Sabtu, 30 April 2011

Rossy Goes To Campus : Jambi Tangguh Indonesia pun Tangguh

Senin lalu saat hendak ke kantor, ada rasa senang sekaligus tidak percaya melihat spanduk di persimpangan lampu merah mengabarkan Talk Show Rossy Goes To Campus: Indonesia Tangguh akan hadir di Baliurung Universitas Jambi. Akhirnya pada Sabtu pagi (30/04/2011) untuk memuaskan rasa keingintahuan, berdua dengan istri yang sama-sama sudah tidak mahasiswa lagi, saya bergegas berangkat ke kampus Universitas Jambi yang terletak disekitar daerah Mandalo Kabupaten Muara Jambi, diluar kota Jambi. Setibanya di lokasi ternyata tiket telah habis terjual jauh-jauh hari. Disela kepanikan mencari tiket, secara tak terduga saya melihat seorang kenalan mahasiswa. Dan berkat bantuannya akhirnya kami berhasil mendapatkan tiket.

Universitas Jambi merupakan kampus pertama di luar pulau Jawa yang menjadi tempat penyelenggaraan Rossy Goes To Campus: Indonesia Tangguh. Sekaligus menjadi kampus ke lima setelah Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Universitas Airlangga, dan Institut Tekhnologi Bandung. Tidak saya ketahui pasti mengapa Rossy Inc sebagai penyelenggara memilih Universitas Jambi. Tapi satu hal yang pasti, acara ini membawa angin segar ditengah kabar buramnya potret pendidikan Jambi. Akreditasi Universitas Jambi yang turun ke level C sepertinya justru menjadi salah satu alasan tepat untuk mengadakan acara tersebut. Melalui acara ini di harapkan, semangat, inspirasi dan motivasi dapat di berikan terutama bagi kalangan mahasiswa Jambi untuk membantu menciptakan generasi muda yang tangguh sebagai salah satu penyokong terciptanya Indonesia tangguh.

Dalam acara yang di dukung oleh Sinar Mas dan anak perusahaannya di Jambi, Eka Tjipta Foundation, Tribune Jambi dan BEM Universitas Jambi, tampaknya pihak penyelenggara cukup pintar mengemas komposisi pembicara talk show. Memadukan tokoh tua dan muda sebagai sosok yang memberikan inpirasi bagi mahasiswa dengan menghadirkan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, Gubernur Jambi Hasan Basri Agus, dan Politisi Muda Yenny Wahid serta Zumi Zola Bupati Tanjung Jabung Timur yang merupakan Bupati termuda di Indonesia (31 tahun).

Sesuai dengan tema acara yaitu Indonesia Tangguh, Jambi sebagai bagian dari Indonesia haruslah dapat memberikan sumbangan bagi terciptanya Indonesia yang tangguh. Untuk itu dunia pendidikan Jambi, terutama perguruan tinggi dituntut untuk dapat lebih menyesuaikan diri dan berperan dalam menciptakan sumber daya manusia yang tangguh, yang bisa menghadapi dan menjawab tantangan kehidupan terutama tantangan kebutuhan pasar kerja dan industri yang berkembang di Jambi. Karena dalam jangka panjang, pembangunan Jambi tidak saja hanya bisa mengandalkan melimpahnya sumber daya alam, seperti Hutan, gas bumi, minyak bumi, batu bara, kelapa sawit dan karet, tapi juga membutuhkan sumber daya manusia yang kompetitif seperti yang di capai oleh Usman Cai alumni Universitas Jambi tahun 1980 an yang sekarang menduduki posisi nomor 1(satu) di salah satu anak perusahaan Sinar Mas. Dan ini senada dengan apa yang di sampaikan Zulkifli Hasan yang mengatakan “ jika dibandingkan dengan zamannya dulu, anak sekarang semestinya dapat jauh berhasil karena semua fasilitas telah tersedia lebih baik “ . Pada kesempatan yang sama Yenny Wahid menyampaikan “ untuk tangguh haruslah menjadi pribadi yang tangguh terlebih dahulu, kita dulu yang mesti berubah baru bisa melakukan perubahan”.

Sedangkan bagi Zumi Zola, “ manusia yang tangguh adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain” , dan untuk tujuan itulah dia meninggalkan dunia keartisan dan memilih terjun ke dunia politik di kampung halamannya, seperti tergambar dalam ucapannya “siapa lagi yang akan membangun Jambi jika bukan putra daerah Jambi sendiri “. Walaupun miskin pengalaman politik, profil pendidikan Zumi Zola yang tamatan Intitut Pertanian Bogor dan Master di London sepertinya dapat dijadikan salah satu modal penting dalam kepemimpinannya, ditambah bantuan dari orang yang dituakan disekelilingnya seperti yang sebelumnya dibenarkannya.

Penyelenggaraan Rossy Goes To Campus kali ini harus juga dilihat sebagai sebuah momentum untuk daerah menjadi lebih baik lagi, sebagaimana disampaikan Hasan Basri Agus dengan visi pembangunan Jambi EMAS - Ekonomi Maju Aman dan Sejahtera -. Tidak hanya berhenti sampai batas penyelenggaraan saja, tapi setelah ini diharapkan kerjasama antara perusahaan dengan universitas di Jambi dapat lebih di tingkatkan, terutama dengan melakukan rekrutmen dan menempatkan lulusan Universitas Jambi yang tentunya juga mesti kompetitif di seluruh anak perusahaannya. Tidak seperti yang sebelumnya dikeluhkan Gubernur Jambi Hasan Basri Agus pada saat menyaksikan penandatangan MoU antara Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jambi dengan Perusahaan di Jambi tentang rekruitmen dan pelatihan tenaga kerja. Pada kesempatan itu Hasan Basri Agus menyampaikan berdasarkan hasil surveinya acaknya pada 7 tenaga kerja di salah satu anak perusahaan Sinar Mas yang menduduki level staff ketika di wawancarai nya tidak ada satupun yang berasal dari Jambi.

Walaupun tidak mewakili populasi tenaga kerja yang ada, paling tidak hal ini memberikan gambaran bagaimana sumber daya manusia Jambi dalam kaitannya dengan persaingan di pasar kerja yang juga menjadi tantangan bagi dunia pendidikan dan kaum terpelajar Jambi. Jika pihak berkepentingan bisa menjawab tantangan ini barulah secara kolektif Jambi dapat dikatakan berperan bagi tumbuhnya Indonesia tangguh seperti yang kita cita - citakan bersama.

*Mad sekali lagi terima kasih tiketnya*

2 sosok berbeda dengan nasib yang sama, yang inginku ajak bercerita.

Beberapa hari belakangan, ada yang membuatku penasaran sekaligus ngenes, karena secara kasat mata ini adalah sebuah pemandangan menyedihkan. Hampir setiap sore dan malam ketika berada diatas sepeda motor , aku selalu berpapasan dengan dua sosok berbeda yang membuat mataku selalu saja menoleh kearahnya, lalu hatiku bergulat sendiri mencari kebenaran. Ingin rasa mengetahui kisahnya, tapi tak pernah ada keberanian untuk berhenti barang sebentar dan moment tepat untuk berhenti mengajaknya bercerita. Sepintas takut menganggu aktivitasnya atau malah diusir tegak dari hadapannya.

Sosok pertama, adalah laki-laki melayu paruh baya. Hampir setiap malam selepas maghrib selalu tampak duduk disamping gerobaknya di tepi bundaran dekat tugu juang. Tanpa peduli debu jalanan, bising kendaraan, atau bahkan hujan sekalipun dia tetap duduk sendirian diatas tembok taman pembatas jalan. Terkadang dimalam yang lembab asap rokok keluar dari hidungnya, mematung dengan pikiran yang entah apa. Sendirian ditengah malam, ditengah keramaian lalu lintas. Tak ada kawan bercerita, menghabiskan malam sendirian gigit dingin nya angin pagi, hanya mengandalkan kesehatan tubuhnya yang secara perlahan pasti dicuri jahatnya angin malam.

Penampilannya , tidaklah seperti para pengelandang jalanan lainnya. Setiap malam dia tampak bersih seperti siap mandi dengan rambut di sisir rapi kebelakang. Aku terus saja bertanya kenapa dia tidak beristirahat dengan gerobaknya di trotoar pertokoan tak jauh dari bundaran itu. Aku pikir akan jauh lebih aman dan nyaman, terhindar dari hujan dan mungkin saja kendaraan sesat yang menyerempetnya. Sampai sekarang aku tak tahu siapa dia sebenarnya, apa yang dikerjakan ?

Sosok kedua, perempuan lansia Tionghoa. Hampir setiap sore aku melihatnya mendorong sepeda kumbang dengan di bebani tumpukan barang bekas dikanan kirinya. Dengan terseok dia berusaha mendorong dan menahan sepedanya, terkadang seperti hendak rebah kesamping, karena tubuh renta nya tak kuat menahan beban sepeda. Sosoknya tua dengan uban memenuhi kepalanya, ringkih kurus dan lusuh pertanda betapa berat hidupnya. Tapi dia tetap semangat mendorong sepedanya. Ingin rasanya mengabadikan sosoknya lewat kamera. Tapi setiap kali hendak memotretnya dia tak tampak dijalan, tapi ketika tak membawa kamera sosoknya muncul diantara ramainya lalu lintas.

Pada dua sosok manusia inilah aku bercermin betapa pedihnya hidup, betapa kepapaan hanya tampak sebagai sesuatu yang lewat dipelupuk mata begitu saja. Aku bayangkan seandainya laki-laki melayu itu adalah diriku, betapa tak sanggupnya aku hidup dirantau sendirian dimasa tua. Hidup beratapkan langit dan berselimut angin malam. Betapa kesendirian pastinya akan membunuh dengan kejam.

Sedangkan pada sosok perempuan lansia Tionghoa, aku berpikir tak hanya etnis melayu yang menelatarkan orangtuanya. Di tengah ketidaklumrahan itu hadir pula lansia Tionghoa yang berakhir dijalanan. Dan ini bertolak belakang dengan apa yang pernah aku lihat beberapa waktu lalu,dimana seorang lansia perempuan Tionghoa bersama keluarga besarnya pergi menonton di salah satu bioskop kota, sebuah gambaran keluarga bahagia. Aku sendiri berharap cerita dua orang diatas tidak berlaku pada amak ku di kampung dan diriku dihari tua, hidup tanpa kepedulian sosial orang-orang, tanpa kepedulian keluarga apalagi kepedulian negara yang pergi entah kemana seperti tak tampak saat dibutuhkan.

Tafsir Cireng

Setelah kurang lebih 25 tahun lewat, sore ini secara tak terduga masa kecilku seperti datang kembali lewat sepotong jajanan bernama aci digoreng atau yang lebih familiar disebut Cireng. Walaupun bentuknya sedikit berbeda, yang lama pipih ditusuk lidi dan yang ini bulat tak beraturan seperti kepalan tinju. Meskipun memakannya tanpa saus cabai atau kuah kacang, rasanya yang gurih dan kenyal tetap saja membuatku melayang pada masa kecil. Masa membelinya pagi pagi di gang permukiman padat di Cimahi atau saat berseragam merah putih dan membuat seragam sekolah yang mesti dipakai lagi esok hari itu belepotan kecipratan saos.

Tapi bagaimanapun Cireng tetap salah satu satu jajanan rakyat Sunda favoritku yang kutemukan kembali di Kota Jambi lewat pedagang gorengan asongan kaki lima asal Indramayu yang sekitar awal tahun 2004 mulai berjualan di Jambi dengan cara berjualan berkeliling. Dan ketika Kota Jambi telah mulai ramai dan padat seperti sekarang mereka ini berjualan nongkrong di persimpangan / trotoar jalan atau tempat keramaian secara tetap. Hebatnya pedagang gorengan asal Indramayu ini tetap menjual gorengannya mulai dari pisang goreng, tempe goreng, gehu (tahu isi), bala - bala dan terakhir cireng dengan harga Rp.500/buah, sementara pedagang gorengan lain menjualnya gorengan dengan harga Rp.1.000/buah bahkan ada yang sudah menjual dengan harga Rp.1.500 /buah.

Menakjubkan memang, ketika dunia dan kebudayaan bergerak tanpa lagi dibatasi oleh sekat budaya dan geografis, mobilitas manusia sekaligus budaya telah memberikan perubahan besar pada berbagai hal dan peristiwa, salah satunya telah membuat sepotong masa kecilku kembali. Begitulah aku menafsirkan pertemuanku kembali dengan jajanan bernama Cireng. Tak mesti lagi bersusah payah berada disana secara fisik untuk merasakannya.

Tapi lucunya, karena sepintas bentuk Cireng mirip dengan Mpek-mpek Palembang, beberapa pembeli lokal sempat meminta kuah cuka pada penjual gorengan. Sejurus kemudian penjual gorengan dengan sabar menjelaskan apa nama jajanannya tersebut. Lalu apa yang dapat dipelajari dari banjirnya jajanan khas daerah di suatu perkotaan, yang jelas ini merupakan potret keberagaman suatu masyarakat kota dimana tidak hanya manusia saja yang merantau jauh meninggalkan kampung halamannya, tapi kuliner daerah asal juga ikut merantau dan bertarung dengan lidah-lidah budaya lain di perantauan.

Refleksi pluralism

Sekitar dua tahun lalu, aku marah begitu melihat sebuah plang di sekitar Taman Nasional Bukit Dua Belas yang bertuliskan “ Disini akan dibangun Rumah Ibadah Gereja Suku Anak Dalam (baca Orang Rimba) mohon doa restu”, tapi berikutnya aku juga mempertanyakan gerakan sebuah LSM yang berorientasi meng Islamkan Orang Rimba dalam pendekatan pemberdayaannya.

Dilain waktu ketika ke Masjid, aku pun merasa canggung melihat perempuan mengunakan cadar penutup muka. Belakangan juga aku merasa risih dengan rumah orang Batak sebelah rumah yang dijadikan sebagai tempat kebaktian setiap Jum’at malam. Risih mendengarkan nyanyian puja pujinya di malam hari. Karena merasa tak puas, akhirnya aku mempertanyakan hal ini kepada Ketua RT. Jawaban singkatnya cukup membuatku terdiam “ biarkan saja pak, bukankah setiap orang mempunyai hak yang sama dan bebas melakukan kegiatan keagamaannya”. Saat itu aku seperti menjadi sosok dengan pikiran bodoh.

Sekarang aku malah berbalik bertanya dalam hati jika pada Jum’at malam tidak terdengar nyanyian kebaktian di sebelah rumah. Disudut blok lain sering pula setiap pagi aku menyaksikan Koko membakar dupa sambil membungkuk dengan hikmat sepenuh hati kearah matahari terbit. Sebuah pemandangan dan keheningan yang indah.

Apa yang aku rasakan diawal sebenarnya adalah perasaan yang tidak pantas untuk dipelihara, karena jauh-jauh hari bangsa ini telah mengkristalkan keberagaman kehidupan budaya sosial dan keagamaan dalam 3 konsep nilai utama bangsa. Pertama : Bhineka Tunggal Ika, Kedua Pancasila terutama dalam sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dan ketiga UUD 1945, dimana kebebasan memeluk agama dan beribadah dilindungi sepenuhnya oleh negara.

Sebagai sebuah nilai yang berada dalam supra struktur koginitif masyarakat, ketiganya bukanlah suatu nilai yang menjadi prilaku keseharian masyarakat begitu saja dengan mudahnya. Menjadikan ketiganya sebagai bagian dari nilai dalam aktivitas sosial, budaya dan keagamaan merupakan suatu hal yang tak mudah bagi setiap individu dengan beragam latar belakang sosial dan budaya. Tidak saja dibutuhkan seperangkat sistem pengetahuan, tapi juga beragam pengalaman otentik dan pemahaman-pemahaman dalam sebuah lingkungan sosial dan binaan yang beragam. Paling tidak itu tergambar dengan pengalamanku.

Dengan pengertian lain, diversitas keberagaman dan kerukunan umat merupakan jaring kontinuitas ranah perilaku yang terbentuk dari sebuah proses sosial itu sendiri. Bukan merupakan sesuatu yang terjadi dengan sendirinya , melainkan sebuah pencapaian budaya. Dan dia akan selalu seperti itu.

Musim Adu Jangkrik

Kali ini aku teringat masa kecil, saat bermain Jangkrik. Binatang yang memiliki nama latin Gryllidae ini memiliki tubuh rata dan antena panjang. Yang khas dari jangkrik adalah suara mengerik yang hanya dihasilkan oleh jangkrik jantan. Suara mengerik nya yang keras digunakan untuk menarik betina dan menolak jantan lainnya. Dan suara ini biasanya terdengar menjelang sore atau dikesunyian malam. Suara yang mungkin bagi sebagian orang diartikan sebagai sebuah keberisikan belaka.



Tentang bermain jangkrik, aku yakin bahwa tak semua orang pernah bermain dan menjadikan jangrik sebagai sebuah permainan, terutama dimasa kanak-kanaknya. Di daerah Jawa Barat, jangkrik bukan hanya ditempatkan sebagai binatang malam saja tetapi juga menjadi bagian budaya masyarakat, yang mana dikemas menjadi sebuah permainan bernama ngadu jangkrik. Hal yang juga berlangsung di daerah China daratan, terutama dulu nya oleh bangsawan kerajaan.



Permainan ngadu jangkrik biasanya dimainkan oleh laki-laki dan menggunakan jangkrik jantan sebagai binatang aduan. Ngadu jangkrik tidak hanya didominasi oleh anak-anak kecil tetapi juga laki-laki dewasa. Jangkrik yang dijadikan aduan bukanlah jenis jangkrik sawah , melainkan jangkrik dengan jenis lain yang dalam bahasa Sunda disebut Jangkrik Kalung yang ciri-cirinya berwarna hitam legam atau Jangkrik Konar yang berwarna kecoklatan. Tetapi ada kesamaan fisik pada ke dua jenis jangkrik tersebut yaitu memiliki garis berwarna kuning diantara kepala dan tubuhnya.



Jangkrik aduan jenis kalung ataupun konar biasanya dulu kudapatkan dengan membelinya pada pedagang jangkrik yang datang pada saat musim jangkrik tiba. Aku biasa membelinya didepan sekolahku atau datang langsung kerumah penjualnya. Jangkrik- jangkrik itu biasanya dijual berdasar standar ukuran besar kecil nya jangkrik dan garang atau kuatnya suara jangkrik waktu dia mengerik. Tapi tentu saja dengan harga yang masih terjangkau untuk kantong anak SD sepertiku.



Selain itu, ada lagi cara mendapatkan jangkrik yang agak sulit, tapi lebih mengasyikan buatku. Mencarinya di alam lepas bersama teman-teman sebayaku. Kami biasanya pergi kedaerah perbukitan yang kami ketahui adalah tempat populasi jangkrik berada. Dalam bahasa Sunda, pencarian jangkrik disebut sebagai ngala jangkrik. Biasanya kami melakukannya pada saat musim penghujan tiba. Pada saat itu, anak-anak di kampungku akan pergi secara bergerombol ke perladangan atau perbukitan untuk ngala jangkrik.



Mengapa kami pergi di kala musim penghujan? Karena setahu kami pada saat itulah jangkrik berbiak dan dalam kelembaban udara dingin itu anak jangkrik tumbuh sayapnya. Dan pada saat itu, kondisi tanah yang terkena hujan memudahkan kami untuk mencongkel tanah tempat jangkrik bersarang. Suara jantan yang mengerik mempermudah kami untuk menemukan sarang jangkrik, selain itu letak sarang juga kami kenali dari adanya tanda-tanda sisa rumput yang mereka makan.



Aku pernah melakukan perburuan bersama seorang teman yang lebih dewasa, dengan berjalan kaki sekitar 1 Jam dari rumah ke sebuah perbukitan disekitar sebuah perkampungan. Usaha yang tidak sia-sia, karena kami mendapatkan jangkrik aduan yang jumlahnya banyak. Bahkan sebagian kemudian bisa kami jual, sedangkan sebagian lagi tetap kami pelihara. Perjalanan itu tidak hanya menghasilkan jangkrik tetapi juga memberi pengalaman baru padaku mengenal sekelompok masyarakat yang masih memegang teguh tradisi Sunda Wiwitan. Warga perkampungan Adat Cireundeu, begitu namanya, sehari-harinya tidak memakan nasi melainkan singkong. Bagi mereka itu adalah wujud dari rasa menghormati ajaran leluhur, dimana dalam kepercayaan Sunda Wiwitan padi ditempatkan sebagai tanaman sakral yang disebut sebagai Nu Geulis Nyai Pohaci Sri Dangdayang Tresnawati.



Kembali ke jangkrik, kami biasanya melakukan ngala jangkrik disaat hari menjelang sore. Mencari dan berusaha mengenali lubang diantara tanah dan semak, kemudian mencongkelnya dengan parang atau kayu. Melangkah mengendap mendekati sumber suara, saat terdengar suara mengerik. Sedangkan orang dewasa, lebih memilih melakukannya di malam hari. Ini karena pencarian jangkrik lebih mudah dilakukan. Selain suara mengerik yang semakin ramai, pencarian juga cukup dilakukan dengan mengandalkan lampu petromak. Cahaya lampu biasanya menarik perhatian jangkrik untuk datang mengerubungi. Kami anak-anak tidak pernah di izinkan untuk ikut di malam hari, karena resikonya cukup besar, terutama dari serangan binatang malam atau ular.



Pada saat ngadu jangkrik terdapat cara khusus untuk membuat jangkrik mengerik. Menggunakan benda terbuat dari serat daun menyerupai kuas lukis kecil, yang kemudian di putar di sepanjang tubuhnya terutama bagian kepalanya. Itu akan membuat si jangkrik ‘geli-geli’ sehingga kemudian mengerik. Usaha tersebut juga bisa di pakai untuk mengetahui seberapa garang jangkrik itu sebagai jago untuk diadu. Jika capitan dimulutnya terbuka lebar sambil berusaha menyeruduk alat penggeli, dan mengeluarkan suara mengerik keras merupakan pertanda bahwa si jangkrik adalah petarung yang hebat. Ibaratkan seorang petinju, suara mengerik keras itu adalah psy war yang sangat berguna dalam menunjukan dominasi untuk menakuti lawannya. Sedangkan ukuran capitan mulut akan digunakan sebagai senjata utama dalam melakukan hook, uppercut, atau jab yang akan membuat lawan mundur atau bahkan terpelanting tidak bersuara lagi.



Walaupun ngadu jangkrik merupakan sudah dikenal dan dilakukan lama oleh warga, namun pada sebagian masyarakat terutama golongan tua, permainan ini dinilai sebagai kegiatan yang mubazir dan dosa. Mubazir karena tidak hanya membuang uang, tetapi juga membuang waktu. Dan berdosa karena menyakiti binatang. Apalagi bagi kalangan orang dewasa, permainan ngadu jangkrik terkadang diiringi dengan taruhan sejumlah uang.



Aku sendiri ingat betul, betapa amak (ibu ku) marah-marah apabila uang jajan habis untuk membeli jangkrik. Masih ku ingat, amak selalu mengatakan jika aku masih mengadu jangkrik kelak diakhirat aku akan disiksa dan diadu persis seperti jangkrik yang aku adu. Untuk sesaat aku benar-benar takut, apalagi jika waktu itu aku sedangmem baca buku bergambar yang menggambarkan bagaimana manusia disiksa di neraka. Tapi tak lama, aku akan balik lagi asyik ngadu Jangkrik dengan teman teman di kampung.



Sekarang aku sadari bahwa sebenarnya ngadu jangkrik bukan melulu persoalan adu gengsi seorang laki-laki atau hanya soal judi semata. Ada sisi menarik lain yang belum tentu didapatkan dalam permainan anak-anak sekarang. Ngadu jangkrik membuat masa kecilku indah karena begitu dekat dengan alam sekitar . Tidak saja tahu bagaimana mengadu jangkrik saja, tapi juga mengajarkan bagaimana memeliharanya sebagai binatang peliharaan, mengetahui bagaimana anak jangkrik tumbuh besar, membedakan mana jangkrik yang jantan dan mana yang betina. Membuatkan kandang dari kaleng di isi tanah atau dari susunan kayu bertingkat, memberi makanan dan menjaga nya terutama dari kucing. Dan dari makanannya aku bisa mengetahui ada sejenis rerumputan yang disukai jangkrik dan itu bisa digunakan sebagai bahan dasar obat, yang kalau aku tak silap bisa dibuat menjadi salep obat kurap.



Aku sendiri tak tahu pasti, apakah saat ini ngadu jangkrik masih menjadi permainan buat laki-laki terutama anak-anak di kampungku. Jangan-jangan tidak. Selain kalah oleh game online yang menjamur, habitat jangkrik aduan pun mungkin semakin sulit ditemui karena, bukit dan perladangan telah berubah menjadi perumahan. Musim penghujan pun tak dapat lagi dipastikan kapan dia akan datang tahun ini.