Selasa, 07 Juni 2011

Jambi antara Pempek, Kopi pahit AAA dan Teh Kajoe Aro


<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

Ketika garis batas bangsa dan budaya semakin penting atau malah justru semakin tidak berbatas, salah titik masuk untuk mengenali karakter suatu bangsa dan budayanya adalah melalui kulinernya. Kuliner dapat dipandang merefresentasikan bangsa dan atau budaya bangsa. Lihat saja bagaimana wisatawan berburu buah tangan saat berada didaerah kunjungan. Sama seperti setiap kali tamu kantor datang dari Jakarta ataupun keluarga bersilaturahmi ke Jambi, mereka selalu saja minta dibelikan atau membeli Pempek sebagai buah tangan mewakili pengalaman kunjungannya.Sebuah ranah fantasi berbayang yang kemudian menjadi nyata dengan membeli buah tangan khas daerah sebagai perwujudan pengalaman pernah benar - benar berada disana.

Sebuah pilihan kuliner yang menurut saya pribadi (pada awalnya) merupakan sesuatu yang tidak tepat dan absurd, selain karena Pempek terlanjur lekat dengan masyarakat Palembang, Jambi sendiri sebenarnya memiliki kuliner khasnya seperti Kue Pia Special Aroma Sari dalam berbagai rasa, Lempok Durian (sejenis dodol), Dodol Pisang, Nenas Selai Goreng, Rambutan Goreng yang semuanya dibungkus unik dengan bahan tikar pandan warna-warni, dodol kentang Kerinci, atau kalaupun mau sedikit yang lebih diproduksi masif sebut saja kopi pahit AAA dan teh Kajoe Aro.

Tapi sepertinya pempek yang sebenarnya tidak Jambi itu memang benar-benar telah terlanjur menutup pesona kuliner khas Jambi lainnya. Untuk kedua yang terakhirnya (kopi AAA & teh kajoe aro) sepertinya secara perlahan mulai dijadikan alternatif pilihan untuk mewakili pengalaman pernah benar-benar berada di Jambi.

Sebenarnya sedikit tidak nyaman juga, jika menyama-nyamakan kejadian ini dengan apa yang terjadi dengan eksistensi masyarakat dan budaya Melayu Jambi yang berada di daerah tua Sekoja (Seberang Kota Jambi). Dipisahkan sekaligus dihubungkan Sungai Batanghari, mereka pada satu sisi bertahan dengan kebersahajaannya dan sekaligus pada sisi lain semakin ditinggalkan mainstream besar pembangunan kota. Dan sekarang mulai dibujuk dan berusaha disambungkan kembali melalui pembangunan Jembatan Batanghari 2 atau yang segera akan dilaksanakan dengan pembangunan jembatan gantung khusus pejalan kaki yang akan menghubungkan pusat Kota Jambi dengan daerah Sekoja.

Keabsuran lain tentang identitas Jambi lainnya dapat dilihat dalam berbagai bentuk lain. Lihat saja bagaimana dengan semena-mena model puncak emas Tugu Monas Jakarta bisa dipakai dalam salah satu tugu di bundaran kota yang dipadukan dengan Angso Duo yang merupakan identitas tradisonal Jambi sesungguhnya. Belum lagi bagaimana masyarakat membahasakan pergi ke tepi dermaga Tango Rajo, atau ke tepi turap Batanghari atau turap sungai Tembesi di Sarolangun dengan sebutan Ancol, sesuatu yang lagi-lagi lekat dengan Jakarta. Belum lagi setiap kali memakai baju Melayu Teluk Belanggo lengkap dengan kain songket/sarung/ kain batik Jambi dipinggang ke Kantor selalu saja ada yang berceloteh “ hendak main kompangan ya”. Baju Teluk Belanggo selalu saja di identikan dengan para pemain Kompangan, sebuah kesenian tradisi Melayu yang banyak ditampilkan pada saat pesta pernikahan.

Apalagi untuk mengidentikan Jambi dengan Tempoyak. Ingat betul ketika pertama kali bekerja di Jambi di daerah Kumpeh. Pada suatu makan siang diminta mencicip Tempoyak Ikan Patin (berasa durian) yang juga lekat dengan budaya Palembang. Katanya belum ke Jambi kalau belum pernah makan Tempoyak. Dari awal saya berusaha menolaknya. Walaupun menyukai durian, tapi perubahan bau durian setelah menjadi tempoyak membuat baunya kontan memancing perut mual. Tapi demi menghormati tokoh Desa itu akhirnya saya mencobanya, tak butuh menunggu lama, akhirnya sayapun memuntahkannya karena lidah dan perut tak dapat menyesuaikannya, tak bisa diajak bekerja sama. Semua orang Desa yang hadir pada saat itu tertawa melihat saya memuntahkan tempoyak itu.

Lalu bagaimana sebaiknya melihat dan memposisikan keabsuran identitas ini secara lebih seimbang? Jawabannya ya seperti itulah Jambi, bukankah pinjam meminjam unsur budaya ataupun kesamaan bentuk budaya merupakan suatu yang wajar dan banyak ditemui diberagam budaya sebagai akibat kontak budaya itu sendiri, terbuka dan terhubung dengan beragam budaya dan etnisitas sejak dulunya. Dalam lingkup yang lebih luas sebagai contohnya bukankah juga mie ayam dan bubur ayam yang terlanjur di klaim sebagai kuliner khas bangsa ini, berakar pada budaya Tionghoa ? Adakah Tionghoa mengugat klaim itu ?

Keabsuran ini memperlihatkan wajah Jambi yang plural. Melayu Jambi secara etnisitas tidak lagi tampil dominan dalam setiap aspek kehidupan budaya masyarakat Jambi, begitu juga dalam etalase kulinernya. Melainkan berbagi peran dengan etnisitas lainnya, sebut saja Kerinci, Jawa Transmigran, Arab yang bermetamorfosis menjadi Arab Melayu, India, Tionghoa,orang Bathin, orang Penghulu pendatang dari Minangkabau, Bugis dan Suku Laut di daerah pesisir Jambi serta Suku Anak Dalam dan Orang Rimba di pedalaman hutan Jambi.

Sedangkan untuk Palembang yang terlanjur dikonstruksi sebagai daerah asal Pempek, secara kesejarahan jejak pengaruhnya dapat dilihat dari Prasasti Karang Birahi di daerah Bangko, atau pada pertengahan abad 19 pada saat masuknya Belanda ke Jambi atau bahkan ada yang juga menduga bahwa keberadaan Candi Muara Jambi sangatlah terkait dengan Kesultanan Palembang / Sriwijaya. Dan jangan-jangan pempek juga berakar dari budaya Tionghoa di Palembang?

Pluralisme Jambi itu sepertinya semakin tampak jika kita juga dapat merefresentasikan Jambi tidak saja dengan dengan pempek, tapi juga dengan Kopi Pahit AAA yang Tionghoa dan Teh Kajoe Aro Kerinci yang dipetik oleh keturunan Jawa yang sengaja didatangkan oleh pihak perusahaan Belanda yang bernama Namblodse Venotschaaf Handle Vereniging Amsterdam (NV HVA) sejak tahun 1925 s/d 1928 ke Kerinci.

Dan bolehlah Jambi berbangga dengan itu, karena secara khusus Kerinci melalui tehnya telah menempatkan namanya sejak dulu di jantung Eropa dan di hati Kerajaan Belanda dan Inggris. Walaupun lagi-lagi kita harus menerima kenyataan ditingkat lokal nama teh Kajoe Aro kalah famous dari teh Sari Wangi yang sebagian biang tehnya bersumber dari perkebunan teh Kajoe Aro Kerinci. Lagi-lagi ini absurd kembali, bukan ?

Tidak ada komentar: