Sekitar dua tahun lalu, aku marah begitu melihat sebuah plang di sekitar Taman Nasional Bukit Dua Belas yang bertuliskan “ Disini akan dibangun Rumah Ibadah Gereja Suku Anak Dalam (baca Orang Rimba) mohon doa restu”, tapi berikutnya aku juga mempertanyakan gerakan sebuah LSM yang berorientasi meng Islamkan Orang Rimba dalam pendekatan pemberdayaannya.
Dilain waktu ketika ke Masjid, aku pun merasa canggung melihat perempuan mengunakan cadar penutup muka. Belakangan juga aku merasa risih dengan rumah orang Batak sebelah rumah yang dijadikan sebagai tempat kebaktian setiap Jum’at malam. Risih mendengarkan nyanyian puja pujinya di malam hari. Karena merasa tak puas, akhirnya aku mempertanyakan hal ini kepada Ketua RT. Jawaban singkatnya cukup membuatku terdiam “ biarkan saja pak, bukankah setiap orang mempunyai hak yang sama dan bebas melakukan kegiatan keagamaannya”. Saat itu aku seperti menjadi sosok dengan pikiran bodoh.
Sekarang aku malah berbalik bertanya dalam hati jika pada Jum’at malam tidak terdengar nyanyian kebaktian di sebelah rumah. Disudut blok lain sering pula setiap pagi aku menyaksikan Koko membakar dupa sambil membungkuk dengan hikmat sepenuh hati kearah matahari terbit. Sebuah pemandangan dan keheningan yang indah.
Apa yang aku rasakan diawal sebenarnya adalah perasaan yang tidak pantas untuk dipelihara, karena jauh-jauh hari bangsa ini telah mengkristalkan keberagaman kehidupan budaya sosial dan keagamaan dalam 3 konsep nilai utama bangsa. Pertama : Bhineka Tunggal Ika, Kedua Pancasila terutama dalam sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dan ketiga UUD 1945, dimana kebebasan memeluk agama dan beribadah dilindungi sepenuhnya oleh negara.
Sebagai sebuah nilai yang berada dalam supra struktur koginitif masyarakat, ketiganya bukanlah suatu nilai yang menjadi prilaku keseharian masyarakat begitu saja dengan mudahnya. Menjadikan ketiganya sebagai bagian dari nilai dalam aktivitas sosial, budaya dan keagamaan merupakan suatu hal yang tak mudah bagi setiap individu dengan beragam latar belakang sosial dan budaya. Tidak saja dibutuhkan seperangkat sistem pengetahuan, tapi juga beragam pengalaman otentik dan pemahaman-pemahaman dalam sebuah lingkungan sosial dan binaan yang beragam. Paling tidak itu tergambar dengan pengalamanku.
Dengan pengertian lain, diversitas keberagaman dan kerukunan umat merupakan jaring kontinuitas ranah perilaku yang terbentuk dari sebuah proses sosial itu sendiri. Bukan merupakan sesuatu yang terjadi dengan sendirinya , melainkan sebuah pencapaian budaya. Dan dia akan selalu seperti itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar