Selasa, 07 Juni 2011

Kritik sosial kesenian tradisi

Setelah jengkel dengan kelakuan pengamen jalanan di terminal Bukittinggi yang memaksa penumpang bus untuk memberikan uang saweran atas nama bahasa pergaulan,menjelang magrib di daerah Pulau Punjung tempat perhentian makan, giliran seorang seniman tradisi yang muncul. Bersama dua orang anak perempuan yang sepertinya anak-anaknya dan tampaknya masih usia sekolah,mereka tampil memainkan musik rabab di emperan rumah makan. Berbeda dengan respon terhadap pengamen di Bukittinggi tdi, kali ini saya lihat penumpang bus menunjukan reaksi berbeda.

Sepertinya,selain karena sekarang mulai sulit menemukan orang memainkan musik tradisi didepan publik selain pada acara pesta dipedesaan, nyanyian rabab yang dilantunkan oleh anak-anak membuat penampilan ngamen yang satu ini mendapatkan perhatian lebih. Apalagi jika mengingat betapa sulitnya sekarang menemukan anak-anak yang senang dan mau mempelajari musik tradisi.

Dua kutub magnet itulah yang membuat penumpang bus dengan spontan memberikan uang saweran silih berganti dilantai tempat seniman tradisi sekeluarga ini mengamen. Pertunjukan rabab jalanan itu bagi sebagian penumpang bus yang menonton, terutama yang cukup berumur ibarat melepas rasa rindu pada sebuah karya budaya anak negeri yang sulit dijumpai keberadaannya. Bagi yang lain seperti diriku yang tak begitu mengenal banyak segala hal ihwal rabab merupakan ketakjuban atas sebuah moment budaya yang merefleksikan bagaimana posisi musik tradisi saat ini ditengah masyarakat yang berubah, dikalahkan jaman, diputus mata rantai budaya yang tidak lagi memihak kepadanya dan terpaksa tampil dijalanan di’”amen” kan kepada publik yang beragam diperhentian bus.

Diatas bus kemudian beberapa penumpang berdebat mempersoalkan kenapa anak-anak usia sekolah harus berada dijalanan membantu mencari nafkah bersama orang tuanya. Sebuah kondisi pemikiran yang pragmatis memang, tapi paling tidak saya melihat bagaimana kedua anak perempuan usia sekolah itu menembangkan rabab dengan senang walaupun tak dapat menutup wajah malu anak-anaknya. Saya sendiri berharap si anak tidak lah sosok anak putus sekolah melainkan sosok anak yang masih sekolah dan berprestasi yang serius menggeluti musik tradisi sebagai warisan budaya keluarga. Sesuatu yang akan mengasah kepintaran dan kepekaan sosialnya sehingga dapat melahirkan tembang rabab sesuai perkembangan dijamannya kelak.

Hanya dalam tempo singkat, 3 tembang rabab mereka bawakan. Secara bergantian si Bapak dan kedua anak tersebut mengalunkan naynyian dalam bahasa Minangkabau, sayup – sayub tanpa pengeras audio, diiringi gesekan suara rabab dari si bapak dan bunyi suara kecrekan dari anak gadisnya. Ditengah keterbatasan penampilan kesenian tradisi itu saya masih bisa menangkap bagaimana tembang rabab yang mereka lantunkan menceritakan tentang masyarakat yang tergerus arus matrealisme. Berkisah tentang seorang suami yang sudah pontang panting mencari nafkah, bahkan sampai kada (penyakit kulit) menyerang seluruh tubuh, si istri tetap saja menceraikannya dengan alasan ekonomi. Atau pada nyanyian berikut bagaimana perabab menertawakan kelakuan supir bus yang condong menempatkan penumpang perempuan cantik untuk duduk di bangku CC disamping pak supir.

Saya teringat dengan kata kritik sosial lewat bahasa musik. Kisah-kisah dalam tembang rabab dalam pandangan saya berada dalam fungsi itu, sebagai kritik sosial terhadap kehidupan keseharian yang disampaikan tidak secara frontal, vulgar seperti kritik sosial dalam lagu-lagu jaman sekarang semacam dalam musik underground. Kritik sosial dalam rabab sepertinya mewakili cara bertutur orang timur secara umum atau etnis Minangkabau secara khusus, disampaikan dengan cara bercerita dengan balutan bahasa keseharian, lucu tapi tidak lepas dari lecutan yang mencubit rasa kemanusiaan sehingga tidak luput dari muatan kritik sosialnya.

Sekarang ketika dunia benar-benar berubah, ketika panggung musik tradisi sepi dimana-mana, bayangkan apa jadinya dunia tanpa sebuah kritik sosial ? sedangkan sudah dengan kritik sosial dengan wujud yang lain, budaya kita tetap saja seperti sekarang. Lihat saja bagaimana orang-orang beramai-ramai menutup mata,telinga, hati dan nurani hingga bebal tak berkesudahan.

Tidak ada komentar: