Rabu, 15 Juni 2011

Tabek di kampung amak

Dikampung Amak ku, ketika jaringan pipanisasi PDAM belum sampai kerumah-rumah dan air sumur belum diterima untuk dikonsumsi karena dipercaya sebagai air dari tubuh orang mati, untuk keperluan MCK orang kampung pergi ke Tabek (kurang lebih berati kolam) di Baruah, Tambuo atau di Koto Bawah disepanjang aliran banda air yang mengalirkan airnya kesawah-sawah, ke tabek di tepi Surau, atau ke tabek disamping rumah penduduk.

Didalam rumah untuk kebutuhan harian, penduduk membuat bak-bak besar penampung air hujan, ini dimungkinkan dengan tingginya frekuensi hujan sebagai konsekuensi kampung dalam lingkup alam gunung Merapi, baru kemudian atap-atap rumah dari seng yang telah diatur pengelontorannya, menumpahkan air hujan itu kedalam bak besar penampungan. Ketika air menjadi sulit dan mendesak, tidak perduli dan sempat lagi memikirkan rematik mengancam setelahnya. Sedang untuk kebutuhan air minum, penduduk mengambilnya dari lubuak tak begitu jauh dari tabek.

Kembali ke tabek, seperti biasanya tabek berisi ikan-ikan mulai ikan mas, nila, sepat dan juga lele. Tabek sengaja dibuat dan difungsikan terpisah kadang juga padat fungsi sekaligus. Fungsi seperti itu dapat diterapkan dan terintegrasi dengan baik tanpa kecanggungan jender sama sekali karena tabek dibuat terpisah secara praktek dan gender apalagi kejijikan dari pandangan kesehatan modern. Pada moment lain, tampak anak-anak mencebur, berendam dan berenang puas didalamnya.

Sistem tabek serupa itu dapat berlaku karena didukung sumber air banda yang mengalir bersih tanpa hambatan dari hulu lalu masuk ke tabek. Air ditabek itupun akan mengalir kembali ke hilir, bisa jadi ke tabek lain, ke sawah, atau lepas begitu saja. Kontinuitasnya akan dipelihara dengan gotong royong anak-anak nagari membersihkan tali banda, memastikan air mengalir dengan lancar ke tempatnya. Dua hal yang pertama merupakan mekanisme alam yang kemudian secara fisik direkayasa pemanfaatannya dan kemudian berturut-turut dipelihara melalui mekanisme sosial gotong royong.

Pada penjelasan serupa ini air menempatkan dirinya sebagai suatu kebutuhan utama masyarakat, menguasai hajat hidup orang banyak sehingga pemanfaatan dan penggeloalaannya diatur dengan teknik pengairan sedemikian rupa. Referensi yang saya baca, terutama dalam buku Madilognya Tan Malaka disebutkan teknik pengairan Minangkabau melebihi teknik pengairan Jawa dan bagian Asia lainnya, apakah yang dimaksudnya adalah teknik pengairan tabek ini ? saya tak tahu pasti dan hanya bisa menduga. Atau justru kedalam bagian lain, dimana arus airnya dimanfaatkan sebagai pengerak kincir air, penganti mesin dynamo memisahkan gabah menjadi beras atau menumbuknya menjadi tepung, seperti yang dilakukan kakek moyangku yang bernama Inyiak Kincia. Atau pada kecerdikan mekanik lainnya, yang secara pantastis membendung air sungai yang tak dapat mengalir langsung ke sawah-sawah yang lebih tinggi dari sumber air, diarahkan ke kincir, lalu puntarannya memindahkan literan air sedikit demi sedikit ke parit-parit mengaliri pesawahan penduduk.

Tapi sekarang sepertinya warisan agraris itu tidak banyak lagi tersisa. Sepanjang jalan menuju Bukittingi, mulai dari jalan Kota Baru sampai persimpangan Jambu Air, kalau tak mau dibilang tak ada, tak banyak lagi tabek-tabek tersisa, tak banyak lagi rombongan ibu-ibu mencuci pakaian disepetak batu pinggiran tabek sepanjang jalan itu. Airnya mulai menghijau, ada juga yang kering atau sengaja dikeringkan berganti tonggak-tonggak beton rumah batu, sawah-sawah dipepet diganti deretan ruko.

Jangan tanya dengan apa yang terjadi dikampung Amak ku, kampung tempat Amak lahir dan tinggal berumah, air dihulu tak dapat lagi diandalkan, tali banda dipenuhi sampah-sampah plastik, kotoran dari arah pasar. Sepertinya mekanisme sosial gotong royong tali banda tak lagi mempan manakala daerah hulu tak terjaga, diobrak abrik ketidakpedulian dan ruahnya pendatang yang tak bisa dibatasi.

Kegiatan mandi dan mencuci di tabek yang semula merupakan arena sosial, pelan tapi pasti bakalan menjadi kisah nostalgia semata, berpindah menjadi aktivitas personal dirumah-rumah, dengan konsep kamar personal, bahkan dilengkapi kamar mandi didalamnya, dengan putaran dinamo mesin cuci dan sumber air dari jaringan PDAM dan air sumur yang telah diterima kehadirannya.

Dan ketika kita merasa tidak puas dengan apa yang terjadi dengan hari ini dan tak dapat membayangkan dengan jelas gambaran masa depan, atau malah membayangkannya lebih buruk dari hari ini, banyak dari kita menoleh kebelakang, pada kenangan, bernostalgia, beromantisme pada masa lalu berharap mendapat kenyamanan, pada saat inilah mimpi berlaku surut, mimpi dengan alam kehidupan yang dulu seperti aku memimpikan betapa indahnya dihari tua tinggal dialam pedesaan, sawah menghampar didepan mata, tabek dengan suara gemercik air tak henti terdengar dikesunyian pedesaan.

Sementara sebagian orang-orang dikampung mempunyai gambaran mimpi dunianya yang lain, lepas dari kotak alam pedesaan, memimpikan kota datang ke desa. Sebagian lain tak bisa menolaknya, kota telah dibenamkan dibenak kita tanpa kompromi sebagai keharusan, sebagai buah pembangunan, sebagai bukti kehadiran pemerintah.

Tidak ada komentar: