Setelah kurang lebih 25 tahun lewat, sore ini secara tak terduga masa kecilku seperti datang kembali lewat sepotong jajanan bernama aci digoreng atau yang lebih familiar disebut Cireng. Walaupun bentuknya sedikit berbeda, yang lama pipih ditusuk lidi dan yang ini bulat tak beraturan seperti kepalan tinju. Meskipun memakannya tanpa saus cabai atau kuah kacang, rasanya yang gurih dan kenyal tetap saja membuatku melayang pada masa kecil. Masa membelinya pagi pagi di gang permukiman padat di Cimahi atau saat berseragam merah putih dan membuat seragam sekolah yang mesti dipakai lagi esok hari itu belepotan kecipratan saos.
Tapi bagaimanapun Cireng tetap salah satu satu jajanan rakyat Sunda favoritku yang kutemukan kembali di Kota Jambi lewat pedagang gorengan asongan kaki lima asal Indramayu yang sekitar awal tahun 2004 mulai berjualan di Jambi dengan cara berjualan berkeliling. Dan ketika Kota Jambi telah mulai ramai dan padat seperti sekarang mereka ini berjualan nongkrong di persimpangan / trotoar jalan atau tempat keramaian secara tetap. Hebatnya pedagang gorengan asal Indramayu ini tetap menjual gorengannya mulai dari pisang goreng, tempe goreng, gehu (tahu isi), bala - bala dan terakhir cireng dengan harga Rp.500/buah, sementara pedagang gorengan lain menjualnya gorengan dengan harga Rp.1.000/buah bahkan ada yang sudah menjual dengan harga Rp.1.500 /buah.
Menakjubkan memang, ketika dunia dan kebudayaan bergerak tanpa lagi dibatasi oleh sekat budaya dan geografis, mobilitas manusia sekaligus budaya telah memberikan perubahan besar pada berbagai hal dan peristiwa, salah satunya telah membuat sepotong masa kecilku kembali. Begitulah aku menafsirkan pertemuanku kembali dengan jajanan bernama Cireng. Tak mesti lagi bersusah payah berada disana secara fisik untuk merasakannya.
Tapi lucunya, karena sepintas bentuk Cireng mirip dengan Mpek-mpek Palembang, beberapa pembeli lokal sempat meminta kuah cuka pada penjual gorengan. Sejurus kemudian penjual gorengan dengan sabar menjelaskan apa nama jajanannya tersebut. Lalu apa yang dapat dipelajari dari banjirnya jajanan khas daerah di suatu perkotaan, yang jelas ini merupakan potret keberagaman suatu masyarakat kota dimana tidak hanya manusia saja yang merantau jauh meninggalkan kampung halamannya, tapi kuliner daerah asal juga ikut merantau dan bertarung dengan lidah-lidah budaya lain di perantauan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar