Kamis, 16 Juni 2011

Niti Mahligai

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

Tadi malam (15/06) Taman Budaya Jambi menggelar Malam Apresiasi Kesenian: Bumi Sakti Alam Kerinci. Kegiatan ini dilakukan untuk mengapreasi salah satu tarian Kerinci - Niti Mahligai – yang akan ditampilkan dalam pentas nasional di Tenggarong Kalimantan Timur. Acara yang terbuka untuk umum tersebut dihadiri Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Provinsi Jambi, perwakilan Dinas Budaya, Pariwisata dan Olahraga Kabupaten Kerinci, Direktur Bank Indonesia Jambi, Dewan Kesenian Jambi, dua orang turis asing dan undangan lainnya.

Dari tiga penampilan pementasan tari, pementasan Niti Mahligai merupakan puncak acara, membuat penonton awam berteriak histeris ketika tarian yang dibawakan 4 orang perempuan berumur itu dibuka dengan teriakan keras dari seorang penari sambil menusukan 2 bilah pedang keperutnya sampai bengkok. Atraksi berbalut magis itu dilanjutkan dengan menginjak-injak pecahan beling tanpa luka, berjalan diatas telur tanpa pecah, diatas paku tanpa luka, diatas dua bilah pedang tajam tanpa luka, diatas bara api tanpa melepuh, diangkat diatas sehelai kertas tanpa sobek dan terjatuh, dan diakhiri dengan tusukan tombak, juga tanpa terluka.

Sebelum pementasan, panitia menyampaikan sedikit pengantar tentang Tari Niti Mahligai yang dalam akar budayanya merupakan tarian ritual untuk calon pemimpin / rajo di daerah Siulak Kerinci. Dalam bahasa antropolog, mungkin semacam Rites of Passage (Inisiasi), sebagaimana dilakukan pada beragam budaya suku bangsa. Tapi yang menjadi pertanyaan saya, justru pada pelaku tarian itu. Kalaulah Niti Mahligai, benar merupakan ritual inisiasi bagi calon pemimpin/ rajo, kenapa Niti Mahligai dibawakan oleh perempuan? Apakah dengan demikian Rajo dalam budaya orang Kerinci adalah perempuan? Lalu bagaimana dengan laki-laki? Semalam berdasarkan tulisan dalam sebuah media online pertanyaan ini terjawab. Disebutkan perempuan berposisi sebagai Rajo dan laki-laki menjalankan pemerintahan. Apakah ini seperti Bundo Kanduang dalam budaya Minangkabau? Tapi kemudian seorang teman lama malam itu menyampaikan, hal itu tidak tepat, Rajo tetap dipegang oleh laki-laki, sedangkan perempuan diberikan peran yang besar dalam setiap aktivitas budaya Kerinci. Jawaban ini otomatis mementahkan kembali informasi dari media online itu dan secara bersamaan kembali tidak memberi jawaban atas pertanyaan awal saya? Kalau lah Niti Mahligai sebagai bentuk inisiasi calon Rajo, mengapa justru tarian Niti Mahligai ditampilkan oleh sosok perempuan? Apakah ini berarti perubahan dalam tarian itu, yang sebenarnya menjawab pertanyaan besar dalam diskusi yang lenggang malam itu, karena ditinggalkan audient dan pelaku utamanya sendiri. Setelah pementasan berakhir, setelah anak-anak, keponakan, atau mungkin sanak saudaranya selesai menari, penonton pun meninggalkan gedung pertunjukan, tanpa mengikuti acara diskusi kebudayaan malam itu.

Peserta diskusi tersekat antara pandangan keutuhan, kemurnian kesenian tradisi dan kesenian dalam bingkai etika dan estétika seni pertunjukan kontemporer, satu berada pada pemikiran budaya satu lagi pada kaídah etika dan estétika seni pertunjukan moderent, pada market pasar, pada parawisata dan sebagiannya berusaha mencari cara dan jalan untuk gap pemikiran itu ? Walaupun rangkuman diskusi akan diserahkan pihak panitia pada pihak berkepentingan yang terlanjur meninggalkan acara dengan alasan tak jelas atau kelelahan sehabis menempuh perjalanan 15 jam ke Jambi- karena infrastruktur jalan yang buruk -, apalah arti diskusi tanpa kehadiran pihak berkepentingan, selain melepas-lepas pemikiran, melancar-lancarkan kekikukkan bicara didepan umum ¿

Dalam kesemerautan pemikiran itu apakah tarian Niti Mahligai yang diwakilkan dengan sosok penari perempuan, sebenarnya adalah sebuah missing link ditengah perdebatan pemikiran budaya versus pemikiran kaidah etika & estétika seni pertunjukan? Bukankah pada penampilan itu tidak ada lagi rajo yang dilantik, atau mungkin dalam akar budayanya sendiri tidak ada lagi Rajo yang dilantik? Dengan demikian sebenarnya Niti Mahligai secara perlahan bergerak lepas dari kotak seni ritual magisnya keranahnya yang baru, ranah kesenian pertunjukan dalam pengertian budaya pelakunya sendiri, dengan segala keluguan, heriok, kechaosan, kesemerawutan – dari sudut pemikiran etika & estétika seni pertunjukan- , masih menyisakan magis dan menanggalkan ritual -inisiasi rajo - dalam konsep budayanya semula, walaupun sangat mungkin pada tahapan tertentu masih terdapat ritual magis dan pantangan bagi pelaku Niti Mahligai sebelum pertunjukan.

Jika demikian, berarti Niti Mahligai yang sekarang telah memilih tempatnya, memilih jalan dan caranya sendiri untuk berubah memperbaharui identitasnya.. Meminjam bahasa seorang peserta diskusi, apa yang terjadi sekarang pada tampilan Niti Mahligai adalah sebuah proses, sebuah proses yang perlu dihargai, diapresiasi apa adanya. Ya, sebuah proses menemukan identitas dalam jaman yang berubah, dalam zaman dimana budaya terkooptasi kepentingan parawisata, dalam masyarakat haus pertunjukan, pertunjukan sebagai hiburan, tidak lagi hadir untuk menginisiasi seorang calon rajo, tapi justru menginisiasi penonton kedalam alam pikiran purba atau baru sama sekali.

Malam itu paling tidak bagi saya Niti Mahligai menyampaikan pesan lain tentang pencitraan perempuan dalam kancah budaya patriarki, dimana praktek dan pengambaran kegagahan, kekebalan, tidak saja menjadi monopoli kaum laki-laki saja seperti banyak ditunjukan dalam beragam kesenian sejenis berlabel don’t try this at home, seperti Debus di Banten, Dabui di Sumatera Barat, juga praktek yang sama pada perayaan cap go meh. Apakah ini berarti kehadiran Niti Mahligai dalam jaman yang berubah adalah satir terhadap wajah patriakhi ? atau malah justru sebaliknya? Tapi sudahlah pikiran ini sudah mulai tak terkendali, sudah terlalu jauh ngaco, sebaiknya ditutup saja.

Rabu, 15 Juni 2011

Tabek di kampung amak

Dikampung Amak ku, ketika jaringan pipanisasi PDAM belum sampai kerumah-rumah dan air sumur belum diterima untuk dikonsumsi karena dipercaya sebagai air dari tubuh orang mati, untuk keperluan MCK orang kampung pergi ke Tabek (kurang lebih berati kolam) di Baruah, Tambuo atau di Koto Bawah disepanjang aliran banda air yang mengalirkan airnya kesawah-sawah, ke tabek di tepi Surau, atau ke tabek disamping rumah penduduk.

Didalam rumah untuk kebutuhan harian, penduduk membuat bak-bak besar penampung air hujan, ini dimungkinkan dengan tingginya frekuensi hujan sebagai konsekuensi kampung dalam lingkup alam gunung Merapi, baru kemudian atap-atap rumah dari seng yang telah diatur pengelontorannya, menumpahkan air hujan itu kedalam bak besar penampungan. Ketika air menjadi sulit dan mendesak, tidak perduli dan sempat lagi memikirkan rematik mengancam setelahnya. Sedang untuk kebutuhan air minum, penduduk mengambilnya dari lubuak tak begitu jauh dari tabek.

Kembali ke tabek, seperti biasanya tabek berisi ikan-ikan mulai ikan mas, nila, sepat dan juga lele. Tabek sengaja dibuat dan difungsikan terpisah kadang juga padat fungsi sekaligus. Fungsi seperti itu dapat diterapkan dan terintegrasi dengan baik tanpa kecanggungan jender sama sekali karena tabek dibuat terpisah secara praktek dan gender apalagi kejijikan dari pandangan kesehatan modern. Pada moment lain, tampak anak-anak mencebur, berendam dan berenang puas didalamnya.

Sistem tabek serupa itu dapat berlaku karena didukung sumber air banda yang mengalir bersih tanpa hambatan dari hulu lalu masuk ke tabek. Air ditabek itupun akan mengalir kembali ke hilir, bisa jadi ke tabek lain, ke sawah, atau lepas begitu saja. Kontinuitasnya akan dipelihara dengan gotong royong anak-anak nagari membersihkan tali banda, memastikan air mengalir dengan lancar ke tempatnya. Dua hal yang pertama merupakan mekanisme alam yang kemudian secara fisik direkayasa pemanfaatannya dan kemudian berturut-turut dipelihara melalui mekanisme sosial gotong royong.

Pada penjelasan serupa ini air menempatkan dirinya sebagai suatu kebutuhan utama masyarakat, menguasai hajat hidup orang banyak sehingga pemanfaatan dan penggeloalaannya diatur dengan teknik pengairan sedemikian rupa. Referensi yang saya baca, terutama dalam buku Madilognya Tan Malaka disebutkan teknik pengairan Minangkabau melebihi teknik pengairan Jawa dan bagian Asia lainnya, apakah yang dimaksudnya adalah teknik pengairan tabek ini ? saya tak tahu pasti dan hanya bisa menduga. Atau justru kedalam bagian lain, dimana arus airnya dimanfaatkan sebagai pengerak kincir air, penganti mesin dynamo memisahkan gabah menjadi beras atau menumbuknya menjadi tepung, seperti yang dilakukan kakek moyangku yang bernama Inyiak Kincia. Atau pada kecerdikan mekanik lainnya, yang secara pantastis membendung air sungai yang tak dapat mengalir langsung ke sawah-sawah yang lebih tinggi dari sumber air, diarahkan ke kincir, lalu puntarannya memindahkan literan air sedikit demi sedikit ke parit-parit mengaliri pesawahan penduduk.

Tapi sekarang sepertinya warisan agraris itu tidak banyak lagi tersisa. Sepanjang jalan menuju Bukittingi, mulai dari jalan Kota Baru sampai persimpangan Jambu Air, kalau tak mau dibilang tak ada, tak banyak lagi tabek-tabek tersisa, tak banyak lagi rombongan ibu-ibu mencuci pakaian disepetak batu pinggiran tabek sepanjang jalan itu. Airnya mulai menghijau, ada juga yang kering atau sengaja dikeringkan berganti tonggak-tonggak beton rumah batu, sawah-sawah dipepet diganti deretan ruko.

Jangan tanya dengan apa yang terjadi dikampung Amak ku, kampung tempat Amak lahir dan tinggal berumah, air dihulu tak dapat lagi diandalkan, tali banda dipenuhi sampah-sampah plastik, kotoran dari arah pasar. Sepertinya mekanisme sosial gotong royong tali banda tak lagi mempan manakala daerah hulu tak terjaga, diobrak abrik ketidakpedulian dan ruahnya pendatang yang tak bisa dibatasi.

Kegiatan mandi dan mencuci di tabek yang semula merupakan arena sosial, pelan tapi pasti bakalan menjadi kisah nostalgia semata, berpindah menjadi aktivitas personal dirumah-rumah, dengan konsep kamar personal, bahkan dilengkapi kamar mandi didalamnya, dengan putaran dinamo mesin cuci dan sumber air dari jaringan PDAM dan air sumur yang telah diterima kehadirannya.

Dan ketika kita merasa tidak puas dengan apa yang terjadi dengan hari ini dan tak dapat membayangkan dengan jelas gambaran masa depan, atau malah membayangkannya lebih buruk dari hari ini, banyak dari kita menoleh kebelakang, pada kenangan, bernostalgia, beromantisme pada masa lalu berharap mendapat kenyamanan, pada saat inilah mimpi berlaku surut, mimpi dengan alam kehidupan yang dulu seperti aku memimpikan betapa indahnya dihari tua tinggal dialam pedesaan, sawah menghampar didepan mata, tabek dengan suara gemercik air tak henti terdengar dikesunyian pedesaan.

Sementara sebagian orang-orang dikampung mempunyai gambaran mimpi dunianya yang lain, lepas dari kotak alam pedesaan, memimpikan kota datang ke desa. Sebagian lain tak bisa menolaknya, kota telah dibenamkan dibenak kita tanpa kompromi sebagai keharusan, sebagai buah pembangunan, sebagai bukti kehadiran pemerintah.

Selasa, 07 Juni 2011

Logika kerindangan

Sebagian masyarakat entah itu masyarakat tradisi, pedesaan atau bahkan perkotaan masih saja membatasi dirinya dengan apa yang disebut Tan Malaka sebagai logika mistika, memandang apa yang terjadi didunia dipengaruhi kekuatan keramat di alam gaib, bersemayam di tempat keramat, mengadakan mantra, doa-doa dan sesajen sebagai pengakuan atas kekuatan tak kasat mata pengendali hidup, sekaligus wujud atas ketaatan iman.

Batasan logika serupa ini mengikat sebagian masyarakat, sementara lainnya mengikatkan dirinya pada batasan religi yang lain. Bagi seorang yang mengikatkan diri pada logika mistika bisa saja sebuah pohon adalah keramat, tempat roh nenek moyang bersemayam menjaga keseimbang hidup. Tapi bagi yang mengikatkan dirinya pada logika rasional, bisa saja sebuah pohon tidak saja berarti pengendali banjir, penghasil o2 tapi juga berarti malapetaka, bencana bagi hidupnya. Keduanya berdampingan dalam hidup.

Begitu juga bagi warga sebuah komplek perumahan. Kekakuan bangunan komplek perumahan dan panasnya suhu udara telah diredam dengan beragam pohon sepanjang jalan utama dan tepi rumah, mulai dari Palem, Bambu Kuning China, Mangga, dan beragam lainnya. Sebut saja pohon mangga yang dulunya kecil bersama putaran waktu telah menjadi besar. Berubah bencana, manakala kerindangannya tak lagi terkendali, memakan ruang yang sempit itu, menimbulkan kekwatiran, menyeruak diantara centang perenang kabel listrik, telpon dan tv kabel, mengancam tanah yang disekat blok-blok, berbaris lurus kotak-kotak rumah mungil beraturan kaku demi estetika, keefesienan dan keteraturan.

Kekwatiran atas kerindangan tak terkendali itulah yang membuat Bapak Palembang disudut blok yang rumahnya telah dijuntai’i rindangan pohon mangga dan memberikan jalan bagi semut kararango merayapi kabel listrik menuju rumahnya. Karena tak tahan, kemudian dia berusaha memanjat dan memotongnya sendiri setelah bapak pemillik pohon mangga acuh tak acuh tak bersedia mengurangi kerindangannya yang mengancam.

Niatan itu justru berbuah bencana, tidak saja dahan pohon yang jatuh, dirinyapun jatuh dari atas pohon mangga berumur 16 tahun seumuran perumahan ini. Cabang pohon yang hendak dipotong justru patah dari induk batangnya, tak sanggup menahan berat badan si bapak. Kepalanya menghantam jalan aspal tepat dibawahnya, pingsan selama 7 hari, bonus amnesia dalam kurun satu tahun sebelum benar-benar pulih kembali. Sementara itu pohon mangga masih berdiri dengan kerindangannya. Mungkin pada saat itu penganut logika mistika akan menjelaskan kejadian itu dengan cara berbeda.

Kisahnya pun tak berhenti sampai disitu, Daeng yang kemudian mengontrak rumah dengan pohon mangga itupun harus mengalami petakanya sendiri. Setelah hampir setiap hari disibukkan dengan membersihkan guguran daun dijalan dan selokan, giliran mangga berbuah, keponakan Daeng yang baru saja datang memetik 15 buah mangga sisa panenan pemilik rumah. Peristiwa ini diketahui putra pemilik rumah yang tinggal bersebelahan, mengira Daeng telah memanen semua buah mangga, dengan bukti adanya bungkusan karung tersandar dibawah pohon mangga. Padahal karung itu sendiri berisi batok kelapa sisa Daeng berjualan.

Terang saja kejadian ini membuat hubungan diantara keduanya berantakan. Ikatan kontrak diantara kedua berakhir secara sepihak, pemilik rumah tidak bersedia melanjutkan kontrak pada tahun berikutnya. Padahal warung harian Daeng sedang laris-larisnya, serupa pasar kecil, tidak saja menjadi tumpuan bahan dapur ibu-ibu komplek, tapi juga arena sosial untuk sedekar berkicau, bergosip atau berbagi cerita diantara sesama ibu-ibu.

Kepindahan Daeng menimbulkan kicauan beragam tentang ketergantungan ibu-ibu yang diputus dengan sepihak, tentang blok yang akan berubah sepi, tentang percakapan pagi yang hilang, terutama tentang pemilik rumah dan pohon mangga yang telah memakan korban untuk kedua kalinya. Membiarkan rumah itu tidak berpenghuni tidak berlampu, membiarkan dahannya merayap keatap rumah dan mungkin menjadi rumah yang nyaman bagi segala demit. Dan sekarang dia hanya meninggalkan kerindangannya, sebuah kerindangan yang bertolak belakang dari perumpamaan bahasa adat tentang personifikasi ketokohan dan guguran daun memenuhi jalan, berantakan tak tersapu kecuali atas kemurahan hati si Bapak Palembang yang menceritakan kembali pengalamannya dengan pohon mangga itu sambil menunjuk kearah bekas patahan cabang dahan mangga 4 tahun lalu.

Libur panjang kemarin, aku seperti kembali di ingatkan dengan kisah pohon mangga ini. Nenek Sanah - Tukang urut yang orang Sunda - , disela-sela pijatannya bercerita kembali tentang pohon mangga itu. Katanya tak ada jalan keluar selain membuat pohon mangga itu mati dengan cara tak langsung, dengan cara menanamkan terasi ditusuk paku ditanah sekitar batang pohon. Pohon akan mati kering sendirinya, digerogoti kebencian dan sumpah serapah. Dan itu sudah pernah di buktikannya secara tidak langsung dari pengalaman belasan tahun lalu. Tapi dalam hati, aku katakan tidak, aku tidak ingin jadi pembunuh dengan cara apapun atau atas alasan apapun. karena Itu akan berarti kesamaan tingkatan laku, sebelas dua belas. Biarlah aku menyelesaikannya dengan logika ku sendiri yang entah apa !

Jambi antara Pempek, Kopi pahit AAA dan Teh Kajoe Aro


<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

Ketika garis batas bangsa dan budaya semakin penting atau malah justru semakin tidak berbatas, salah titik masuk untuk mengenali karakter suatu bangsa dan budayanya adalah melalui kulinernya. Kuliner dapat dipandang merefresentasikan bangsa dan atau budaya bangsa. Lihat saja bagaimana wisatawan berburu buah tangan saat berada didaerah kunjungan. Sama seperti setiap kali tamu kantor datang dari Jakarta ataupun keluarga bersilaturahmi ke Jambi, mereka selalu saja minta dibelikan atau membeli Pempek sebagai buah tangan mewakili pengalaman kunjungannya.Sebuah ranah fantasi berbayang yang kemudian menjadi nyata dengan membeli buah tangan khas daerah sebagai perwujudan pengalaman pernah benar - benar berada disana.

Sebuah pilihan kuliner yang menurut saya pribadi (pada awalnya) merupakan sesuatu yang tidak tepat dan absurd, selain karena Pempek terlanjur lekat dengan masyarakat Palembang, Jambi sendiri sebenarnya memiliki kuliner khasnya seperti Kue Pia Special Aroma Sari dalam berbagai rasa, Lempok Durian (sejenis dodol), Dodol Pisang, Nenas Selai Goreng, Rambutan Goreng yang semuanya dibungkus unik dengan bahan tikar pandan warna-warni, dodol kentang Kerinci, atau kalaupun mau sedikit yang lebih diproduksi masif sebut saja kopi pahit AAA dan teh Kajoe Aro.

Tapi sepertinya pempek yang sebenarnya tidak Jambi itu memang benar-benar telah terlanjur menutup pesona kuliner khas Jambi lainnya. Untuk kedua yang terakhirnya (kopi AAA & teh kajoe aro) sepertinya secara perlahan mulai dijadikan alternatif pilihan untuk mewakili pengalaman pernah benar-benar berada di Jambi.

Sebenarnya sedikit tidak nyaman juga, jika menyama-nyamakan kejadian ini dengan apa yang terjadi dengan eksistensi masyarakat dan budaya Melayu Jambi yang berada di daerah tua Sekoja (Seberang Kota Jambi). Dipisahkan sekaligus dihubungkan Sungai Batanghari, mereka pada satu sisi bertahan dengan kebersahajaannya dan sekaligus pada sisi lain semakin ditinggalkan mainstream besar pembangunan kota. Dan sekarang mulai dibujuk dan berusaha disambungkan kembali melalui pembangunan Jembatan Batanghari 2 atau yang segera akan dilaksanakan dengan pembangunan jembatan gantung khusus pejalan kaki yang akan menghubungkan pusat Kota Jambi dengan daerah Sekoja.

Keabsuran lain tentang identitas Jambi lainnya dapat dilihat dalam berbagai bentuk lain. Lihat saja bagaimana dengan semena-mena model puncak emas Tugu Monas Jakarta bisa dipakai dalam salah satu tugu di bundaran kota yang dipadukan dengan Angso Duo yang merupakan identitas tradisonal Jambi sesungguhnya. Belum lagi bagaimana masyarakat membahasakan pergi ke tepi dermaga Tango Rajo, atau ke tepi turap Batanghari atau turap sungai Tembesi di Sarolangun dengan sebutan Ancol, sesuatu yang lagi-lagi lekat dengan Jakarta. Belum lagi setiap kali memakai baju Melayu Teluk Belanggo lengkap dengan kain songket/sarung/ kain batik Jambi dipinggang ke Kantor selalu saja ada yang berceloteh “ hendak main kompangan ya”. Baju Teluk Belanggo selalu saja di identikan dengan para pemain Kompangan, sebuah kesenian tradisi Melayu yang banyak ditampilkan pada saat pesta pernikahan.

Apalagi untuk mengidentikan Jambi dengan Tempoyak. Ingat betul ketika pertama kali bekerja di Jambi di daerah Kumpeh. Pada suatu makan siang diminta mencicip Tempoyak Ikan Patin (berasa durian) yang juga lekat dengan budaya Palembang. Katanya belum ke Jambi kalau belum pernah makan Tempoyak. Dari awal saya berusaha menolaknya. Walaupun menyukai durian, tapi perubahan bau durian setelah menjadi tempoyak membuat baunya kontan memancing perut mual. Tapi demi menghormati tokoh Desa itu akhirnya saya mencobanya, tak butuh menunggu lama, akhirnya sayapun memuntahkannya karena lidah dan perut tak dapat menyesuaikannya, tak bisa diajak bekerja sama. Semua orang Desa yang hadir pada saat itu tertawa melihat saya memuntahkan tempoyak itu.

Lalu bagaimana sebaiknya melihat dan memposisikan keabsuran identitas ini secara lebih seimbang? Jawabannya ya seperti itulah Jambi, bukankah pinjam meminjam unsur budaya ataupun kesamaan bentuk budaya merupakan suatu yang wajar dan banyak ditemui diberagam budaya sebagai akibat kontak budaya itu sendiri, terbuka dan terhubung dengan beragam budaya dan etnisitas sejak dulunya. Dalam lingkup yang lebih luas sebagai contohnya bukankah juga mie ayam dan bubur ayam yang terlanjur di klaim sebagai kuliner khas bangsa ini, berakar pada budaya Tionghoa ? Adakah Tionghoa mengugat klaim itu ?

Keabsuran ini memperlihatkan wajah Jambi yang plural. Melayu Jambi secara etnisitas tidak lagi tampil dominan dalam setiap aspek kehidupan budaya masyarakat Jambi, begitu juga dalam etalase kulinernya. Melainkan berbagi peran dengan etnisitas lainnya, sebut saja Kerinci, Jawa Transmigran, Arab yang bermetamorfosis menjadi Arab Melayu, India, Tionghoa,orang Bathin, orang Penghulu pendatang dari Minangkabau, Bugis dan Suku Laut di daerah pesisir Jambi serta Suku Anak Dalam dan Orang Rimba di pedalaman hutan Jambi.

Sedangkan untuk Palembang yang terlanjur dikonstruksi sebagai daerah asal Pempek, secara kesejarahan jejak pengaruhnya dapat dilihat dari Prasasti Karang Birahi di daerah Bangko, atau pada pertengahan abad 19 pada saat masuknya Belanda ke Jambi atau bahkan ada yang juga menduga bahwa keberadaan Candi Muara Jambi sangatlah terkait dengan Kesultanan Palembang / Sriwijaya. Dan jangan-jangan pempek juga berakar dari budaya Tionghoa di Palembang?

Pluralisme Jambi itu sepertinya semakin tampak jika kita juga dapat merefresentasikan Jambi tidak saja dengan dengan pempek, tapi juga dengan Kopi Pahit AAA yang Tionghoa dan Teh Kajoe Aro Kerinci yang dipetik oleh keturunan Jawa yang sengaja didatangkan oleh pihak perusahaan Belanda yang bernama Namblodse Venotschaaf Handle Vereniging Amsterdam (NV HVA) sejak tahun 1925 s/d 1928 ke Kerinci.

Dan bolehlah Jambi berbangga dengan itu, karena secara khusus Kerinci melalui tehnya telah menempatkan namanya sejak dulu di jantung Eropa dan di hati Kerajaan Belanda dan Inggris. Walaupun lagi-lagi kita harus menerima kenyataan ditingkat lokal nama teh Kajoe Aro kalah famous dari teh Sari Wangi yang sebagian biang tehnya bersumber dari perkebunan teh Kajoe Aro Kerinci. Lagi-lagi ini absurd kembali, bukan ?

Kritik sosial kesenian tradisi

Setelah jengkel dengan kelakuan pengamen jalanan di terminal Bukittinggi yang memaksa penumpang bus untuk memberikan uang saweran atas nama bahasa pergaulan,menjelang magrib di daerah Pulau Punjung tempat perhentian makan, giliran seorang seniman tradisi yang muncul. Bersama dua orang anak perempuan yang sepertinya anak-anaknya dan tampaknya masih usia sekolah,mereka tampil memainkan musik rabab di emperan rumah makan. Berbeda dengan respon terhadap pengamen di Bukittinggi tdi, kali ini saya lihat penumpang bus menunjukan reaksi berbeda.

Sepertinya,selain karena sekarang mulai sulit menemukan orang memainkan musik tradisi didepan publik selain pada acara pesta dipedesaan, nyanyian rabab yang dilantunkan oleh anak-anak membuat penampilan ngamen yang satu ini mendapatkan perhatian lebih. Apalagi jika mengingat betapa sulitnya sekarang menemukan anak-anak yang senang dan mau mempelajari musik tradisi.

Dua kutub magnet itulah yang membuat penumpang bus dengan spontan memberikan uang saweran silih berganti dilantai tempat seniman tradisi sekeluarga ini mengamen. Pertunjukan rabab jalanan itu bagi sebagian penumpang bus yang menonton, terutama yang cukup berumur ibarat melepas rasa rindu pada sebuah karya budaya anak negeri yang sulit dijumpai keberadaannya. Bagi yang lain seperti diriku yang tak begitu mengenal banyak segala hal ihwal rabab merupakan ketakjuban atas sebuah moment budaya yang merefleksikan bagaimana posisi musik tradisi saat ini ditengah masyarakat yang berubah, dikalahkan jaman, diputus mata rantai budaya yang tidak lagi memihak kepadanya dan terpaksa tampil dijalanan di’”amen” kan kepada publik yang beragam diperhentian bus.

Diatas bus kemudian beberapa penumpang berdebat mempersoalkan kenapa anak-anak usia sekolah harus berada dijalanan membantu mencari nafkah bersama orang tuanya. Sebuah kondisi pemikiran yang pragmatis memang, tapi paling tidak saya melihat bagaimana kedua anak perempuan usia sekolah itu menembangkan rabab dengan senang walaupun tak dapat menutup wajah malu anak-anaknya. Saya sendiri berharap si anak tidak lah sosok anak putus sekolah melainkan sosok anak yang masih sekolah dan berprestasi yang serius menggeluti musik tradisi sebagai warisan budaya keluarga. Sesuatu yang akan mengasah kepintaran dan kepekaan sosialnya sehingga dapat melahirkan tembang rabab sesuai perkembangan dijamannya kelak.

Hanya dalam tempo singkat, 3 tembang rabab mereka bawakan. Secara bergantian si Bapak dan kedua anak tersebut mengalunkan naynyian dalam bahasa Minangkabau, sayup – sayub tanpa pengeras audio, diiringi gesekan suara rabab dari si bapak dan bunyi suara kecrekan dari anak gadisnya. Ditengah keterbatasan penampilan kesenian tradisi itu saya masih bisa menangkap bagaimana tembang rabab yang mereka lantunkan menceritakan tentang masyarakat yang tergerus arus matrealisme. Berkisah tentang seorang suami yang sudah pontang panting mencari nafkah, bahkan sampai kada (penyakit kulit) menyerang seluruh tubuh, si istri tetap saja menceraikannya dengan alasan ekonomi. Atau pada nyanyian berikut bagaimana perabab menertawakan kelakuan supir bus yang condong menempatkan penumpang perempuan cantik untuk duduk di bangku CC disamping pak supir.

Saya teringat dengan kata kritik sosial lewat bahasa musik. Kisah-kisah dalam tembang rabab dalam pandangan saya berada dalam fungsi itu, sebagai kritik sosial terhadap kehidupan keseharian yang disampaikan tidak secara frontal, vulgar seperti kritik sosial dalam lagu-lagu jaman sekarang semacam dalam musik underground. Kritik sosial dalam rabab sepertinya mewakili cara bertutur orang timur secara umum atau etnis Minangkabau secara khusus, disampaikan dengan cara bercerita dengan balutan bahasa keseharian, lucu tapi tidak lepas dari lecutan yang mencubit rasa kemanusiaan sehingga tidak luput dari muatan kritik sosialnya.

Sekarang ketika dunia benar-benar berubah, ketika panggung musik tradisi sepi dimana-mana, bayangkan apa jadinya dunia tanpa sebuah kritik sosial ? sedangkan sudah dengan kritik sosial dengan wujud yang lain, budaya kita tetap saja seperti sekarang. Lihat saja bagaimana orang-orang beramai-ramai menutup mata,telinga, hati dan nurani hingga bebal tak berkesudahan.