Sampah telah lama hadir sebagai penanda sosial dalam mata rantai konsumsi komoditi dari sebuah mesin besar produksi kapital. Dalam lajur dan jalur seperti ini, setiap konsumsi komoditi dari sebuah produksi, baik biologis maupun mekanik terhadap pemenuhan selera, hasrat dan kebutuhan manusia, didalamnya melekat persoalan, sisa/reduksi konsumsi produksi, berupa sampah yang secara empirik mengamcam keberlanjutan ekosistem - dalam pengertian yang lebih luas.
Dengan demikian, sebuah konsumsi maupun produksi, terlaksana atau gagal/reject, dalam pengertian tidak memenuhi standar produksi tertentu, akan tetap menghasilkan sampah. Berhasilnya satelit mengorbit pada titik orbit yang telah ditentukan dengan segala kegunaannya (militer & Ilmu pengetahuan), ketika masanya habis, satelit-satelit ini akan tertarik gravitasi dan jatuh ke bumi sebagai sampah luar angkasa.
Bahkan kematian dari setiap mahluk yang bernyawa - dalam pengertian tertentu – akan berarti sampah, kotoran yang akan menimbulkan bau busuk, dan bakteri. Bagi penganut Zoroastrian, ketika seseorang meninggal dan jiwanya lepas dari tubuh, yang tertinggal adalah tubuh yang nista dan kotor. Tidak ada prosesi penguburan, ataupun kremasi bagi tubuh tak bernyawa. Dalam kepercayaan Zoroastrian, tanah, air dan api adalah unsur yang suci. Penguburan berarti menggotori tanah yang suci, mengkremasi berarti mengotori api yang suci. Dan tempat yang layak bagi tubuh tak bernyawa, hanyalah menara penguburan, menara keheningan yang berdiri tinggi diantara bukit-bukit bebatuan, menjadikannya serupa penguburan langit, dimana burung –burung bangkai akan memakan tubuh-tubuh tersebut. Itulah bentuk lelaku penghormatan manusia terhadap lingkungan.
Pada kebudayaan lain, tubuh-tubuh tanpa nyawa tadi ditempatkan, ditempat yang tinggi, di dinding –dinding bukit, atau diatas pohon sebagaimana dilakukan Suku Anak Rimba. Laku seperti ini akan dikuti dengan melangun, yang dilakukan kelompok(Suku Anak Rimba) secara bersama, mencari tempat tinggal baru.
Dan dalam ajaran agama tertentu, dengan dasar kepatutan dan kemanusiaan, tubuh-tubuh tanpa nyawa tadi dikuburkan kedalam tanah “ dari tanah kembali ke tanah”. Dilepas dengan doa dan tangis sebagai wujud rasa terimakasih atas segala kebaikan yang diberikan dan melekat pada dirinya.
Proses seperti ini, secara alamiah maupun rekayasa sosial, merupakan gerak penghormatan terhadap pemberi hidup sekaligus kehidupan, yang berlangsung secara terus menerus dengan ide yang sama, namun dengan lelaku yang berbeda.
Dalam konteks kekinian, masyarakat manusia dihadapkan pada persoalan nyata dalam lingkaran besar mesin produksi kapital lokal maupun global, dengan menumpuk dan menggunungnya sampah sebagai reduksi/sisa komsumsi produksi yang hadir ditengah –tengah kehidupan mereka, berupa limbah rumah tangga, pakaian, elektronik, plastik makanan dll.
Dengan ataupun tanpa mesin kapital, manusia tetap akan memproduksi sampah, dimana secara grafik berbanding terbalik dengan kemampuan alam mengurai sampah serta kemampuan manusia mengelola sampah dalam tata kelola yang ramah bagi manusia dan lingkungan.
Nama pada taraf tertentu, tak juga dapat ditampik, telah tumbuh sebuah kesadaran kritis dan kesadaran revolusioner (daur ulang), manakala masyarakat dari kelas yang beragam, mereproduksi kembali use value dan exchange value komoditi, bahkan reproduksi image brand sampah global.
Namun pada sisi lain, otoritas Negara, merasa, pengkonsumsian, reproduksi ulang, value komoditi sampah global, telah menampikkan peran Negara dalam mengatur pasar, melanggar ketentuan hukum perdagangan, bea cukai, mematikan mesin besar produksi kapital.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar