Teori Evolusi Darwin
Simon Wincherter dalam bukunya Krakatau ; Ketika Dunia Meledak , 27 Agustus 1883, menyebutkan sebenarnya Teori Evolusi Darwin dilahirkan dengan menunggangi hasil penelitian orang lain yang dilakukan di Indonesia. Sang peneliti dibiarkan tidak kebagian ketenaran dan kebesaran empu evolusionis.
Namun perdebatan terhadap teori Evolusi Darwin, tetap terus menjadi perdebatan dimana-mana terutama dari kalangan agamawan, ilmuwan ; Arkeolog / atau Paleo Anthropologi. Perdebatan ini muncul kembali, ketika Arkeolog Indonesia dan Australia menemukan kerangka manusia dan beberapa peralatan batu dan tulang belulang gajah kerdil, hewan-hewan pengerat sebesar anjing, kura-kura raksasa dan tulang Komodo di sebuah gua batu gamping yang disebut Liang Bua di Flores.
Tim evakuasi yang dipimpin Mike Morwood dan Peter Brown dari University of New England Australia dan Soejono dari Pusat Penelitian Purbakala Indonesia menyebut spesies itu sebagai ras khusus Homo Florensiensis. Manusia purba mini/Hobbit itu diperkirakan hidup sekitar 12.000 sampai dengan 18.000 tahun lalu.
Kerangka yang ditemukan diperkirakan seorang perempuan dewasa, dengan tinggi sekitar 1 meter, memiliki ukuran otak sebesar Simpanse. Umur 30 tahun dan meninggal dunia karena sebab-sebab alamiah.
Sanggahan terhadap penemuan fosil inipun disampaikan oleh ahli Paleo Anthropologi Indonesia. Prof T. Jakob. Jacob menegaskan, penamaan Homo Floresiensis yang ditemukan di Liang Bua sejak September 2003 bukanlah ras baru seperti yang disebutkan dua peneliti Australia. Fosil yang ditemukan di Flores itu termasuk homo sapiens yang hidup sekitar 1.300 hingga 1.800 tahun yang lalu.
Menurut Jakob, kekerdilan disebabkan oleh evolusi insiter, yang dipengaruhi lingkungan hidup yang mereka tempati di pulau-pulau kecil. Makhluk hidup yang tinggal di pulau-pulau kecil yang terpisah dengan pulau besar dalam jangka waktu lama akan menyesuaikan dengan kondisi lingkungannya.
Proses pengerdilan ini tidak hanya terjadi pada manusia, namun juga terjadi pada binatang 2.
Refleksi Kemanusian
Terlepas dari pro dan kontra terhadap teori evolusi Darwin serta penemuan fosil di Liang Bua Flores. Mencoba menghubungkan teori evolusi Darwin dengan peradaban dan kebudayaan yang dikembangkan manusia saat ini, sangat menarik untuk dilakukan. Dan mungkin saja, hal serupa ini, pernah juga dilakukan orang lain. Dari sini akan di dapat sebuah fenomena lama namun tetap autentik, yakni sebuah luka kemanusian3 dalam pengertian yang sedikit berbeda, dengan cara melakukan analisis terbalik atas teori evolusi Darwin.
Kenyataan menunjukan, bahwa manusia (baca kepemimpinan) secara berlahan-lahan, justru berevolusi kearah sifat-sifat seperti simpanse (kebinatangan), menyukai jalan kekerasan, anarkis ,Vandalisme, dan perang yang melibatkan isu agama, yang secara komedi dikupas dalam genre film ; Satire perang seperti Life is Beatiful (La Vita e Bella) dan The Tiger and The Snow (la Tigre e La Neve)4. Serta Inoncent Voice sebuah film dengan latar belakang perang saudara di Amerika Selatan yang memaksa anak-anak usia sekolah menjadi tentara yang dipersenjatai dan siap berperang, bahkan untuk membunuh teman bermain mereka sendiri.
Pada fase selanjutnya, manusia justru lebih terobsesi untuk menjadikan simpanse agar dapat hidup, layaknya kehidupan manusia. Film-film Hollywood banyak memotret fenomena seperti ini, beberapa diantaranya dalam Film Most Simpanse Extrem, menceritakan kehidupan seekor simpanse peliharaan pengemar ekstrem sport seperti Hoki Skating, Skate Board, dan Snow Board. Bahkan dalam film Futuristik berjudul Planet Apples diceritakan bagaimana keterkaitan sejarah antara umat manusia dengan simpanse. Atau Film klasik 1980-an BJ and Bear, lucunya disini simpanse justru dinamai beruang.
Sementara pada sisi yang lain, khususnya di hutan tropik Indonesia ; Borneo dan Sumatera, simpanse endemic , Orang Utan terancam habitat dan populasi nya. Difasilitasi oleh beberapa NGO lingkungan, saat ini terus diupayakan mengorang hutankan orang hutan kembali.
Pada kedua sisi ini, sangat jelas terlihat bagaimana manusia “ terobsesi “ pada simpanse. Lalu bagaimana dengan upaya memanusiakan manusia, sebagai kebutuhan prioritas pembangunan Indonesia. Adakah kisah, dan film khusus untuk topik ini, akankah dia menjadi sesuatu yang mempunyai nilai komersil atau hanya sebatas semangat indy, serta idealism ketika diproduksi.
1 Alumni Antropologi Universitas Andalas 1996 -2001
2 Topik Homo Floresiensis disarikan dari beberapa artikel di www.detik. com, www.julianfirdaus.or.id, dan www.flickr.com
3 Istilah Luka Kemanusian saya kembangkan dari tulisan Cecep Syamsul Hari.dengan judul Luka Kemanusian dan Pendudukan Jepang (Kompas , Minggu, 10 September 2006). Cecep memfokuskan tulisannya pada keterkaitan pendudukan Jepang di Asia dengan menganalisis karya sastra yang muncul pada masyarakat jajahan. Dengan asumsi bahwa karya sastra yang ditulis atau merujuk pada masa pendudukan Jepang, dipandang mampu menangkap perspektif masyarakat jajahan waktu itu. Seperti korban romusha di perkebunan dan pembangunan jalan kereta api yang tampak dalam Novel Kereta Api Maut karya A Samad Said. Belakangan saya sempat membaca Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan, sebuah Novel dengan pembahasan dan pembahasaan yang tajam tentang kisah hidup keluarga dan keturunan Indo Belanda pada jaman pendudukan Jepang di Pesisir Jawa.
4 Lihat Kompas , Minggu, 10 September 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar