Selasa, 05 Agustus 2008

Masokut, Dusun Tertinggal di Kepulauan Mentawai (habis)

Selain akses pendidikan, Dusun Masokut juga sangat kekurangan sarana kesehatan setingkat POLIDES. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, biasanya sebulan sekali petugas kesehatan kecamatan berkunjung ke Dusun Masokut guna melakukan pelayanan kesehatan kepada warga dusun. Kesulitan melakukan pelayanan permanen/menetap di dusun selain disebabkan tidak adanya keberpihakan kebijakan dan pelaku, sangat mungkin disebabkan oleh keterbatasan sumber daya, dana dan tenaga kesehatan.

Sementara itu, Kepala Desa Bosua mengatakan, sebenarnya telah dilakukan upaya kerjasama antara Desa Beriulou dengan Desa Bosua. Yakni, mendirikan sekolah vilial (setingkat) SD di Dusun Masokut, untuk kelas 1 sampai kelas 3. Guna memenuhi kebutuhan tenaga pengajar vilial di Dusun Masokut, pihak SD Desa Bosua mengutus seorang tenaga pengajar, padahal Desa Bosua sendiri kekurangan tenaga pengajar (hanya 5 guru termasuk kepala sekolah). Serupa dengan permasalahan desa lainnya di Kepulauan Mentawai—kedisiplinan dan keterbatasan tenaga pengajar—akhirnya sekolah vilial tidak bertahan lama. Meski demikian, warga Dusun Masokut tetap mempunyai keinginan yang besar agar anak-anak mereka mengenyam pendidikan. Guna mengatasi keterbatasan akses menuju Desa Bosua, akhirnya warga Dusun Masokut berinisiatif membuka jalan tembus menuju Desa Bosua yang 70% pengerjaannya merupakan swadaya warga Masokut.

Rupanya isu keterpencilan yang dibalut oleh ketidakpuasaan atas kepemimpinan Kepala Desa Beriulou, muncul ke permukaan. Hal tersebut terungkap dalam sebuah percakapan di Tuapejat dengan seorang panei-nei gereja yang kecewa atas kepemimpinan kepala desa selama ini. Kekecewaan serupa pun disampaikan langsung oleh beberapa tokoh Masokut ke pihak kecamatan dan Bappeda Kabupaten Kepulauan Mentawai. Mereka mengeluhkan, Dusun Masokut seakan-akan dianak-tirikan terkait pembangunan desa. ”Tidak pernah ada kegiatan/program/bantuan pemerintah yang masuk ke Dusun Masokut. Kalaupun ada, pengerjaannya sebagian besar dikerjakan oleh warga dusun lain yang berasal dari pusat desa,” kata mereka.

Selain itu, warga menilai, ada kecenderungan dalam setiap program pemerintah yang masuk ke desa lebih dilihat sebagai sebuah proyek yang bertujuan membagi-bagi uang kepada warga. Dengan demikian, setiap warga merasa berhak mendapatkan jatah pembagian proyek secara merata tanpa mengindahkan siapa yang sebenarnya lebih prioritas mendapatkan bantuan. Bahkan, seorang warga mengatakan, setiap bantuan yang datang hendaknya dibagi rata agar tidak memicu kecemburuan warga lain. Ketika Desa Beriulou mendapatkan Program P2D, Dusun Masokut juga mendapatkan ”jatah” pembangunan yang dinantikan selama ini. Untuk pengerjaannya, warga dusun membentuk Organisasi Masyarakat Setempat (OMS). Namun sayang, ketika pelaksanaan pengerjaan badan jalan, justru 2/3 anggota OMS yang terlibat adalah masyarakat dari pusat desa. Hal ini menimbulkan kecemburuan, karena sangat terkait, bukan saja dengan pembangunan jalan secara fisik, melainkan juga uang/upah sebagai konsekuensi pengerjaan jalan. Secara bersamaan, partisipasi warga dalam bentuk OMS tidak begitu menunjukkan tanggung jawab sosial warga dalam proses pembangunan. Karena, pelaksanaannya sangat jauh dari bestek. Semisal, perbandingan adukan semen dengan pasir. Secara fisik ini dapat dilihat dengan umur/masa pakai jalan yang dibangun. Guna mengantisipasi gejolak yang lebih besar dari warga, akhirnya kepala desa menjanjikan warga Dusun Masokut, jika kelak ada kegiatan/program pemerintah yang masuk ke Desa Beriulou, maka kegiatannya diperuntukkan hanya bagi Dusun Masokut.

Terlihat konflik kepemimpinan yang terjadi antara Dusun Masokut dan Desa Beriulou bersumber dari ketidakmampuan menciptakan mekanisme distribusi sumber daya yang merata. Dalam hal ini kue pembangunan berupa proyek untuk desa. Meminjam istilah Turner (dalam Ratih dan Soekanto, 1988) kondisi ini membawa Dusun Masokut sebagai suatu kelompok warga yang berada pada posisi sub-ordinan dalam distribusi sumber daya yang jumlahnya terbatas. Maka dengan sendirinya terdapat dua kelompok atau lebih yang bertentangan dalam memperebutkan sumber daya, berupa program pembangunan untuk desa. Bagi warga Dusun Masokut, kalimat kepala desa tadi dijadikan sebagai pegangan/janji yang kelak harus dipenuhi. Lain halnya dengan pandangan warga empat dusun lainnya di pusat Desa Beriulou. Walau tidak sepenuhnya benar, warga melihat dan memandang, yang terjadi selama ini hanyalah kecemburuan yang tidak beralasan dari Dusun Masokut.

Seperti diungkapkan seorang warganya, ”Bagaimana mungkin pembangunan dipusatkan di Dusun Masokut, sedangkan pusat pemerintahan desa berada di empat dusun lainnya yang mengelompok, dan secara otomatis pembangunan harus dilaksanakan di pusat desa?” Bahkan, ada yang justru melihat persoalan sebenarnya terletak pada karakter warga Dusun Masokut yang mau menang sendiri dan keras kepala. Jika ini benar adanya bisa saja karakteristik penduduk seperti ini memberi sumbangan bagi kemacetan demokratisasi ditingkat komunitas/desa. Dalam pelaksanaan sosialisasi dan Rembug Kesiapan Masyarakat (RKM) P2KP, sepintas dapat diketahui karakteristik psikologis umum Dusun Masokut kurang lebih seperti digambarkan oleh para penduduk di atas. Warga cenderung menyampaikan pendapat dan diskusi dengan sedikit keras dan emosional. Namun, hal ini bisa saja bersumber dari pengalaman pahit atas kepemimpinan kepala desa. Memang, dalam pertemuan (RKM) tersebut ada 1 – 2 tokoh yang mempunyai pandangan jauh ke depan dan bijaksana.

Sementara, Kepala Desa Bosua melihat persoalannya bukan semata-mata terletak pada letak Dusun Masokut yang jauh dari pusat desa, melainkan lebih kepada ketidakadaan koordinasi dan komunikasi antara kepala dusun dan dengan kepala desa. Pada kesempatan tersebut, Kepala Desa Bosua juga berusaha membandingkan kondisi Desa Beriulou dengan Desa Bosua yang tidak jauh berbeda secara geografis. Dimana Desa Bosua, mempunyai dusun yang terpisahkan oleh bukit dan sebuah tanjung dengan ombak yang terkenal keganasannya. Tiga dusun berada di sebelah Timur (Sao, Katiet dan Mongan Bosua), sedangkan dua dusun lainnya berada di sebelah Barat, sekaligus merupakan pusat desa, yakni Gobik dan Bosua. Melewati perbukitan dari dusun paling Timur (Dusun Sao) ke pusat Desa Bosua dapat ditempuh dalam waktu 2,5 jam ”perjalanan orang Mentawai” atau 1 jam lewat laut dengan boat 40 PK.

Sebelum P2KP diluncurkan di tingkat kabupaten, masyarakat Dusun Masokut sudah mensiasati agar P2KP secara penuh dilaksanakan untuk Dusun Masokut, sebagaimana dijanjikan kepala desa. Dalam pelaksanaan program pemberdayaan di tengah masyarakat/komunitas, Tim Fasilitator P2KP sebagai agen pembangunan sekaligus agen proyek, tidak bisa menampik potensi konflik di desa dampingan, seperti yang terjadi di Desa Beriulou. Hal ini terkait erat dengan pandangan Chambers (1963: 67) bahwa pembangunan adalah upaya mengembangkan tatanan hidup yang lebih baik (komunitas, nasional, global) dimana di dalamnya terdapat upaya power sharing untuk mengembangkan keseimbangan. Dengan demikian, pemberdayaan di tingkat komunitas sangat memerlukan proses penyadaran kritis masyarakat tentang hak dan kewajibannya, serta tanggungjawab sosial. Selain itu juga perlu pengembangan kepemimpinan lokal yang egaliter dan berujung pada agenda demokratisasi komunitas.

Saat pelaksanaan sosialisasi dan RKM di tingkat dusun yang difasilitasi tim fasilitator P2KP, masyarakat Dusun Masokut mengungkapkan kondisi dusun sekaligus unek-unek atas kepemimpinan kepala desa, terutama terkait dengan pemerataan kesempatan membangun. Pada kesempatan itu juga warga menyampaikan janji yang telah disampaikan sebelumnya oleh kepala desa, yakni program yang baru—dalam hal ini P2KP—akan diperuntukkan bagi Dusun Masokut. Dengan sedikit nada mengancam warga juga menyampaikan apa yang menjadi jaminan tridaya P2KP (Ekonomi, Lingkungan dan Sosial) dapat dilaksanakan secara penuh di Dusun Masokut. Nada pesimis muncul akibat pengalaman pembangunan sebelumnya, diperkuat informasi yang diterima warga dusun bahwa Masokut hanya akan mendapatkan kegiatan dalam bidang lingkungan, sedangkan untuk ekonomi dan sosial dilaksanakan di empat dusun di pusat desa. Dengan pengetahuan yang terbatas tentang P2KP, warga dusun Masokut menyerap informasi ini sepenuhnya.

Pada tahap tersebut Tim Fasilitator belum mendampingi Dusun Masokut akibat kendala operator boat yang tidak berani memasuki muara dusun dengan kondisi ombak memecah (musim badai). Pertemuan pertama tim fasilitator dengan warga Dusun Masokut berlangsung saat lokakarya P2KP di tingkat Kabupaten Kepulauan Mentawai. Dalam pertemuan tersebut disepakati, Tim Fasilitator akan mengunjungi Dusun Masokut, yang dianggap warga merupakan suatu bentuk penghargaan bagi dusun yang selama ini merasa menjadi anak tiri pembangunan. Tapi kemudian menanggapi hal tersebut dengan emosi berlebihan, melupakan pernyataan kepala desa yang juga perlu digaris bawahi (yakni ketentuan semua warga menyepakati). Sementara, program P2KP mengisyaratkan, peruntukan kegiatan Tridaya (Ekonomi, Lingkungan dan Sosial) tidak bisa diputuskan secara sepihak, baik oleh kepala desa, tokoh masyarakat, atau hanya kemauan satu dusun saja. Pada dasarnya program P2KP adalah milik warga desa, dari warga, oleh warga dan untuk warga, sehingga pengelolaannya diputuskan bersama oleh seluruh warga desa berdasarkan tahapan siklus yang telah digariskan program. Jadi, yang diharapkan menentukan peruntukkan tersebut adalah adanya mekanisme demokrasi di tingkat desa yang memiliki keberpihakan terhadap pemerataan kesempatan membangun bagi semua warga, dimana kebijakannya berlandaskan pada penetapan skala prioritas yang disepakati bersama warga desa secara demokratis. Tapi, tetap saja warga Masokut pesimis dengan keadaaan yang telah mereka rasakan selama ini.

Jika persoalan ini tidak segera diselesaikan di tingkat desa, kemungkinan paling buruk yang akan terjadi antara Desa Beriulou dan Dusun Masokut adalah tertundanya pelaksanaan program P2KP di desa. Tentunya kondisi ini akan memberikan pertimbangan bagi program lain untuk masuk ke Desa Beriulou. Sebenarnya, konflik antara Desa Beriulou dan Dusun Masokut juga dapat dilihat sebagai suatu proses perubahan sosial untuk mencapai keseimbangan baru dalam masyarakat Desa Beriulou. Menurut Paloma (1989 ;133) untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya suatu resolusi konflik yang memuaskan semua pihak yang bertikai, menuntut terjadinya perubahan struktur maupun nilai-nilai sosial dan nilai budaya yang dianut oleh suatu masyarakat, dalam hal ini tentunya kesadaran dan kemauan untuk berubah dari warga Desa Beriulou secara keseluruhan. Sedangkan dalam pandangan beberapa warga Dusun Masokut, alternatifnya bisa saja memisahkan diri dengan Desa Beriulou dan bergabung dengan Desa Bosua. Kepala Desa Bosua sempat juga mengomentari adanya keinginan sebagian warga Masokut untuk bergabung dengan Desa Bosua. Menurutnya, proses tersebut sebenarnya bisa saja terjadi, namun administrasinya akan memakan waktu dan rumit.

Perkembangan terakhir di Dusun Masokut? Tim Fasilitator telah menyampaikan kepada warga dusun, dengan tidak adanya kesiapan warga yang dibuktikan dengan tidak adanya penandatangan surat pernyataan, serta permintaan bantuan teknis P2KP sesuai limit waktu siklus kegiatan yang telah digariskan program, berarti dusun Masokut tidak dapat berperan sekaligus memperjuangkan aspirasi/kebutuhannya di tingkat desa. Akhirnya, secara perlahan warga dusun memutuskan dan menyatakan kesediaannya berpartisipasi dalam P2KP. Terlihat jelas, partisipasi Dusun Masokut dalam P2KP sangatlah profit oriented.


Mentawai, 2 Oktober 2006

Tidak ada komentar: