Selasa, 05 Agustus 2008

Masokut, Dusun Tertinggal di Kepulauan Mentawai (bag. 1)

(Dari arsip lama, pernah di muat di www.p2kp.org)

Kondisi geografis Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan membawa konsekuensi keterpencilan. Dan, secara nyata, keterpencilan mencatatkan dirinya dalam kamus pembangunan sebagai permasalahan yang terus dicarikan strategi pemecahannnya. Sampai ada menteri khusus pembangunan daerah tertinggal, ataupun percepatan pembangunan Indonesia bagian Timur. Bahkan, Departemen Sosial punya program khusus untuk Komunitas Adat Terpencil, juga program sejenis lain yang pada hakikatnya bertujuan melakukan percepatan pembangunan/kesempatan membangun bagi warga di seluruh wilayah NKRI. Namun, tetap saja keterpencilan dijadikan sebagai ”tertuduh penghambat pembangunan.”

Subtansi keterpencilan menuntut pengaruh utamaan keberpihakan kebijakan pembangunan, dalam artian kesempatan membangun. Bukan saja berasal dari pembuat kebijakan—pemerintah—melainkan dari adanya agenda demokratisasi komunitas, kepemimpinan, sampai pada keberpihakan masyarakat tingkat pemerintahan terrendah. Saat ini, isu keterpencilan dan ketertinggalan pembangunan bukan lagi monopoli pemerintahan propinsi setingkat kabupaten/kota, melainkan juga menjadi isu yang sama bagi pemerintahan terendah setingkat desa, meski memiliki dimensi persoalan berbeda. Seperti, kasus Aceh atau Irian Barat. Untuk Sumatera Barat sendiri, mungkin Kabupaten Solok Selatan, sebagai hasil pemekaran Kabupaten Solok, dapat juga mewakili diskursus ini.

Mungkin cerita berikut dapat mewakili karakteristik keterpencilan dan ketertinggalan pembangunan pada tingkat pemerintahan terendah. Yakni, Dusun Masokut, yang merupakan bagian dari Desa Beriulou Kabupaten Kepulauan Mentawai. Beriulou sendiri merupakan gabungan dari dua kata yakni Beri (yang artinya tidak ada) dan ulou (artinya ular). Jadi, dalam bahasa Mentawai, Beriulou berarti tidak ada ular. Konon dulu saking banyaknya ular, akhirnya wilayah ini disebut saja sebagai Beriulou.

Secara geografis, Dusun Masokut terletak di muara sungai berkarang yang sempit dan berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Letaknya jauh dari pusat Desa Beriulou—dimana empat dusun lainnya berada, yaitu Dusun Boku Mongan, Bere, Matalu dan Beriulou. Pada musim tertentu, seperti musim anggau/musim badai—sekitar April hingga Oktober—ombak memecah di depan muara yang mengakibatkan warga akan sulit memasuki dusun. Jarak Masokut dengan pusat desa dapat ditempuh selama dua jam berjalan kaki (ukuran orang Mentawai) menyusuri pantai, dengan mempertimbangkan pasang naik dan surut air laut. Sedangkan dengan mesin boat 40 PK, perjalanan dapat ditempuh selama 30 menit. Mengapa standar jalan dan waktu tempuh menggunakan ukuran Mentawai? Karena, pengalaman menunjukkan adanya perbedaan signifikan waktu tempuh perjalanan antara orang Mentawai dengan orang luar. Perbedaannya bisa 2 kali lipat, berarti 1 jam jalan kaki orang Mentawai sama dengan 2 jam jalan kaki orang luar.

Pemukiman penduduk dusun Masokut berhadapan langsung dengan bibir pantai. Rumah-rumah tertata rapi, dihubungkan oleh jalan tembok semen hasil bantuan program pemerintah yang pengerjaannya dilakukan bersama-sama oleh warga setempat, dengan melibatkan warga dari empat dusun lainnya. Jumlah penduduk Dusun Masokut sekitar 57 KK, 4 KK di antaranya Muslim. Terdapat tiga gereja. Pertama, Gereja Kristen Prostestan Mentawai (GKPM) yang beranggotakan 23 KK, Kedua, Gereja Katolik beranggotakan 18 KK, Ketiga, Gereja Pantekosta Di Indonesia (GPDI) beranggotakan 13 KK. Banyaknya jumlah beragam gereja di dusun/desa kepulauan Mentawai ini merupakan fenomena sosial keagamaan yang menarik untuk dibahas. Belum lagi adanya isu korupsi dalam pembangunan gereja, sebagaimana yang terjadi di Dusun Masokut.

Sementara itu, mengenai pendidikan, di pusat Desa Beriulou terdapat Sekolah Dasar (SD). Namun, sebagian besar warga Dusun Masokut lebih memilih menyekolahkan anak-anaknya ke SD di desa tetangga, yakni Bosua yang harus ditempuh selama satu jam berjalan kaki (menurut ukuran penduduk Mentawai). Akibat jarak yang melelahkan ini, sebagian besar anak-anak (yang masih kecil) terpaksa tinggal menumpang di rumah sanak saudara di Desa Bosua. Sebagian lagi melakukan perjalanan pulang-pergi setiap hari. Seperti yang diutarakan oleh Citra, kelas VI, ”Saya berangkat jam 05.30, sampai di sekolah jam 07.30 kalau jalan terus tanpa istirahat.” Adik Citra, Waper, menolak bersekolah, tanpa mau mengemukakan alasannya.

Kesulitan penduduk mengakses pendidikan setingkat SD membawa persoalan tersendiri bagi warga Dusun Masokut. Dari sisi anak, jarak sekolah yang jauh dengan tempat tinggal orangtua secara umum akan mengakibatkan si anak tidak kerasan untuk bersekolah. Dengan kata lain, si anak sulit untuk dapat mandiri. Kalaupun si anak menetap di Desa Bosua dan orangtuanya mengunjungi minimal seminggu sekali, bagi orangtua kondisi tersebut membawa dampak yang tidak jauh berbeda dengan si anak. Yakni, soal pola pengasuhan anak di rumah sanak saudara di Desa Bosua. Belum lagi tambahan biaya sekolah si anak selama tinggal di Desa Bosua. Jadi, persoalannya bukan semata ketidakmampuan atau ketidakmauan orang tua menyekolahkan anak. Kondisi ini pun membawa beberapa dampak, seperti jumlah anak putus sekolah setingkat SD bertambah, sekaligus menguji semangat anak untuk sekolah. Artinya, selain harus mempunyai keuangan memadai, hanya anak-anak yang mempunyai niat kuatlah yang akan tetap bertahan sekolah. Bersambung...


Mentawai, 27 Sept 2006

Tidak ada komentar: