Sudah hampir sebulan lebih tidak melihat bapak tua (79 th) penjual roti keliling dengan pikulan. Bapak tua ini benar benar berhasil menyentuh hatiku bahkan istriku beberapa kali menangis dibuatnya. Bagaimana tidak melihat tubuhnya yang ringkih dan bungkuk berjualan roti memikul pikulan tempat roti saja rasanya sudah berat minta ampun, aku saja belum tentu kuat berjualan seperti itu. Kadang aku lihat sampai sore hari dagangan rotinya masih utuh. suatu siang aku lihat dia membeli gorengan indramayu 500 /an untuk makan siang. pernah juga aku lihat dia sholat ataupun jumat di masjid dekat rumah dengan kondisi letih dan berkeringat, dengan roti yang tak usak sama sekali.
Roti yang dijualnya adalah roti kelas " kampung" model lama yang dijual dengan harga Rp.1.000/buahnya. Jadi wajar memang rotinya mudah keras ketika sudah menjelang siang. mungkin itu pula yang menyebabkan rotinya kurang laku, kalah bersaing dengan roti lain di toko yang dari segi rasa dan bentuk jauh lebih baik.
Kadang kalo berpapasan kami sengaja membeli rotinya, selain karena lapar mudah mudahan juga bisa sedikit membantu, melebihkan sedikit uang untuk si bapak. kami berdua berpikir bagaimana untuk menolong si bapak berjualan, kami berpikir , mungkin jika si Bapak bisa berjualan dengan gerobak pastinya itu bisa meringankannya untuk berjualan. Tapi setelah dipikir-pikir lagi pastinya besar juga biaya, sempat berpikir untuk menshare rencana itu di facebook, mungkin akan banyak kawan-kawan yang tersentuh hatinya dan bersedia urun rembuk membantu. Tapi akhirnya niat itu kami urungkan karena sampai sekarang saya tak punya poto profil si bapak.
Entah karena jodoh entah karena apa, suatu senja di dekat Gramed, ketika sedang makan sop buah beserta istri saya melihat bapak-bapak dikerubungi orang orang, aku jadi penasaran, setelah ku dekati aku terkejut, karena itu ternyata bapak tua penjual roti. yang tersesat, nyasap berjualan tak tau arah jalan pulang kerumah kontrakannya di daerah kenali jambi.Karena aku merasa dekat dengan bapak tua ini akhirnya ku tawarkan diri untuk mengantarnya naik motor, si bapak dengan wajah letih penuh keringat duduk di belakang dengan pikulan rotinya yang tak habis. Aku sendiri mengendarai motor dengan cemas, dan risau. Cemas karena tak biasa memboncengi dengan beban memakan ruas jalan dengan pikulan roti. Risau memikirkan si bapak, takut takut dia terjatuh kebelakang karena tak kuat menahan pikulan roti. Tapi semua itu tidak terbukti, si bapak ternyata dengan tenang bisa memutar atau memindahkan letak pikulannya di kiri kanan pundaknya secara bergantian diatas motor. Dan aku sendiri dengan pelan dan hati-hati mengendaraimotor, takut diserepet atau menyerempet pengguna jalan lainnya.
Masalah justru timbul, karena si bapak tidak begitu hapal lokasi tempat dia tinggal, aku sendiripun sebagai pendatang tidak begitu hapal dengan daerah kenali yang dia sebutkan. Si bapak hanya tau kenali dekat kuburan umum dekat pengeboran pertamina. Beberapa kali kami berhenti menanyakan alamat. Pada saat itulah si bapak hampir tertabrak truk, aku tak dapat memeganginya karena dia langsung turun dari motor dan menyebrang begitu saja. Kalau itu kejadian, pasti aku benar-benar merasa bersalah. Tak terbayangkan. Ketika aku Tanya kenapa bapak mendadak langsung nyebrang ? dia menjawab, “ saya pikir itu rumah saya disebrang simpang sana, ternyata salah” Obrolanku sendiri dengan si bapak, dibangun dengan dua bahasa sekaligus sunda Indonesia. aku berusaha agar tetap mengunakan bahasa sunda ku walaupun patah patah, terkadang keluar bahasa sunda kasar.
Setelah tiga kali berhenti akhirnya kami berhasil menemukan rumah si bapak, dipersimpangan dia mengenali tanda di persimpangan menuju rumahnya, dengan melihat asap pengeboran pertamina mengepul kelangit. Langsung motor saya belokan kearah kanan jalan, masuk ke sumber asap, menuruni jalan tanah berbatu, berbelok lalu menemukan rumah yang dimaksud pas setelah Adzan magrib berkumandang. Sebenarnya semenjak diperjalanan aku sudah berniat, nanti ketika sampai ditujuan aku berniat numpang sholat magrib di rumahnya sekali ngobrol panjang lebar tentang dirinya. Pas berhenti itu baru aku tahu ternyata itu bukan rumahnya, melainkan rumah bos rotinya yang kebetulan adalah orang sekampungnya di Sukabumi. Si bapak tua dengan tukang roti lainnya numpang tinggal di situ. Sedangkan istri dan anak-anaknya tinggal di sukabumi. Niat ku untuk numpang sholat urung karena aku merasa tidak enak ketika si bapak berusaha membayar tumpanganku dengan uangnya, bahkan membujuk ku dengan membungkuskan rotinya. Terang saja aku menolaknya dengan halus, dan bergegas pamit. Si bapak tak henti hentinya berterima kasih dalam bahasa sunda “ nuhun pisan jang, nuhun”.
Diatas motor menuju tempat aku meninggalkan istriku, aku terus memikirkan si bapak, dalam usia lanjutnya itu betapa kuatnya si bapak, betapa gigihnya dia mencari nafkah untuk anak istrinya dikampung. Tak dapat aku bayangkan bagaimana dia berjualan berjalan kaki dengan rute sejauh itu, dengan pikulan seberat itu, tiap harinya. Pengalaman mengantar si Bapak ini membuatku semakin kuat untuk membantunya mengusahakan mendapatkan gerobak roti roda sepeda.
Tapi setelah itu aku tak melihatnya lagi berjualan di jalan, pernah menjelang magrib aku melihatnya masih berjualan mungkin menuju arah pulang dengan dagangan roti yang juga masih tersisa. Setelah itu aku tak melihatnya lagi. Kami berdua pengen bertemu dan gobrol dengan si bapak, malah berniat kalau juga tidak ketemu, rencananya akan main ke rumah tumpangannya rumah si bos roti.
Dasar ya, umur panjang dan jodoh, sepulang kantor, sore tadi aku melihat si bapak tua di daerah mayang menuju pulang di sebelah kanan badan jalan. Aku pun berhenti dan memarkirkan motor diseberang jalan. Dan berjalan menghampirinya yang juga berhenti karena dia dipanggil anak-anak kecil yang keluar dari rumah hendak membeli rotinya. Aku pandangi wajah lelah si Bapak tua dengan terharu dan juga bangga. Dikerah bajunya selalu saja terselip handuk kecil penyeka keringatnya. Aku sapa dia, sambil mengambil satu roti isi kelapa yang sudah keras. Si bapak sibuk melayani 5 anak kecil yang membeli rotinya 1 orang perbiji.Dan bisa dipastikan si bapak dapat Rp.5.000 dari roti itu. Setelah anak-anak itu masuk kedalam rumah, aku baru bisa ngobrol panjang lebar dengan si bapak, tetap di halaman rumah tempat anak-anak itu bermain.
Dengan berjongkok kami berdua ngobrol. Si bapak sendiri pangling atau tak ingat dengan aku yang pernah mengantarnya. Setelah diingatkan baru dia kenal, dia bilang saya ngarasa kenal tapi dimana enya ? katanya. Saya tersenyum bercerita kembali. Tepatnya mengajaknya kembali bercerita dengan penuh selidik. Aku tetap teringat dengan niatku untuk mengusahakannya gerobak roti. Maka untuk maksud itu baiknya aku tanyakan terlebih dahulu pada si bapak. Pak ku naon ngak pakai gerobak aja ? jawabnya susah jang, mun jualan pakai gerobak mah, roti saya teh lakunya bukan di kota, bukan dirumah rumah gede, tapi di lorong lorong. Jadi kalau pakai gerobak mah ngak bisa masuk atuh.
Jawaban si bapak itu membuatku berpikir kembali untuk mengusahakan nya sebuah gerobak. Walaupun dalam hati aku masih berpikir, kan bisa ukuran gerobaknya di siasati. Tapi sudahlah. Tapi jawaban bapak itu juga sekaligus menjawab pertanyaan lain dalam hatiku, kenapa si bapak berjualan sampai jauh, karena harus ngider kepelosok pemukiman, dimana disitulah rotinya mempunyai tempatnya, berjualan hanya berdasarkan arah kaki katanya tak punya tujuan jelas karena tak punya langganan tetap. Aku Tanya apakah matanya masih cukup awas untuk melihat dijalanan, katanya masihlah, Alhamdulillah Jang.
Si bapak kemudian bercerita, sekarang dia di rumah tumpangannya itu hanya tinggal bertiga lagi dengan penjaja roti keliling lainnya. Teman-temannya yang lain telah pulang ke Sukabumi karena dagangan susah laku sekarang. Sedangkan si Bapak memutuskan untuk bertahan karena tidak ada yang bisa diusahakannya di kampong. Paling tidak jika disini dia masih bisa berjualan roti, dan mendapatkan rezeki secukupnya sedikasihnya gusti Allah katanya. Dari harga Rp.1.000 / roti dia dapat Rp.400/roti, yang Rp.600 milik bos roti. Biasanya pikulan rotinya berisi 200 buah roti. Kalau habis semua Rp.120.000 setor ke bos, sedangkan 80.000 untuk dirinya. Tapi hal seperti itu tak pernah terjadi. Malahan kemarin dia mesti nombok bayar roti kepada bosnya Rp. 70.000 karena dagangan tidak laku. Tapi disela cerita seperti itu si Bapak masih sempat-sempatnya menawari ku mencoba menyicip rotinya yang lain yang katanya tanpa pengawet tanpa ragi, lalu aku pun makan roti tusuk berlapis misis seres warna warni seadanya itu.
Akhirnya aku berdiri karena penat duduk, dan menghentikan percakapan walaupun aku masih ingin tahu banyak cerita tentang si bapak. Aku memikirkan dia masih harus berjualan menghabiskan sisa rotinya sambil jalan menuju pulang yang juga masih jauhnya minta ampun. Katanya ya mudah-mudah se'eb/habis sambil pulang, nanti naek ojek aja pulang . Aku pun masih terus berpikir bagaimana bisa membantu si bapak ini, apakah layak bapak yang penuh semangat ini di bantu ? akhirnya aku selipkan sedikit uang sedekah untuk si bapak, dia pun kaget menolaknya, tapi akhirnya menerimanya. Dan langsung mengucap syukur dan membaca ayat-ayat Al quran, mendoakan ku dalam bahasa Sunda, aku diam meneteskan air mata. Dan menepuk nepuk pundaknya.
Perasaan dekatku dengan si bapak, sekaligus pertemuanku dengannya membuatku terus berpikir. Ini adalah jalan Allah, rahmat yang diberikan Nya kepada ku. Karena aku pikir bukan aku yang menolong dirinya yang tua, tapi dialah yang telah menolong hatiku dan membuatku malu jika malas untuk bekerja. Terimakasih bapak, semoga bisa silaturahmi lagi walaupun cuma di jalan. Semoga disehatkan Nya selalu dan rotinya laris. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar