Selasa, 07 Juni 2011

Logika kerindangan

Sebagian masyarakat entah itu masyarakat tradisi, pedesaan atau bahkan perkotaan masih saja membatasi dirinya dengan apa yang disebut Tan Malaka sebagai logika mistika, memandang apa yang terjadi didunia dipengaruhi kekuatan keramat di alam gaib, bersemayam di tempat keramat, mengadakan mantra, doa-doa dan sesajen sebagai pengakuan atas kekuatan tak kasat mata pengendali hidup, sekaligus wujud atas ketaatan iman.

Batasan logika serupa ini mengikat sebagian masyarakat, sementara lainnya mengikatkan dirinya pada batasan religi yang lain. Bagi seorang yang mengikatkan diri pada logika mistika bisa saja sebuah pohon adalah keramat, tempat roh nenek moyang bersemayam menjaga keseimbang hidup. Tapi bagi yang mengikatkan dirinya pada logika rasional, bisa saja sebuah pohon tidak saja berarti pengendali banjir, penghasil o2 tapi juga berarti malapetaka, bencana bagi hidupnya. Keduanya berdampingan dalam hidup.

Begitu juga bagi warga sebuah komplek perumahan. Kekakuan bangunan komplek perumahan dan panasnya suhu udara telah diredam dengan beragam pohon sepanjang jalan utama dan tepi rumah, mulai dari Palem, Bambu Kuning China, Mangga, dan beragam lainnya. Sebut saja pohon mangga yang dulunya kecil bersama putaran waktu telah menjadi besar. Berubah bencana, manakala kerindangannya tak lagi terkendali, memakan ruang yang sempit itu, menimbulkan kekwatiran, menyeruak diantara centang perenang kabel listrik, telpon dan tv kabel, mengancam tanah yang disekat blok-blok, berbaris lurus kotak-kotak rumah mungil beraturan kaku demi estetika, keefesienan dan keteraturan.

Kekwatiran atas kerindangan tak terkendali itulah yang membuat Bapak Palembang disudut blok yang rumahnya telah dijuntai’i rindangan pohon mangga dan memberikan jalan bagi semut kararango merayapi kabel listrik menuju rumahnya. Karena tak tahan, kemudian dia berusaha memanjat dan memotongnya sendiri setelah bapak pemillik pohon mangga acuh tak acuh tak bersedia mengurangi kerindangannya yang mengancam.

Niatan itu justru berbuah bencana, tidak saja dahan pohon yang jatuh, dirinyapun jatuh dari atas pohon mangga berumur 16 tahun seumuran perumahan ini. Cabang pohon yang hendak dipotong justru patah dari induk batangnya, tak sanggup menahan berat badan si bapak. Kepalanya menghantam jalan aspal tepat dibawahnya, pingsan selama 7 hari, bonus amnesia dalam kurun satu tahun sebelum benar-benar pulih kembali. Sementara itu pohon mangga masih berdiri dengan kerindangannya. Mungkin pada saat itu penganut logika mistika akan menjelaskan kejadian itu dengan cara berbeda.

Kisahnya pun tak berhenti sampai disitu, Daeng yang kemudian mengontrak rumah dengan pohon mangga itupun harus mengalami petakanya sendiri. Setelah hampir setiap hari disibukkan dengan membersihkan guguran daun dijalan dan selokan, giliran mangga berbuah, keponakan Daeng yang baru saja datang memetik 15 buah mangga sisa panenan pemilik rumah. Peristiwa ini diketahui putra pemilik rumah yang tinggal bersebelahan, mengira Daeng telah memanen semua buah mangga, dengan bukti adanya bungkusan karung tersandar dibawah pohon mangga. Padahal karung itu sendiri berisi batok kelapa sisa Daeng berjualan.

Terang saja kejadian ini membuat hubungan diantara keduanya berantakan. Ikatan kontrak diantara kedua berakhir secara sepihak, pemilik rumah tidak bersedia melanjutkan kontrak pada tahun berikutnya. Padahal warung harian Daeng sedang laris-larisnya, serupa pasar kecil, tidak saja menjadi tumpuan bahan dapur ibu-ibu komplek, tapi juga arena sosial untuk sedekar berkicau, bergosip atau berbagi cerita diantara sesama ibu-ibu.

Kepindahan Daeng menimbulkan kicauan beragam tentang ketergantungan ibu-ibu yang diputus dengan sepihak, tentang blok yang akan berubah sepi, tentang percakapan pagi yang hilang, terutama tentang pemilik rumah dan pohon mangga yang telah memakan korban untuk kedua kalinya. Membiarkan rumah itu tidak berpenghuni tidak berlampu, membiarkan dahannya merayap keatap rumah dan mungkin menjadi rumah yang nyaman bagi segala demit. Dan sekarang dia hanya meninggalkan kerindangannya, sebuah kerindangan yang bertolak belakang dari perumpamaan bahasa adat tentang personifikasi ketokohan dan guguran daun memenuhi jalan, berantakan tak tersapu kecuali atas kemurahan hati si Bapak Palembang yang menceritakan kembali pengalamannya dengan pohon mangga itu sambil menunjuk kearah bekas patahan cabang dahan mangga 4 tahun lalu.

Libur panjang kemarin, aku seperti kembali di ingatkan dengan kisah pohon mangga ini. Nenek Sanah - Tukang urut yang orang Sunda - , disela-sela pijatannya bercerita kembali tentang pohon mangga itu. Katanya tak ada jalan keluar selain membuat pohon mangga itu mati dengan cara tak langsung, dengan cara menanamkan terasi ditusuk paku ditanah sekitar batang pohon. Pohon akan mati kering sendirinya, digerogoti kebencian dan sumpah serapah. Dan itu sudah pernah di buktikannya secara tidak langsung dari pengalaman belasan tahun lalu. Tapi dalam hati, aku katakan tidak, aku tidak ingin jadi pembunuh dengan cara apapun atau atas alasan apapun. karena Itu akan berarti kesamaan tingkatan laku, sebelas dua belas. Biarlah aku menyelesaikannya dengan logika ku sendiri yang entah apa !

Tidak ada komentar: