Tadi malam (15/06) Taman Budaya Jambi menggelar Malam Apresiasi Kesenian: Bumi Sakti Alam Kerinci. Kegiatan ini dilakukan untuk mengapreasi salah satu tarian Kerinci - Niti Mahligai – yang akan ditampilkan dalam pentas nasional di Tenggarong Kalimantan Timur. Acara yang terbuka untuk umum tersebut dihadiri Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Provinsi Jambi, perwakilan Dinas Budaya, Pariwisata dan Olahraga Kabupaten Kerinci, Direktur Bank Indonesia Jambi, Dewan Kesenian Jambi, dua orang turis asing dan undangan lainnya.
Dari tiga penampilan pementasan tari, pementasan Niti Mahligai merupakan puncak acara, membuat penonton awam berteriak histeris ketika tarian yang dibawakan 4 orang perempuan berumur itu dibuka dengan teriakan keras dari seorang penari sambil menusukan 2 bilah pedang keperutnya sampai bengkok. Atraksi berbalut magis itu dilanjutkan dengan menginjak-injak pecahan beling tanpa luka, berjalan diatas telur tanpa pecah, diatas paku tanpa luka, diatas dua bilah pedang tajam tanpa luka, diatas bara api tanpa melepuh, diangkat diatas sehelai kertas tanpa sobek dan terjatuh, dan diakhiri dengan tusukan tombak, juga tanpa terluka.
Sebelum pementasan, panitia menyampaikan sedikit pengantar tentang Tari Niti Mahligai yang dalam akar budayanya merupakan tarian ritual untuk calon pemimpin / rajo di daerah Siulak Kerinci. Dalam bahasa antropolog, mungkin semacam Rites of Passage (Inisiasi), sebagaimana dilakukan pada beragam budaya suku bangsa. Tapi yang menjadi pertanyaan saya, justru pada pelaku tarian itu. Kalaulah Niti Mahligai, benar merupakan ritual inisiasi bagi calon pemimpin/ rajo, kenapa Niti Mahligai dibawakan oleh perempuan? Apakah dengan demikian Rajo dalam budaya orang Kerinci adalah perempuan? Lalu bagaimana dengan laki-laki? Semalam berdasarkan tulisan dalam sebuah media online pertanyaan ini terjawab. Disebutkan perempuan berposisi sebagai Rajo dan laki-laki menjalankan pemerintahan. Apakah ini seperti Bundo Kanduang dalam budaya Minangkabau? Tapi kemudian seorang teman lama malam itu menyampaikan, hal itu tidak tepat, Rajo tetap dipegang oleh laki-laki, sedangkan perempuan diberikan peran yang besar dalam setiap aktivitas budaya Kerinci. Jawaban ini otomatis mementahkan kembali informasi dari media online itu dan secara bersamaan kembali tidak memberi jawaban atas pertanyaan awal saya? Kalau lah Niti Mahligai sebagai bentuk inisiasi calon Rajo, mengapa justru tarian Niti Mahligai ditampilkan oleh sosok perempuan? Apakah ini berarti perubahan dalam tarian itu, yang sebenarnya menjawab pertanyaan besar dalam diskusi yang lenggang malam itu, karena ditinggalkan audient dan pelaku utamanya sendiri. Setelah pementasan berakhir, setelah anak-anak, keponakan, atau mungkin sanak saudaranya selesai menari, penonton pun meninggalkan gedung pertunjukan, tanpa mengikuti acara diskusi kebudayaan malam itu.
Peserta diskusi tersekat antara pandangan keutuhan, kemurnian kesenian tradisi dan kesenian dalam bingkai etika dan estétika seni pertunjukan kontemporer, satu berada pada pemikiran budaya satu lagi pada kaídah etika dan estétika seni pertunjukan moderent, pada market pasar, pada parawisata dan sebagiannya berusaha mencari cara dan jalan untuk gap pemikiran itu ? Walaupun rangkuman diskusi akan diserahkan pihak panitia pada pihak berkepentingan yang terlanjur meninggalkan acara dengan alasan tak jelas atau kelelahan sehabis menempuh perjalanan 15 jam ke Jambi- karena infrastruktur jalan yang buruk -, apalah arti diskusi tanpa kehadiran pihak berkepentingan, selain melepas-lepas pemikiran, melancar-lancarkan kekikukkan bicara didepan umum ¿
Dalam kesemerautan pemikiran itu apakah tarian Niti Mahligai yang diwakilkan dengan sosok penari perempuan, sebenarnya adalah sebuah missing link ditengah perdebatan pemikiran budaya versus pemikiran kaidah etika & estétika seni pertunjukan? Bukankah pada penampilan itu tidak ada lagi rajo yang dilantik, atau mungkin dalam akar budayanya sendiri tidak ada lagi Rajo yang dilantik? Dengan demikian sebenarnya Niti Mahligai secara perlahan bergerak lepas dari kotak seni ritual magisnya keranahnya yang baru, ranah kesenian pertunjukan dalam pengertian budaya pelakunya sendiri, dengan segala keluguan, heriok, kechaosan, kesemerawutan – dari sudut pemikiran etika & estétika seni pertunjukan- , masih menyisakan magis dan menanggalkan ritual -inisiasi rajo - dalam konsep budayanya semula, walaupun sangat mungkin pada tahapan tertentu masih terdapat ritual magis dan pantangan bagi pelaku Niti Mahligai sebelum pertunjukan.
Jika demikian, berarti Niti Mahligai yang sekarang telah memilih tempatnya, memilih jalan dan caranya sendiri untuk berubah memperbaharui identitasnya.. Meminjam bahasa seorang peserta diskusi, apa yang terjadi sekarang pada tampilan Niti Mahligai adalah sebuah proses, sebuah proses yang perlu dihargai, diapresiasi apa adanya. Ya, sebuah proses menemukan identitas dalam jaman yang berubah, dalam zaman dimana budaya terkooptasi kepentingan parawisata, dalam masyarakat haus pertunjukan, pertunjukan sebagai hiburan, tidak lagi hadir untuk menginisiasi seorang calon rajo, tapi justru menginisiasi penonton kedalam alam pikiran purba atau baru sama sekali.
Malam itu paling tidak bagi saya Niti Mahligai menyampaikan pesan lain tentang pencitraan perempuan dalam kancah budaya patriarki, dimana praktek dan pengambaran kegagahan, kekebalan, tidak saja menjadi monopoli kaum laki-laki saja seperti banyak ditunjukan dalam beragam kesenian sejenis berlabel don’t try this at home, seperti Debus di Banten, Dabui di Sumatera Barat, juga praktek yang sama pada perayaan cap go meh. Apakah ini berarti kehadiran Niti Mahligai dalam jaman yang berubah adalah satir terhadap wajah patriakhi ? atau malah justru sebaliknya? Tapi sudahlah pikiran ini sudah mulai tak terkendali, sudah terlalu jauh ngaco, sebaiknya ditutup saja.