menyerempetnya. Sampai sekarang aku tak tahu siapa dia sebenarnya, apa yang dikerjakan ?
Sosok kedua, perempuan lansia Tionghoa. Hampir setiap sore aku melihatnya mendorong sepeda kumbang dengan di bebani tumpukan barang bekas dikanan kirinya. Dengan terseok dia berusaha mendorong dan menahan sepedanya, terkadang seperti hendak rebah kesamping, karena tubuh renta nya tak kuat menahan beban sepeda. Sosoknya tua dengan uban memenuhi kepalanya, ringkih kurus dan lusuh pertanda betapa berat hidupnya. Tapi dia tetap semangat mendorong sepedanya. Ingin rasanya mengabadikan sosoknya lewat kamera. Tapi setiap kali hendak memotretnya dia tak tampak dijalan, tapi ketika tak membawa kamera sosoknya muncul diantara ramainya lalu lintas.
Pada dua sosok manusia inilah aku bercermin betapa pedihnya hidup, betapa kepapaan hanya tampak sebagai sesuatu yang lewat dipelupuk mata begitu saja. Aku bayangkan seandainya laki-laki melayu itu adalah diriku, betapa tak sanggupnya aku hidup dirantau sendirian dimasa tua. Hidup beratapkan langit dan berselimut angin malam. Betapa kesendirian pastinya akan membunuh dengan kejam.
Sedangkan pada sosok perempuan lansia Tionghoa, aku berpikir tak hanya etnis melayu yang menelatarkan orangtuanya. Di tengah ketidaklumrahan itu hadir pula lansia Tionghoa yang berakhir dijalanan. Dan ini bertolak belakang dengan apa yang pernah aku lihat beberapa waktu lalu,dimana seorang lansia perempuan Tionghoa bersama keluarga besarnya pergi menonton di salah satu bioskop kota, sebuah gambaran keluarga bahagia. Aku sendiri berharap cerita dua orang diatas tidak berlaku pada amak ku di kampung dan diriku dihari tua, hidup tanpa kepedulian sosial orang-orang, tanpa kepedulian keluarga apalagi kepedulian negara yang pergi entah kemana seperti tak tampak saat dibutuhkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar