Selasa, 05 Agustus 2008

Anthropologi Adalah Saya

Anthropologi tidak mesti dibatasi atau membatasi diri dengan pengertian ataupun batasan -batasan tertentu mengenai keilmuannya. Dalam perkembangan dunia dan masyarakat manusia yang cepat berubah dan tanpa batas, kesibukan mendefenisikan diri seperti itu menjadi tidak lagi relevan dan konstrukstif untuk dilakukan. Dan jika tidak hati –hati bisa jadi tulisan ini justru tergelincir masuk dan terjebak kedalam pusaran yang sama.

Walaupun bukan sesuatu yang utama, pekerjaan seperti ini tetap saja dipandang penting, terutama dari sudut keilmuan. Karena tak dapat dipungkiri para pelaku terdahulunya telah lebih dulu dan atau terlanjur memberikan batasan ini itu, untuk kepentingan dan tujuan tertentu. Namun pada akhirnya pengertian anthropologi tetap tidak akan beranjak dari dua hal utama yakni manusia dan kebudayaannya. Dengan demikian hakikatnya anthropologi tidak memberikan batasan tertentu selain pada dua hal tersebut.

Konsekuensinya anthropologi menjadi sangat personalism. Anthropologi adalah saya. Anthropologi serupa falsafah alam takambang jadikan guru. Anthropologi menjadi tidak berbatas, ada keberagaman dan kebebasan berpikir, memilih serta menjadi apapun dalam dan atau dengan anthropologi. Pelaku anthropologi tidak mesti melulu berasal dari kalangan yang secara formal mendapatkan pendidikan anthropologi. Hal ini menjadi penting karena anthropologi menyangkut kepekaan terhadap hal ihwal yang berkaitan dengan manusia dan kebudayaan. Buktinya telah banyak lahir karya – karya etnografi atau tulisan-tulisan yang jauh lebih anthropologis dari tangan orang – orang dengan latar belakang pendidikan non anthropologi.

Dengan sifatnya yang personalism demikian, pelaku anthropologi di tuntut mengambil kerja ataupun peran-peran strategis untuk ilmu itu sendiri maupun subjeknya. Tilikan sisi strategis inipun sebenarnya bukan merupakan suatu kebaruan dalam perkembangan anthropologi.

Sejarah keilmuannya telah menempatkan sisi strategis merupakan bagian penting dari sejarah dan peran anthropologi. Dimulai dari kepentingan misionaris, menemukan daerah koloni sampai untuk kepentingan pembangunan daerah koloni. Selain itu dengan sejarah keilmuan yang panjang dan adaptif terhadap konsep disiplin ilmu lain, anthropologi telah menunjukan eksistensinya sebagai sebuah disiplin humaniora atau ilmu sosial.

Dalam konteks kekinian anthropologi Indonesia tetap bisa lekat, mesra di dalam kajian yang diklaim sebagai wilayah tradisional anthropologi. Dalam ranah eksotisme masyarakat sederhana atau suku bangsa yang terlanjur dikonstruksi sebagai masyarakat adat, peladang berpindah, suku terasing/terpencil ataupun sebutan kategori sosial lainnya.

Anthropologi bisa berada ditengah–tengah pusaran pergulatan antara arus bawah dengan kaum pemilik modal dan atau dominasi pengetahuan kaum terdidik/penguasa. Tidak lagi sekedar seorang kerani/pencatat tapi sebagai arsitek rekayasa social yang bermain dilevel structural/kebijakan.

Untuk kebutuhan seperti ini ada beberapa tantangan yang dihadapi pelaku anthropologi. Pertama ; anthropologi sebagai sebuah pisau bedah memahami , menganalisis juga menerjemahkan pengetahuan budaya, tingkah laku budaya dan budaya materi masyarakat manusia, untuk keperluan praktis secara metodelogis, para pelakunya harus mulai mempertimbangkan untuk keluar dari kekhusukan terhadap suasana setempat, berlama – lama, deskriptif tebal. Dan mulai mengakomadasi pendekatan juga metodelogi yang lebih cepat untuk itu.

Kedua:publikasi, membahasakan kajian dan publikasi anthropologi dalam bahasa popular. Terkait hal ini, berdasarkan penelitian Dikti tidak banyak peneliti Indonesia, terutama ilmu sosial yang masuk kategori peneliti international.

Ketiga :pengetahuan menjadi sangat penting. Karena pengetahuan berdimensi dominasi dan kekuasaan,sebagai alat/wahana transformasi budaya masyarakat. Anthropologi mengamanatkan sebentuk pengetahuan holistic. Tapi apakah untuk ini anthropologi harus tetap bertahan dalam kubu obyektifitas atau justru mengakomadasi subjektifitas sebagai bagian dari dirinya.

Keempat : dan yang lebih utama, para pelakunya dituntut untuk dapat mengembalikan anthropologi menjadi adaptif dengan kerja-kerja kolektif lintas disiplin ilmu serta isu – isu baru sesuai perkembangan dan kebutuhan masyarakatnya (kontektual).

Dengan posisi ini, secara keseluruhan anthropologi akan lebih terbantu. Kerja seperti ini sebenarnya bisa dilakukan secara individual maupun institusional. Dan lagi – lagi ini bukan merupakan suatu kebaruan untuk disampaikan dan dikerjakan. Malah ada yang berpendapat dalam sebuah mailist Antropologi adalah sebuah Agama.hebat juga ya.

Tidak ada komentar: