Pengantar
“Indak ado kusuik nan indak kasalasai
Basilang kayu didalam tungku mangko api ka hiduik”
(Pepatah Minangkabau untuk resolusi konflik)
Dalam defenisi yang lain diartikan sebagai kegiatan pengembangan masyarakat yang dilakukan secara sistematis, terencana diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat guna mencapai kondisi sosial, ekonomi dan kualitas kehidupan yang yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan pembangunan sebelumnya [2]
Secara lebih operasional World Bank menyebutkan program community development merupakan kegiatan terencana dan sistematis, bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal secara berkelanjutan, perlindungan terhadap lingkungan hidup, pendidikan, perbaikan keterampilan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat yang berada di wilayah perusahaan beroperasi.
Bagi perusahaan melakukan kegiatan Commmunity Development bukan saja untuk mendapatkan izin lokal, mengatur dan menciptakan strategi kedepan serta sebagai cara untuk memenuhi sasaran usaha (Good Corperate Governance)[3].
Tapi lebih dari itu ada penjelasan lain yang lebih mendasar, bahwa setiap perusahaan beroperasional dengan capitalnya ditengah lingkungan masyarakat sehingga tak dapat dihindari aktivitas perusahaan akan selalu berhubungan dengan dua poin utama yaitu pertama : masalah lingkungan hidup dan kedua sosial masyarakat. Dari sisi lingkungan hidup, tujuannya adalah pemenuhan terhadap tuntutan keadilan lingkungan sebagaimana amanat KTT Bumi Rio 1992, dimana dunia usaha komit terhadap isu pembangunan berkelanjutan. Sedangkan dari sisi sosial masyarakat, tujuannya adalah pemenuhan terhadap tuntutan terciptanya keadilan sosial ditengah masyarakat, dan itu menjadi tanggung jawab sosial dunia usaha (Corporate Sosial Responsibility)
Dengan demikian hakikatnya community development lebih ditujukan membuka akses dan pemberdayaan masyarakat (empowerment) sebagai sebuah proses adaptasi sosial budaya yang dilakukan oleh insdustri, pemerintah pusat dan daerah terhadap kehidupan masyarakat setempat [4].
Sebagai bagian besar dari Corporate Sosial Responsibility[5] konsep commmunity development, di adopsi, dikembangkan dan didesain secara berbeda oleh perusahaan untuk masyarakat setempat yang ditetapkan kedalam skala prioritas penanganan. Disini pemahaman tipologi dan pemetaan sosial masyarakat sekitar daerah operasional perusahaan menjadi penting untuk dilakukan.
Community Development Corporate
(Kasus Gembira Selalu. Tbk[6])
Gembira Selalu.Tbk adalah sebuah perusahaan yang bergerak dibidang Perkebunan Kelapa Sawit Kemitraan[7], mengembangkan kegiatan community development selain dalam bentuk charity, juga di terapkan dalam tiga bentuk kegiatan utama ; Pertama program kemitraan sesuai ketentuan pemerintah; berupa kerjasama pembangunan dan pengelolaan kebun kelapa sawit antara perusahaan dan Koperasi, dalam model pengelolaan satu atap [8]. Dan sebelumnya terdapat upaya provisi kemitraan. Sebuah kegiatan non teknis kemitraan berupa pemenuhan syarat –syarat sosial budaya dan administrasi legal sehingga kerjasama kemitraan bisnis antara perusahaan dan masyarakat dapat terwujud.
Disini sangat jelas bahwa subjek kegiatan community development Gembira Selalu Tbk adalah penguatan kelembagaan koperasi mitra. Dengan demikian kelembagaan koperasi mitra mempunyai peran dan posisi strategis bagi keberlangsungan sekaligus keberlanjutan pembangunan perkebunan kelapa sawit yang dibangun dan dikelola oleh perusahaan[9].
Kedua, yang tak kalah penting adalah hubungan dan jejaring komunitas dan pemerintah. Hal ini mencakup kegiatan perintisan, pembentukan dan perawatan hubungan sosial masyarakat dan pemerintah, sehingga posisi sosial perusahaan diwilayah operasional dapat kokoh dan diterima keberadaannya secara terbuka. Langkah ini diambil sebagai antisipasi resiko – resiko sosial sebagai akibat dari kemungkinan adanya ketidakharmonisan hubungan antara perusahaan dengan masyarakat/pemerintah setempat.
Community Development dituntut untuk mengembangankan system peringatan dini, kepada perusahaan mengenai adanya resiko tersebut, sehingga dapat ditanggapi secara cepat dan tepat sebelum terjadi ledakan konflik. Dan ini tentunya akan menganggu pencitraan perusahaan dimata stakeholders lainnya. Didalamnya juga termasuk pengembangan pendekatan penyelesaian konflik diluar pengadilan.
Ketiga : pemberdayaan masyarakat yang berorientasi terhadap penguatan kemandirian serta kesejahteraan masyarakat disekitar wilayah operasional kebun dan terhindar dari dampak lingkungan serta sosial. Hal ini bertujuan agar masyarakat setempat dapat memanfaatkan dan terlibat langsung dalam peluang ekonomi yang terbuka secara berkelanjutan .Dengan demikian tidak terdapat kesenjangan yang mencolok antara perusahaan dan masyarakat. Kegiatannya dapat berupa pelatihan keterampilan kerja bagi tenaga kerja lokal, pelatihan management bagi pengurus koperasi, lembaga – lembaga desa dan kelompok usaha lainnya.
Kecenderungan dilapangan menunjukan, kegiatan community development di tingkat operasional/masyarakat yang difasilitasi oleh CD officer/assistant, belum dapat dilaksanakan secara maksimal, terutama poin ketiga. Hal ini dikarenakan sampai sejauh ini, yang muncul kepermukaan adalah bentuk-bentuk kegiatan yang termasuk kedalam Community Service dan Community Relation. Sampai sejauh ini dalam tahapan pembangunan kebun yang memasuki rata-rata usia tanam 4 tahun kedalam kategori tanaman menghasilkan (TM) kegiatan community empowering [10] belum dilaksanakan. Bahkan salah seorang tokoh Koperasi Mitra sempat menanyakan keberadaan Divisi Community Development ditingkat operasional kebun. Dalam penilaiannya keberadaan community development yang dilaksanakan perusahaan tidak dirasakan masyarakat. Dari pandangan ini terlihat bahwa kegiatan Community Development lebih dilihat dalam bentuk empowering ataupun corporate giving [11].
Walaupun perspektif community development bukan melulu persoalan tinggal di desa, tapi hal ini tetap menjadi penting untuk tetap dilakukan secara reguler. Tempat tinggal praktisi community development yang menetap didalam kebun telah menyebabkan jarak dengan masyarakat semakin tampak, silaturahmi cenderung mekanik berdasarkan kebutuhan – kebutuhan perkegiatan dan cenderung hanya menyentuh tokoh – tokoh elit desa. Sehingga informasi kemitraan ataupun lainnya yang berhubungan dengan pembangunan kebun menjadi tidak maksimal terserap oleh kedua belah pihak. Structure yang berpusat pada basecamp kebun – yang terpisah dengan masyarakat sekitarnya ini dan juga senjang secara sosial budaya harus segera dicairkan. Silaturahmi harus terus dibangun dengan masyarakat sekitar kebun/mitra perusahaan. Hal ini bukan hanya menjadi tanggung jawab praktisi community development di tingkat operasional kebun, tetapi juga harus dilakukan oleh top management kebun, karena pada dasarnya masyarakat melihat silaturahmi sebagai wujud penghargaan terhadap keberadaannya.
Jika di tilik lebih jauh, dengan mengunakan analisis stakeholders, dari kerangka segi tiga emas community development yakni ; Perusahaan/swasta, masyarakat dan pemerintah, kondisi sosial dan politik yang ada dapat dijelaskan sebagaimana berikut :
1). Bagi pihak perusahaan, pemerintah setempat secara politis adalah raja yang harus ditaati, the law, yang telah mengundang dan membuat perusahaan berhasil beroperasional di daerah tersebut. Perusahaan dalam setiap tahapan awal pembangunan kebun selalu berusaha melibatkan pemerintah setempat, terutama di level operasional kebun setingkat kecamatan dan desa[12]. Dengan dasar ini sebenarnya pemerintah setempat perlu melindungi aset dan memberikan pelayanaan yang baik bagi perusahaan serta menjamin hak - hak masyarakat desa terlaksana/diberikan perusahaan sebagaimana diatur dalam kesepakatan yang ada diantara kedua pihak.
Tapi dari beberapa pengalaman yang ada, bagi pihak perusahaan, justru pelibatan pemerintah setempat setingkat desa dan kecamatan, malah justru menjadikan proses penyelesaian konflik cenderung menjadi berbelit , rumit dan membutuhkan budget / amplop yang besar untuk setiap pelibatan pemerintah[13]. Sementara mau tak mau perusahaan harus melibatkan peran pemerintah setempat. Perusahaan membutuhkan ini bukan saja untuk legalitas administrasif tapi terlebih secara politis.
Sebaliknya bagi pihak pemerintah setempat, terkadang perusahaan dilihat lambat dalam proses pembangunan kebun, menelantarkan lahan dan menunda proses yang telah ada dalam kesepakatan. Tanpa melihat kedalam, bahwa di perusahaan pun sebenarnya mempunyai masalah internal, dalam bentuk struktur organisasi, politik kebun (pergantian top management dan proses ikutannya)[14], penganggaran guna keberlanjutan pembangunan kebun, pelaksanaan komitment dll. Dan harus diakui bahwa penundaan penanaman pokok sawit berarti nilai investasi/nilai uang saat investasi akan tinggi dan masyarakat akan semakin lama menunggu untuk menikmati tanaman menghasilkan (TM)[15].
Dan yang tak kalah penting adalah apa yang menjadi tujuan perusahaan untuk membangun kebun dan maju sejahtera bersama masyarakat desa, sepertinya jauh dari kenyataan. Semua tinggal harapan saja. Karena hampir lebih dari 50 % lahan yang sudah ataupun belum ditetapkan sebagai HGU Koperasi mitra , dan menjadi hak anggotanya telah diperjual belikan pada pihak kedua yang berasal dari luar desa/kota/propinsi. Sindikasi penjualannya melibatkan aparat pemerintah desa, kecamatan, koperasi dan karyawan perusahaan. Masyarakat desa pada akhirnya tetap akan menjadi penonton, dan secara sosial nantinya akan berdampak pada keberlanjutan operasional perusahaan.
Secara umum desa – desa mitra perusahaan tidak mengatur dan menetapkan menegement penggelolaan sumber daya (kebun koperasi) dalam bentuk peraturan desa. Terutama yang berkaitan dengan dengan pengaturan bahwa lahan tersebut tidak bleh dipindah tangankan ataupun diperjual belikan kepada pihak kedua. Dari 11 desa mitra perusahaan, hanya terdapat satu desa yang melakukan pengaturan management penggelolaan dan pemanfaatan sumber daya (kebun koperasi), dimana penduduk dalam kategori pendatang yang mendapatkan hak dalam Kebun Koperasi tidak diperbolehkan untuk memindah tangankan haknya kepada pihak kedua. Tapi akhirnya ketentuan yang dibuat dalam sebuah berita acara rapat desa inipun dirubah. Dengan ketentuan 50 % dari total perolehan (hak) diserahkan kembali dan menjadi asset desa.
2). Dari sisi masyarakat secara internal ada soal dalam kelembagaan lokal, demokrasitisasi desa. Konflik internal desa/tokoh-tokoh desa, silang sengkarut ini membentuk wacana tersendiri ditengah masyarakat , dan mempengaruhi pandangan masyarakat (pro dan kontra) terhadap perusahaan[16]. Secara kongrit keterkaitan diantara dua komponen masyarakat/koperasi dan perusahaan berujung pada belum disepakatinya model dan mekanisme distribusi informasi progress kemitraan yang transparans dan akuntabel.
Kondisi yang ada disana sini menyebabkan tersumbatnya informasi yang dibutuhkan oleh pengurus koperasi sebagai wujud pelaporan dan pertanggung jawaban kepada anggota koperasi. Hal ini meliputi ; 1). Progress kegiatan penanaman diareal kebun koperasi, 2). Penetapan tahun tanam masing-masing blok dan masa jatuh tempo blok dalam areal kebun koperasi, 3). Laporan penerimaan tanaman yang sudah tertanam, 4). Laporan produksi tandan buah sawit dalam areal kebun koperasi, 5). Perhitungan nilai investasi per hektar sesuai ketentuan pihak Bank yang akan menjadi beban hutang koperasi (cicilan ke Bank dan pendapatan bersih). Untuk kebutuhan ini pihak koperasi menginginkan dilakukannya suatu kegiatan pertemuan rutin tiap bulan yang khusus membahas masalah kemitraan antara perusahaan dan koperasi, meliputi progres, kendala dan tindak lanjut.
Kondisi ini berpengaruh pada upaya merajut kerukunan ataupun pengakuan sosial dari masyarakat setempat guna mendukung keberlanjutan kebun. Dimana kelompok masyarakat tertentu memanfaatkan situasi ini demi kepentingan mendeskriditkan, mengantikan pengurus koperasi, kepala desa ataupun top management kebun[17].
3). Kemampuan pemerintah setempat memfasilitasi, mediasi maupun resolusi konflik[18] terhadap hal – hal yang berkaitan dengan investasi dan tahapan pembangunan kebun yang dilakukan pihak perusahaan diatas izin lokasi yang berada dalam wilayah desa - desa, areal peruntukan lain, ataupun persil individu.
Kedepan sudah saatnya community development corporate, menginisiasi kegiatan yang fokus kepada sisi pemberdayaan/pembaruan tata pemerintahan - nya sebagai sumber kekuasaan politik, pembuat peraturan, pengambil keputusan terkait investasi perkebunan swasta diwilayah operasional bisnis [19]. Disisi lain sebagai bagian dari upaya mendorong peran dan fungsi pemerintah dalam proses resolusi konflik, terutama penyelesaian konflik penggelolaan sumber daya (tanah/proverty ;Beckman) [20] antara perusahaan dengan penduduk desa, persoalan penerbitan izin lokasi yang terkadang tumpang tindih peruntukan lahan dalam ketentuan tata ruang yang ada.
Selanjutnya, memastikan netralitas pemerintah setempat, memfasilitasi maupun mediasi dan resolusi konflik yang mengakomadasi kepentingan penduduk /komunitas setempat dan perusahaan. Kondisi yang ada dilapangan sejauh ini, memperlihatkan bagaimana posisi pemerintah seakan-akan terombang ambing kedalam kedua kepentingan ini.
Hal ini strategis dilakukan, karena perusahaan mempunyai tanggung jawab hukum/obey the law. Tapi peraturan/hukum seperti apa? tentunya peraturan yang sehat bagi iklim dan dunia usaha. Dan secara nyata, operasional kegiatan community development di tingkat operasional bisnis/masyarakat, mau tidak mau harus melibatkan peran dan mengakomodasi kepentingan pemerintah desa, maupun kecamatan, karena lembaga inilah yang bertanggung jawab dan mempunyai kekuasaan politik terhadap wilayah serta masyarakat di tingkat operasional bisnis.
Selanjutnya Dinas Koperasi dan Perdagangan sebagai instansi pemerintah yang membidangi pembinaan dan penguatan kelembagaan koperasi warga. Kurang maksimalnya fasilitasi dan dampingan dinas Koperindag terhadap koperasi-koperasi, dapat dilihat sebagai ketiadaan sinergi dan integratifnya program pemerintah setempat dengan target –target program yang telah ditetapkan terutama dalam bidang investasi perkebunan skala besar yang berdampak langsung secara ekonomi, sosial dan lingkungan pada masyarakat setempat.
Dan yang tak kalah penting, keterkaitan masalah sosial perkebunan dengan masalah fundamental berdimensi agraria/pertanahan; klaim lahan, batas desa dll, yang mau tidak mau juga melibatkan peran Pemerintah Desa, Kecamatan, Badan Pertanahan Nasional, juga pihak aparat kepolisian.
Dalam pandangan seorang aparat kepolisian, penyetopan kegiatan illegal logging yang dilakukan penduduk oleh pemerintah, secara tidak langsung dan langsung berdampak secara ekonomi dan sosial pada komunitas dan lingkungan sekitar, terutama komunitas bisnis/perkebunan, dan ini perlu menjadi fokus pihak-pihak terkait. Dalam pandangannya hal ini salah satu bentuknya muncul dengan adanya klaim lahan sepihak yang dilakukan masyarakat pada lahan yang telah ditanami oleh pihak perusahaan. Dan kemudian dalam masa rentang waktu yang lama setelah operasional kebun dimulai, barulah penduduk desa bersikeras untuk dapat diterima bekerja diareal perkebunan.
Konflik yang cukup mengkhawatirkan dan bisa menjadi bom waktu secara sosial dan ekonomi adalah 1). Belum adanya pembagian letak dan luasan kebun defentif di areal pengembangan yang terdiri dari 5 Desa. 2). Penentuan batas desa yang sangat berkaitan dengan penentuan letak dan luasan kebun kemitraan, 3). Dalam pandangan pemerintah desa sebagian areal desa dalam areal pengembangan masuk (tercaplok) kedalam lokasi izin take over yang dijadikan sebagai HGU perusahaan. 4). Sebagian areal pengembangan merupakan daerah banjir permanent yang secara teknis kebun sebenarnya dapat dilakukan penanaman dengan syarat adanya kelengkapan teknis pengairan dan persetujuan dari koperasi mengenai beban biaya yang dikeluarkan dari pembangunan sarana teknis pendukung tersebut. 5). Telah terjadi penjualan dibawah tangan terhadap lahan yang belum memiliki ketetapan luasan dan letak kebun (ketetapan antara perusahaan dan koperasi)dari penduduk desa/koperasi kepada pihak kedua yang berasal dari daerah luar dengan sindikasi aparat pemerintahan, Koperasi dan karyawan perusahaan. 6). Kedepan cakupan konflik meluas, karena pembeli berasal dari luar dengan struktur pengetahuan dan politik yang lebih luas (polisi, tentara, PNS, pengacara, masyarakat sipil dan kategori etnis tertentu), 7). Tuntutan kerugian sosial ekonomi akibat terlambatnya progress penanaman diareal tergenang yang sebelumnya merupakan tempat masyarakat mencari nafkah (ikan). 8). Disisi lain jika lahan areal tergenang tidak ditanam, hal ini juga berpotensi konflik, dimana masyarakat sangat berkemungkinan melakukan tindakan untuk memenuhi target perolehan luasan lahan untuk desa/koperasi.
Hal ini karena mereka telah terlanjur melakukan penjualan dibawah tangan terhadap hak-hak anggota koperasi dengan menyebutkan jumlah luasan per individu anggota koperasi. Sementara ketentuan tersebut belum ada antara pihak perusahaan dan Desa/koperasi. 9). Kejelasan terhadap legalitas kepemilikan lahan persil individu sebelum dan setelah proses kemitraan.
Pada saat awal persil individu yang dimitrakan, kepemilikan lahan atas nama A, setelah kebun terbangun muncul penggakuan baru dengan dokumen persil individu baru (B) dan
Sejauh ini terlihat, upaya mendorong peningkatan peran pemerintah kurang maksimal dilakukan, baik yang di dorong oleh perusahaan, maupun pemerintah sebagai wujud kesadaran public services. Kalau pun itu dilakukan, nuansanya dari sisi perusahaan lebih sebagai upaya pengakuan legalitas kegiatan secara administratif dan politis, sedang bagi pemerintah (oknum pemerintah?) terdistorsi kearah pendulum yang berbeda “masyarakat / perusahaan diposisikan menjadi pelayan pemerintah (oknum pemerintah?) “. Keberadaan perusahaan dipandang sebagai sebuah ” lokaan” yang dalam bahasa Jambi berarti kerjaan/uang.
Dengan demikian kegiatan community development corporate sangat bergantung dan ditentukan bukan saja oleh komitment terhadap keberlanjutan sosial, ekonomi dan lingkungan serta sinergisnya segita emas masyarakat, perusahaan dan pemerintah. Melainkan juga oleh ketersediaan biaya shampoo ataupun biaya intertaiment . Dan ini akan berarti pembengkakan biaya sosial kemitraan, yang secara langsung sangat merugikan perusahaan, juga masyarakat mitra/koperasi.
Pada kondisi seperti ini, anggota koperasi mitra, dapat dilihat sebagai “the last victim” dengan posisi tawar dan akses yang lemah terhadap sumber daya desa, proses pengambilan ditingkat desa, operasional dan penggelolaan kebun sawit kemitraan serta peraturan terkait lainnya. Kondisi ini sebenarnya merupakan efek ikutan dari belum terorganisirnya resources kelembagaan koperasi secara maksimal dan ketidakadaan demokratisasi desa.
Penutup
Dengan demikian harus ada upaya terstruktur untuk mendorong adanya pembaruan tata kelola pemerintahan setempat (Good Local Governance) terkait dengan pelayanan perijinan dan pelayanan public yang diselenggarakan oleh pemerintah di tingkat operasional bisnis. Dalam hal ini pemerintah setempat mempunyai kepentingan besar dalam menjamin terciptanya iklim investasi didaerahnya. Pemerintah setempat dalam hal ini telah mengundang baik secara langsung maupun tidak para investor. Dan dengan tegas pula pemerintah setempat dapat melakukan black list terhadap perusahaan yang nakal.
Peningkatan kapasitas pemerintah setempat dalam pelayanan public dengan sendirinya merupakan upaya meningkatkan kualitas demokrasi – ukuran yang dikembangkan akan sangat jelas, yakni sejauh mana masyarakat merasakan demokrasi dijalankan dan sejauhmana pengaruhnya terhadap peningkatkan kualitas hidup [21]. Upaya ini harus juga sejalan dengan maksimasi peran resolusi konflik yang dimiliki pemerintah, karena konflik pada dasarnya merupakan proses mencapai keseimbangan baru dalam masyarakat serta sumber transformasi masyarakat [22].
Walaupun telah banyak pemerintahan setempat melakukan inisiatif pembaruan tata kelola pemerintahan seperti one stop service, tentunya sangat lamban jika mengharapkan inisiatif ini tumbuh dengan sendirinya. Dibutuhkan kekuatan dari luar untuk mendorong upaya percepatan pembaruan tata kelola pemerintahan terkait perbaikan iklim investasi daerah. Dan isu kepemimpinan setempat yang bersih tetap menjadi bagian yang penting dalam proses transformasi ini.
Peran ini dapat diambil alih langsung oleh perusahaan. Model pengorganisasian/penggelolaannya dapat diatur sedemikian rupa berdasar kondisi real daerah operasional masing-masing. .Pertama: perusahaan mendirikan yayasan/organisasi sosial yang berada dibawah naungan perusahaan/group, kedua ; berpatner atau bermitra dengan pihak/lembaga lain, Ketiga ; membentuk dan bergabung kedalam sebuah konsorsium[23]. Model pengorganisasian kegiatan pemberdayaan seperti ini telah banyak dilakukan oleh perusahaan lain. Upaya ini tetap harus seiring dengan gerak “ Be A Good Corporate Governance ” yang salah satunya, dilakukan oleh pihak perusahaan dengan program community development secara terencana, aplikatif dan berkelanjutan.(
Bahan Training Community Development Gembira Selalu.Tbk 2004
Beckmann, Franz Von Benda
2000, “ Properti dan Kesinambungan Sosial “ Grasindo ;
Effendi, Nursyirwan
2007, “ Fenomena On –The Ground Development “ dalam Antropologi dan Pembangunan di Masyarakat Lokal, Lab. Antropologi Universitas Andalas ;
Fisher, Simon. Ludin, Jawed
2000, “ Menggelola Konflik, Keterampilan dan Strategi Bertindak”
Harsono, Budi
1994, “ Hukum Agraria di Indonesia Himpunan Peraturan – Peraturan Hukum Tanah “ Jembatan:
Juliantara, Dadang.
2005 “Peningkatan Kapasitas Pemerintah dalam Pelayanan Publik “
ICSD
2004 “Pedoman Pengembangan Masyarakat Disektor Energi dan Sumber Daya Mineral”
Rudito, Bambang
2003 “Akses Peran Serta Masyarakat” dalam Akses Peran Serta Masyarakat,
Soekanto, Soejono. Lestari, Ratih.
1988 “ Fungsionalisme dan Teori Konflik”
Dokumen
2006 “
Semangat “
Ponedy, Dedy
2000 “ Analisis dan Resolusi Konflik Antara Masyarakat Tiku V Jorong dengan PT. Mutiara Agam di Kabupaten Agam “ Disertasi S2 Pembangunan Wilayah Pedesaan - Universitas Andalas Padang
………….? (nama penulis tidak tertera)
Tahun (Tidak tertera) “ Paradigma Baru Community Development Bagi Perusahaan”
[1] Bahan Training CD Gembira Selalu . Tbk
[2] Budimanta dalam Pedoman Pengembangan Masyarakat Disektor Energi dan Sumber Daya Mineral – ICSD 2004.
[3] Lihat Indonesia Center for Sustainable Development, “Pedoman Pengembangan Masyarakat Disektor Energi dan Sumber Daya Mineral” ICSD 2004.
[4] Lihat Rudito 2003 “ Akses Peran Serta Masyarakat” dalam Akses Peran Serta Masyarakat,
[5] CSR diartikan sebagai komitmen bisnis untuk berkonstruksi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan karyawan perusahaan, keluarga/kerabat karyawan, komuniti setempat, pendatang dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan.(ICSD 2004 :6)
[6] Gembira Selalu.Tbk adalah nama samaran untuk sebuah group bisnis kelapa sawit yang beroperasional disalah satu kabupaten di propinsi Jambi yang berpusat di
[7] Kemitraan adalah kerjasama pembangunan & pengelolaan kebun kelapa sawit antara perusahaan dan koperasi dengan Pembiayaan Kredit Komersial dari Bank yang diupayakan oleh perusahaan. Dengan mekanisme penggelolaan Kebun Kelapa Sawit Kemitraan dilakukan oleh Perusahaan agar tercapai standar operasi yang optimal. Jangka waktu kerjasama diusahakan minimal selama 30 s/d 60 Tahun (2 Daur), Sertifikat HGU Kebun Koperasi berlaku sebagai agunan bagi Bank pemberi kredit.
[8] Tahapan awal pembangunan kebun, lahan yang di mitrakan oleh koperasi ke perusahaan harus berada dalam
kondisi clear and clear, artinya lahan tidak bermasalah secara teknis maupun sosial/hukum.
[9] Penduduk desa tidak perlu mengeluarkan biaya sedikitpun dari saku pribadi (kalaupun ada hanya dalam bentuk memitrakan lahan desa/ulayat ataupun individu dengan pola 50% : 50 %). Mulai dari pembukaan kebun sampai pembayaran cicilan kredit ke Bank semuanya difasilitasi oleh Pihak Perusahaan dari hasil kebun kemitraan. Kebun kelapa sawit dibangun, dirawat, dipanenkan oleh perusahaan, persyaratan administrasi ke Bank melalui Koperasi, mulai dari photo, KTP, Kartu Anggota Koperasi di uruskan Perusahaan, potongan/cicilan ke Bank didapat dari hasil TBS dikebun HGU Koperasi. Kepala Keluarga (KK) Desa tidak mengeluarkan uang dan tenaga sedikitpun. KK desa masih bisa mengerjakan perkerjaan harian mereka, sebagaimana biasanya. Kondisi dan model seperti ini menyebabkan masyarakat kurang punya “ rasa” memiliki terhadap kebun dan masyarakat petani secara umum membutuhkan bukti langsung bahwa perkebunan sawit dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.Efecnya anggota koperasi secara perlahan menjual/memindahkan tangankan hak atas pembagian luasan/kaplingan dalam HGU kebun Koperasi kepada pihak kedua.
[10] Budimanta membagi ruang lingkup community development berdasarkan kategori ; community services, community empowering dan community relation. ( Budimanta : 2003 ;24 dalam buku Pedoman Pengembangan Masyarakat Disektor Energi dan Sumber Daya Mineral.- 2004 ICSD)
[11] Pemberian dari perusahaan/corperate giving cenderung merusak kemandirian masyarakat karena menciptakan ketergantungan terhadap perusahaan.Terutama jika kegiatan Community Development perusahaan hanya diartikan sebagai charity terhadap kegiatan-kegiatan yang di organisir organisasi desa. Dan yang lebih mengkwatirkan, bantuan seperti ini menumpulkan kesetiakawan sosial dan gotong royong yang sebenarnya dimiliki masyarakat. Ini tampak jelas dengan begitu tergantungnya masyarakat terhadap perusahaan untuk pemeliharaan badan jalan, mencuci parit – parit ditepi jalan desa yang mengairi lahan pertanian, padahal kegiatan ini dapat dilakukan secara mandiri. Tidak menyerahkan sepenuhnya kepada inisiatif perusahaan. Dan terkadang untuk ini pihak masyarakat desa, melakukannya dengan cara demontrasi & menutup jalan desa yang dilalui perusahaan. Walaupun tidak sepenuhnya benar, perusahaan memang sudah sepatutnya merawat jalan desa yang dilaluinya seperti jalan miliknya sendiri, tetapi bukan berarti itu harus menumpulkan modal sosial/kegotong royongan yang dimiliki warga desa. Dengan pengertian lain, kemajuan dapat dicapai tidak mengorbankan modal sosial dan secara cultural tidak tercerabut dari akar budayanya.
[12] Mendorong dan merawat partisipasi merupakan salah satu prinsip dasar dari Community Development juga Good Governance .Bahkan dalam pandangan Cleaver 1999 dalam tulisan effendi 2007 disebutkan pendekatan partisipatif dapat memberikan jaminan efesiensi dan efektifitas proses demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan. Walaupun tidak sepenuhnya benar, di lapangan sejauh yang dapat saya pahami partisipasi publik dalam pembangunan kebun cenderung bersifat elitis/kelembagaan desa. Terjebak kedalam mitos kelembagaan desa sebagai refresentasi masyarakat desa sebagaimana dilukiskan suara pemimpin adalah suara rakyat. Pendekatan partisipasi elitis ini selain menyebabkan biaya mobilisasi yang besar dari segi perusahaan. Perusahaan tidak mau bermain dan masuk terlalu jauh dalam arena politik desa. Demokratisasi desa seolah – olah hanya menjadi urusan internal masyarakat desa. Padahal penting untuk mengedepankan dimensi manusia, institusi sosial/pranata sosial dalam konteks community development. Dari sisi masyarakat desa karena lemahnya akses penduduk terhadap sumber daya dan pengambilan keputusan ditingkat desa menyebabkan informasi kemitraan yang seharusnya menjadi milik semua anggota koperasi hanya berada dalam gengaman elit-elit desa, koperasi atau kelembagaan desa lainnya. Pendekatan elitis inipun pada sisi lain, justru menjadi sumber konflik ditengah masyarakat desa dalam hubungannya dengan perusahaan, karena adanya kelompok lain yang merasa kepentingannya tidak terwakili, yang berujung pada hilangnya trust terhadap kepemimpinan lokal dan institusi sosial/lembaga yang ada.
[13] Dalam hal ini dapat dicontohkan pada saat penentuan tapal batas desa dan areal yang masuk kedalam kategori banjir dalam areal izin lokasi perusahaan. Bagi perusahaan data dan kesepakatan yang didapat dari kegiatan ini akan dipergunakan sebagai dasar peruntukan dan pembagian luasan kebun untuk masing-masing desa. Perusahaan mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk pengecekan lapangan dengan pelibatan secara penuh pihak pemerintah desa, kecamatan dan lembaga koperasi mitra. Namun sayangnya pada saat perusahaan membutuhkan berita acara pelaksanaan kegiatan dengan poin –poin berita acara yang draftnya dibuat oleh perusahaan, pihak pemerintah kecamatan berdalih bahwa poin-poin dalam berita acara tersebut dari segi bahasa berat dan sulit dimengerti masyarakat. Sedangkan pihak perusahaan berpendapat bahwa poin-poin dalam berita acara tersebut sengaja dibuat rinci untuk menjamin agar kedepan tidak ada lagi masalah (tuntas). Tapi pihak kecamatan berpendapat berita acara tersebut tidak perlu dibuat detail. Hal ini disengaja dilakukan selain karena alasan bahasa yang sulit dimengerti masyarakat, juga terkait rencana proses penyelesaian konflik yang bertahap sebagaimana diinginkan pihak kecamatan. Sedangkan bagi perusahaan tahapan tersebut akan memakan anggaran kegiatan yang besar. Karena ketidaksepahaman proses ini, akhirnya pihak kecamatan mengambil inisiatif (entah karena kesal atau apa?) dengan menyampaikan sebuah kalimat “ sekarang kita hitungan bisnis saja, berapa pihak perusahaan sanggup bayar untuk menyelesaikan persoalan ini ? “. Proses ini akhirnya untuk sementara waktu terhenti, karena tidak ada kesepahaman dalam tahapan penyelesaian konflik maupun biaya yang diinginkan pihak kecamatan.
[14] Pergantian top management kebun/perusahaan, sejauh yang dapat saya pahami merupakan salah satu sumber terlambatnya proses penyelesaian konflik antara masyarakat dan perusahaan. Hal ini sangat disadari oleh tokoh-tokoh desa dan koperasi, dalam pandangan mereka “ yang baru nanti dapat saja berkilah itu terjadi bukan pada masa kepemimpinan saya, dan saya harus mempelajari ulang hal tersebut “. Dan secara internal dapat dilihat sebagai sumber konflik terhadap structure perusahaan, dalam derajat tertentu menimbulkan “keserahan suasana kerja” . Karena pergantian top management cenderung diikuti oleh keluar dan masuknya orang-orang (karyawan) dalam jejaring/klik disekitarnya (top management).
[15] Dalam
[16] Koperasi yang ada belum berjalan sebagaimana ketentuan yang ada, lebih tampak secara legalitas formal.Sedangkan demokratisasi desa muncul manakala penetapan kepala keluarga yang berhak mendapatkan bagian lahan dari kebun sawit kemitraan dan tergabung dalam lembaga koperasi, kreteria dan penetapan KK nya dilaksanakan dengan tidak transparans dan terkadang mau tak mau juga harus mengakomadasi kepentingan kategori sosial lain diluar desa seperti pejabat – pejabat institusi tertentu dalam lingkup yang lebih luas. Kondisi ini memperlihatkan lemahnya akses penduduk setempat pada sumber daya dan proses pengambilan keputusan ditingkat desa. Sedangkan konflik internal tokoh desa lebih tampak sebagai wujud dari persaingan politik dan ekonomi. Dari segi politik, muncul dalam bentuk mencari pengaruh untuk kepentingan pemilihan/ pencalonan posisi kepala desa (disebut datuk) maupun pasca pemilihan. Sedangkan secara ekonomi sebenarnya juga terhubung dengan penjelasan ekonomi, karena posisi Kepala Desa walaupun tidak memiliki gaji yang besar dari pemerintah. Tapi posisi ini dinilai cukup strategis terhadap peluang-peluang ekonomi dan informasi yang masuk ke desa. Terutama interaksi desa dengan perusahaan di sekitar desa. Hal ini diungkapkan oleh seorang mantan kepala desa dalam sebuah pembicaraan santai dikedainya.
[17]
[18] Fisher (2000 : 7) menyebutkan resolusi konflik sebagai usaha menanggani sebab –sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan bisa tahan lama diantara kelompok –kelompok yang bermusuhan.
[19] Tentang PP dan UU penggelolaan pertanahan /agraria lihat Dedy Ponedy 2000. Sedangkan peraturan perundangan mengenai perusahaan perkebunan lihat Boedi Harsono 1989.
[20] Pengaturan terhadap penggelolaan sumber daya (proverty) dalam bentuk peraturan desa menjadi penting untuk dilakukan pemerintah desa sebagai upaya pembaruan tata pemerintah lokal. Upaya ini terutama menyangkut persoalan-persoalan yang melingkupinya : 1). sebagai bagian dari wilayah tradisional / asal –usul, 2). sumber kesejahteraan/capital, 3). sumber kekuasaan, 4). sumber konflik laten dan manifest(nyata).
[21] Lihat Dadang Juliantara , Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah dalam Pelayanan Publik,
[22] Lihat Sukanto & Ratih, Fungsionalisme dan Teori Konflik,
[23] Lihat artikel Paradigma (Baru) Community Development Bagi Perusahaan, tidak terdapat keterangan penulis dan penerbit. Kegiatan yang akan dilakukan pengorganisirannya Sepintas lalu mirip seperti yang dilakukan oleh NGO Surf-Aid, yang focus terhadap isu kesehatan. Surf Aid di Kepulauan Mentawai focus terhadap Malaria dan Revitalisasi Pos Yandu, yang disuffort perusahaan clothing seperti Billabong, Ripcurl dll. Lokasi-lokasi dampingan Surf Aid, dipusatkan diwilayah/spot lokasi surfing. Khusus di Katiet –Sipora lokasi dampingan surf Aid berdiri sebuah kotage atas investasi asing. Dalam pelaksanaannya Surf –Aid juga bekerjasama dengan Dinas terkait, seperti Dinas Kesehatan dan Kader-kader kesehatan Desa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar