Dalam berbagai hal barat dan timur selalu saja di perbandingan atau malahan dipertentangkan satu dengan lainnya. Mulai dari cara berpikir, agama, pendidikan, kesehatan, politik, demokrasi, budaya, moralitas bahkan soal kuliner. Khusus soal kuliner di masyarakat timur segala kuliner yang berbau barat selalu saja dikaitkan dengan kuatnya pengetahuan kesehatan. Atau bahkan belakangan ketika masyarakat timur mulai sadar akan pentingnya pengetahuan gizi ataupun kesehatan, nilai kuliner barat terutama yang berada di gerai gerai pusat perbelanjaan dimata masyarakat timur menjadi dipertanyakan dari sudut kesehatan khususnya kategori makanan cepat saji. Sedangkan bagi masyarakat barat, kuliner khas timur cendrung identik dengan eksotism pengembaraan belantara makanan antah barantah, menjurus taboo kalaupun tidak mau dibilang ektreme.
Pada saat yang bersamaan ketika arus manusia barat berdatangan ke timur atas bujukan parawisata, kuliner timur seolah-olah bangkit menunjukan segala sesuatunya, rasa, kemasan, kesederhanaan atau bahkan ke ektremannya untuk dapat mencecap perkenalan budaya diantara keduannya, lidah-lidah budaya. Sebagian kuliner – kuliner timur itu ada yang sulit ditemukan, ada pula yang bertahan terutama yang hanya dihidangkan secara khusus pada acara-acara adat tertentu saja, atau bahkan semakin digandrungi dengan sedikit sentuhan inovasi rasa dan penyajian disana sini.
Ditengah zaman yang berubah dan masifnya pergerakan container budaya kuliner, bagi kita mencintai kuliner asli daerah bagaikan sebuah pergulatan identitas budaya, apalagi bagi yang memasaknya didapur - dapur rumahan, restoran, dengan arang, kayu, ataupun dengan kompor gas sekalipun. Bayangkan saja apa yang terjadi jika kuliner - kuliner itu hilang dari pasar bukan saja disebabkan oleh tiadanya pegemar kuliner itu lagi, melainkan karena sudah tidak ada lagi yang pandai memasaknya.
Sebagai salah satu pengemar kuliner tradisional, belakangan ada kabar yang mencoreng dan menyurutkan selera untuk kembali memakan kuliner setempat kita. Bayangkan saja, bubur ayam yang sudah menjadi menu sarapan pagi mayoritas bangsa ini mesti juga tak lepas dari penyusupan zat kimia borak perusak tubuh. Dan melihat sedikit lebih jauh lagi lihat juga bagaimana kuliner ataupun jajanan anak-anak kita di depan sekolah tak juga lepas dari penyusupan zat kimia perusak tubuh.
Kuliner timur tidak saja berhadapan dengan gempuran kuliner barat, tetapi juga mengalami pembusukan dari dalam, dari para pelakunya sendiri, meracuninya dengan penyusupan zat kimia kedalamnya.
Ini bukan lagi soal pertentangan barat dan timur, tapi ini juga soal pencegahan, soal selektifitas, soal aware terhadap tubuh dan kuliner kita. Karena kuliner menunjukan bangsa dan budaya bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar