Selasa, 05 Agustus 2008

WC Umum

Sebenarnya cerita tentang wc umum, sempat saya tulis 8 atau 9 tahun yang lalu. Saat itu, ketika sedang besuk teman se kampus di Sebuah Rumah Sakit pemerintah di Kota Padang. Pada jam sholat Dzuhur masuk, terkejut sangat, ketika keluar dari pintu WC umum setelah mengambil wudhu, harus membayar Rp. 500,-. Saat itu secara spontan saya protes, karena fasilitas tersebut bagian dari rumah sakit, dimana penggelolaannya merupakan bagian dari management Rumah Sakit yang seharusnya diperuntukan bagi public yang beraktivitas diseputaran rumah sakit secara gratis. Sesuatu yang tidak masuk logika berpikir, tapi itu terjadi. Saat itu saya berkesimpulan, dengan membayar Rp. 500,- ini sebagai penanda bahwa WC yang merupakan bagian dari fasilitas rumah sakit telah dipindahkan penggelolaannya kepada pihak kedua/swasta dengan hitungan bisnis.

Kejadian serupa terulang kembali, dalam perjalanan Jambi - Padang. Memasuki Shubuh, mobil berhenti di terminal Bareh Solok untuk membayar uang peron di loket DLLAJR. Pada saat yang bersamaan, perut ini gak mau diajak kompromi, ampas –ampas makanan didalam perut minta untuk segera dikeluarkan. Akhirnya saya putuskan, untuk turun di terminal, dan mobil melanjutkan perjalanannya. Setelah puter-puter, beberapa tempat WC umum yang saya ketahui lokasinya ternyata WC umum nya masih tutup. Saya coba berjalan bergegas dalam suasana yang masih gelap dan sepi ke arah masjid di dalam Terminal. Tampak dari kejauhan lampu masjid bersinar temaram. Ya sekalian sholat Shubuh, ternyata ada fasilitas WC dan kamar mandi yang letaknya berselahan dengan masjid. Tak ada tampak satu batang hitung manusia, yang ada hanya anjing –anjing yang berkeliaran di sekitar masjid.

Aroma yang ditebarkannya masih tetap sama, khas WC umum yang saya kenal ataupun WC kamar mandi kopel tempat kerja sehari –hari dikebun kelapa sawit. Ya, sebelum memborbardir lubang WC, dengan sangat terpaksa, saya siram berulang ulang kali. Lelaku yang paling nyaman, karena masih dikasih nikmat buang hajat. Sambil jongkok, melamun, pandangan tertuju pada dinding dan pintu yang dipenuhi coretan tangan dan gambar, berinisial nama orang-orang, makian-makian, gambar jorok, semuanya mengarah pada orientasi sexual laki-laki, vandalism mungkin juga penanda kenangan bahwa si pelaku pernah singgah untuk ngebom di wc itu. Pemandangan seperti ini umum dijumpai di wc umum khususnya laki-laki, entah di WC umum perempuan.

Setelah puas memborbandir lubang WC dengan serangan fajar pagi bulan Desember, dan mengambil wudhu, ketika keluar dari pintu WC umum, dikejutkan dengan panggilan seorang pemuda yang ntah dari mana datangnya, “ Bang mana beli airnya, kami menyewa tempat ini “ . Kaget, karena sebelumnya tidak ada orang satupun, pikiran gratisan tidak juga bisa hilang dari kepala. Uang Rp. 1000,- akhirnya keluar dari saku celana jeans lusuh dan bau, karena 2 hari belum di cuci.

Sambil berjalan meninggalkan masjid, entah pada siapa pertanyaan kapan WC umum akan berubah, tepat untuk dilontarkan? Karena menurut beberapa referensi dan cerita teman yang pernah ke Singapura dan Juga China, disana WC umum cukup resik, disediakan tisu dan air yang memadai. Artinya fase serupa bisa diwujudkan disini. Mensyaratkan perubahan prilaku kesehatan (Buang Air Besar) masyarakat dan dukungan dari pihak pemerintah maupun swasta untuk mendorong lingkungan dan prilaku hidup sehat. Di beberapa kabupaten, hal ini telah dilakukan oleh pemerintah setempat dengan melibatkan peranserta masyarakat dan fasilitasi jasa konsultan ataupun NGO.

Sesuatu yang sepertinya sangat jauh untuk di harapkan, bila mana kita melihat perilaku kita sehari – hari, jangankan di WC umum, di WC rumah pribadipun, sepertinya ini sulit untuk diwujudkan. Belum lagi, masih banyak, rumah tangga – rumah tangga yang tidak memiliki WC dan fasilitas air bersih di dalam rumah. Asumsinya ada tantangan perubahan prilaku dari masyarakat untuk mengubah prilaku buang air di alam terbuka, dengan prilaku buang air besar di dalam ruang dengan fasilitas dan prilaku yang berbeda.

Tidak ada komentar: