Selasa, 05 Agustus 2008

Kampuang


Takana jo Kampuang, Induak, Ayah, Adik sadonyo….maimbau-imbau den pulang. Itulah penggalan lagu masa kanak-kanak yang masih teringat sampai saat ini. Kampuang seolah-olah memanggil untuk selalu pulang, menjadi cengeng dan melankolis. Sebagai pengantar percakapan, penggalan lagu Minangkabau tersebut, dapat mewakili apa yang menjadi risau hari ini dan mungkin juga seterusnya “Kampuang”.

Kampuang mengejawantah kepermukaan mana kala hari mendekati lebaran (Idul Fithry) , sanak saudara di rantau beramai-ramai “Pulang Basamo Ka Kampuang”, padahal jika ditilik lebih detail tujuan pulang, kampuang orang rantau berbeda-beda, tapi tetap dinamai “Pulang Basamo Ka Kampuang”. Lingkup penggunaan dan maknanya menjadi meluas, tidak lagi mempersoalkan domisili secara administratif pemerintahan, tetapi sudah menjadi satu ikatan cultural; kampuang besar Minangkabau. Apa yang hendak dikatakan dari iven budaya ini, bisa saja inilah MinangKabau.

Apresiasi orang kampuang sendiri, terhadap iven budaya seperti ini, kadang menjadi sinis, katanya kepulangan orang rantau merupakan wujud “kejumawaan” keberhasilan perjuangan ekonomi di rantau. Namun disisi lain, kampuang juga menggugah tanggung jawab ekonomi urang rantau -Philatropy- baik secara pribadi maupun terorganisir dalam 1 wilayah Nagari seperti Sulit Air Sepakat (SAS). Dan secara lebih luas termaktub dalam ranah nilai dan sikap

“ Urang Kampuang Dipatenggangkan Juo”

Dalam aktivitas sosial sehari-hari, Kampuang tidak pernah ditinggalkan dalam percakapan-percakapan sosial dikedai kopi, dipasar atau diarena sosial lainnya. Selalu saja muncul pertanyaan dima kampuang (dimana kampuang). Tapi apa sebenarnya ruang lingkup, makna dan bagaimana memaknai/memposisikan Kampuang hari ini dan seterusnya? apakah Kampuang tetap menjadi penting dalam dunia yang mulai tanpa batas, tanpa sekat yang jelas, seperti saat sekarang ini.

Sebenarnya percakapan kali ini, tergugah oleh sebuah peristiwa 7 tahun lalu, ketika berpapasan dengan Mak Etek tepat didepan rumah Amak. Sebagai wujud sopan santun dari yang muda terhadap yang tua, bergulirlah percakapan sambil lalu “ mau kemana Mak etek ? Jawaban beliau waktu itu ke kampuang. Aneh rasanya, padahal waktu itu sudah dikampuang, dalam wilayah administrative kelurahan yang sama, kalaupun di ukur jarak ke tempat tujuan Mak Etek itu, paling hanya berjarak 250 Meter s/d 300 Meter kearah atas rumah Amak.

Apakah arti / makna kampuang dalam kalimat Mak Etek tadi, berhubungan dengan tujuan beliau yakni tempat tinggal Amak, daerah asal ibu beliau. Jika demikian, asumsinya secara kosmologis(?) ruang lingkup kampuang, jadi mengecil lagi, kedalam areal tempat tinggal/asal Amak sebagaimana disebut anthropolog kedalam istilah Matrilokal.

Dengan demikian terlihat, masyarakat Nagari yang telah terpilah kedalam satuan Jorong, Korong, masih memiliki satuan entitas sosial budaya lain, tergabung kedalam kampuang. Kampuang Amak/Kampuang secara suku/kaum, seperti Kampaung Pisang, Kampuang Jambak, Kampuang Koto. Bahkan untuk Kampuang Koto pun secara topografi permukiman, seperti di Nagari Kurai Bukittinggi, Kampuang Koto terbagi lagi kedalam Koto Dalam, Koto Bawah, Koto Ateh.

Ini menandakan, Minangkabau selain terpilah kedalam Nagari-Nagari, Jorong dan Korong, baik sebagai satuan sosial budaya (adat) yang berbeda sebagai mana digambarkan “Adat Salingka Nagari dan satuan politik (system pemerintahan). Ternyata dia lebih rumit lagi, ada entitas lain yang harus juga diakui, kampuang, dimana tumbuh penghulu-penghulu suku dan tuo-tuo kampuang didalam struktur tersebut. Dan jika pemikiran ini pas, pantas saja, pemerintah Hindia Belanda, waktu itu, untuk menanamkan pengaruh dan kepentingan ke dalam struktur Nagari, mereka mengangkat dan menggaji seorang penghulu, dari penghulu-penghulu yang ada di Nagari.

Jelas sudah di rantau maupun di luhak asal (Luhak Nan Tigo), makna kampuang menjadi begitu penting, penanda social budaya, bagian dari sebuah identitas kesuku bangsaan. Di rantau pengunaan terminology kampuang, ruang lingkupnya menjadi meluas dan cair, sedangkan di luhak asal, ruang lingkupnya menjadi mengecil kedalam satuan-satuan Matri lokal suku/kaum.

Apakah kita akan tetap percaya, dan memaknai kampuang sebagai tempat pulang, sebagaimana penggalan lagu Minangkabau diatas, sebagaimana juga Amak selalu bertanya kepada anaknya “ Kapan Pulang Yuang?” bukankah seorang laki-laki Minangkabau tidak mempunyai ruang “tempat tinggal“ dirumah Amak nya, selain ruang tanggung jawab terhadap anak kemenakan yang semakin dekat dengan “ sakuAbak/Ayah nya.

Mungkin ada benarnya perkataan seorang teman; sebagai bagian dari sebuah ikatan komunal, kapan, dimana dan seperti apapun kondisinya, kampuang akan tetap menjadi tempat pulang, nyaman dan tidak nyaman. Tapi bagaimana dengan kampuang akhirat? Sayang, Buya Hamka telah tiada, mungkin Beliaupun akan berkata kepada kita “ jadikanlah kampuang sebagai ladang bagi kampuang yang lebih luas dan kekal : kampuang akhirat

Tidak ada komentar: