Bencana lingkungan sepertinya tak henti menghampiri Indonesia. Mulai dari Tsunami, kebakaran hutan, Lumpur Lapindo, Gempa, Gunung Meletus, dan Longsor. Tingginya curah hujan beberapa bulan belakangan, telah mengakibatkan banjir, menimbulkan korban nyawa dan harta benda, Menenggelamkan perkampungan penduduk, areal persawahan di Jawa yang beberapa diantaranya menjadi daerah surplus/lumbung padi nasional. Kondisi ini dikwatirkan mengancam ketahanan pangan nasional. Dalam sebuah Talkshow di TV swasta, disebutkan isu ini sengaja dimunculkan untuk kepentingan kelompok tertentu : bisnis pengadaan beras nasional. Namun hal ini dibantah oleh salah seorang narasumber.
Selain disebabkan oleh kerusakan ekosistem disekitar Daerah Aliran Sungai (DAS), ada penjelasan lain yang luput mengenai bencana lingkungan seperti banjir, ada “kekeliruan” dalam pemanfaatan tata ruang ataupun tata guna lahan. Pemukiman – pemukiman penduduk baik secara tradisional maupun moderen ( developer/pengembang), banyak didirikan disekitar daerah rawan banjir, disekitar daerah aliran sungai. Dan ini tampak jelas, di kabupaten Muaro Jambi dimana ¾ luas daerahnya merupakan daerah dengan topografi dataran rendah berawa, di kelilingi sungai besar Batanghari dan anak –anak sungainya.
Pemukiman penduduk dengan model rumah panggung ataupun permanent berdiri disepanjang tepian sungai, ataupun di tanah sematang/tinggi yang berada tidak beberapa jauh dari bibir sungai. Atas peran pemerintah, daerah berawa/gambut dirubah menjadi perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan maupun pribadi penduduk, serta dijadikan sebagai lokasi permukiman Transmigrasi. Konon menurut cerita, dulu banyak para transmigran, pulang ke daerah asalnya Pulau Jawa .
Ternyata areal transmigrasi yang mereka tempati merupakan daerah rawan banjir. Walaupun rumah-rumah transmigran di desain sedemikian rupa agar tidak terkena banjir (rumah Panggung), banjir tetap melumpuhkan aktifitas ekonomi transmigran/penduduk, menenggelamkan kebun dan tanaman palawija mereka. Sebagian transmigran yang masih bertahan sampai sekarang, secara perlahan tapi pasti, telah merubah jenis tanaman untuk kebun mereka. Palawija digantikan kelapa sawit. Dalam pandangan penduduk, kelapa sawit lebih tahan terhadap kondisi alam/banjir dan lebih menjanjikan secara ekonomi.
Bagi penduduk, banjir merupakan bagian dari siklus hidup dalam kalender musim tahunan mereka, bersiap untuk gagal panen jagung karena datangnya musim penghujan/banjir yang sekarang mulai sulit untuk di patok lagi. Dalam derajat tertentu, tidak ada kepanikan mencolok dari warga, ataupun tim evakuasi seperti yang terjadi didaerah lain. Setiap penduduk telah menyiapkan perahu –perahu kecil sebagai penganti alat transportasi sekaligus sarana penyelamat dalam keadaan darurat, anak-anak tetap dapat berangkat sekolah dengan mendayung perahu kecil, memindahkan ternak ke daerah yang lebih tinggi, dan semuanya dilakukan secara swadaya. Namun demikian, pemerintah daerah setingkat kecamatan, tetap bersiaga mendirikan posko bencana banjir dibeberapa titik desa.
Dan pada sisinya yang lain, bencana banjir bagi sebagian penduduk justru menjadi sesuatu yang ditunggu kehadirannya. Banjir berarti sumber pendapatan ekonomi baru. Ketika banjir datang, ikan – ikan memenuhi parit –parit perkampungan dan anak-anak sungai. Rawa-rawa akan dipenuhi belut. Banjir berarti melimpahnya sumber protein, sumber uang baru, di jaring dengan alat sederhana ; pukat, jalo,dan lukah, kemudian dalam jumlah tertentu di konsumsi dan di jual diantara penduduk ataupun ke pasar yang lebih jauh, dari desa.
Cerita banjir, tidak musti melulu berisi kesengsaraan bencana, melainkan ada sisi penjelasan tertentu dalam sudut pandang penduduk yang juga perlu di ungkap kepermukaan. Walaupun sifatnya yang sesaat, banjir telah memberi dua sisi sekaligus kepada penduduk dan kita bersama,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar