Kamis, 07 Agustus 2008

Sekilas Pengadaan Barang dan Jasa di Perkebunan Kelapa Sawit

Pembangunan perkebunan kelapa sawit skala besar secara ekonomi merupakan sebuah peristiwa penumpukan kapital dalam jumlah besar, dimana pihak kedua atau rekanan (kontraktor) berpeluang melakukan kerjasama pengadaan barang dan jasa yang dibutuhkan selama kegiatan pembangunan kebun dilakukan yang berdampak secara sosial dan ekonomi bagi pihak terkait lainnya.

Kerjasama terutama dilakukan pada saat awal pembukaan dan pembangunan kebun. Dimulai dari pembukaan lahan atau hutan dari kayu – kayu, atau yang sering disebut sebagai land clearing hingga penanaman, maupun pembangunan jembatan dan akses jalan, pembangunan barak – barak karyawan, juga pengeboran sumber air, penyediaan pupuk, mobil angkut tandan buah sawit dll. Semuanya membutuhkan peran dan ruang gerak dari pihak kedua dimana proses pengerjaannya dilakukan secara mekanik dan manual.

Menurut keterangan beberapa orang dalam lingkungan kebun, kegiatan pengadaan barang dan jasa di perkebunan kelapa sawit sama seperti di pemerintahan, sarat dengan nuansa klik kekerabatan, pertemanan dan sebagainya yang terhubung dengan orang – orang di lingkungan internal perusahaan, terutama untuk pengadaan barang dan jasa yang secara nominal berjumlah cukup besar, biasanya lebih kepada pengerjaan kegiatan yang dilakukan secara mekanik (alat berat) dengan modal yang kuat.

Sedangkan pengerjaan pekerjaan pengadaan barang dan jasa yang dilakukan secara manual lebih banyak dikerjakan oleh masyarakat lokal, itupun terbatas kepada masyarakat dalam lapisan tertentu yang secara ekonomi memiliki cukup modal, dengan mengunakan koneksitas lembaga koperasi ataupun perseorangan.

Masyarakat melihat bahwa pengadaan barang dan jasa diperkebunan kelapa sawit sebagai bagian besar dari proses kemitraan yang dikerjasamakan antara Perusahaan dengan Koperasi Desa. Dengan demikian setiap kegiatan pengadaan barang dan jasa yang berkaitan dengan kebun koperasi terlebih dahulu harus melibatkan pihak koperasi desa. Ini diperlukan sebagai upaya pemberdayaan, akumulasi modal dan pengembangan serta peningkatan peran lembaga koperasi dalam pembangunan kebun.

Pihak perusahaan dalam skala tertentu/terbatas telah mengupayakan hal ini, namun beberapa pengalaman yang ada menunjukan bahwa hasil pengerjaan sesuai kontrak kerja tidak berjalan sebagaimana mestinya, tidak sesuai standar yang ada, atau kalaupun dikerjakan nilai kontraknya dinilai masyarakat/kelompok masyarakat tidak layak secara ekonomi dan secara teknis sumber daya untuk mengerjakan pekerjaan tertentu kondisinya sangat terbatas dimiliki oleh lembaga koperasi/masyarakat.

Selain terbatasnya informasi kegiatan pengadaan barang dan jasa di areal kebun koperasi yang didistribusikan kepada koperasi mitra, kendala lainnya terletak pada proses pembayaran pengerjaan pengadaan barang dan jasa yang dibayar di belakang sesuai penilaian hasil pengerjaan berdasarkan standar – standar kerja yang ditetapkan oleh tim teknis yang didatangkan dari kantor regional perusahaan. Dimana proses pembayarannya cukup berjarak dari masa pekerjaan telah selesai dilaksanakan oleh pihak kedua.

Dan ini berarti adanya masa tunggu pembayaran pengerjaan pengadaan barang dan jasa dari pihak perusahaan kepada pihak kedua. Sementara bagi pihak kedua, pekerja yang ikut bekerja dalam proses pengerjaan tidak bisa menunggu, bahkan ada yang telah lebih dulu meminta upah di depan. Dengan arti lain, pengadaan barang dan jasa diperkebunan bagi pihak kedua, terutama dari masyarakat setempat dengan modal yang pas – pas membutuhkan dana cadangan yang besar. Dengan system yang ada sekarang pemilik modal kuatlah yang akan terus bergulir, sangat dibutuhkan klik dan modal /uang yang besar untuk dapat bertahan dalam proses pengadaan barang dan jasa diperkebunan.

Episode Baru Orang Rimba


Kunjungan kerja untuk yang pertama kalinya ke Desa Dusun Dalam dalam rangka orientasi dengan tokoh desa, dikejutkan dengan munculnya seorang perempuan diantara tumpukan sampah dihalaman rumah pak Khalek, salah satu penduduk. Dengan tampilan rambut panjang acak – acakan, pakaian lusuh, dan berkain sarung panjang jenis batik. Setelah diperhatikan ternyata tangan sebelah kanannya memegang Parang. Dari gerak geriknya, tampak perempuan ini sedang mencari sesuatu diantara tempat sampah. Tapi secara mendadak salah seorang penduduk yang berdiri tepat disampingku, melontarkan sebuah kalimat agar perempuan tadi cepat keluar dari halaman rumah dan tidak mengambil barang apapun dari situ. Tanpa menjawab dan sedikit menoleh kearah kami, akhirnya perempuan itu bergegas pergi dengan membawa bungkusan karung.

Sesaat kemudian semua orang terdiam. Untuk memecah keheningan suasana, aku mengajukan pertanyaan kepada pak Khalek tentang siapa perempuan tadi? Dan apa yang dia lakukan sebenarnya ? Karena sebelumnya sempat terlintas dikepala ku perempuan tadi adalah orang (maaf) gila. Ternyata dari keterangan Pak Khalek diketahui bahwa perempuan tadi adalah orang yang berasal dari kelompok yang disebut penduduk desa sebagai - Orang Kubu atau Sana

Kenyataan ini membuatku makin terkejut. Pengetahuan ku tentang penamaan Kubu biasanya cenderung berkonotasi negatif (kotor, bau dan bodoh), dan bukankah seharusnya mereka berada jauh didalam hutan rimba sana, di lingkungan budayanya disekitar Taman Nasional Bukit Dua Belas. Dan kalaupun keluar dari habitatnya, pola hidup yang mereka pilih tidak begitu jauh berbeda dari pola hidup/kerja yang mereka geluti selama ini, mulai dari berladang ataupun berburu binatang hutan.

Pak Khalek dan warga yang lainya mengatakan bahwa banyak orang Kubu (orang Rimba) seperti perempuan tadi yang berkeliaran di sekitar desa mencari barang bekas ataupun besi tua untuk dijual kembali ke penampung di Sarolangun. Tapi terkadang mereka (dituduh) mencuri barang ataupun hasil ladang karet (getah) penduduk desa. Salah seorang penduduk,Iwan, mengatakan pernah menemukan anak – anak orang rimba memanjat pohon pinang miliknya.

Itu adalah awal pertemuanku dan pembentukan pengetahuan baru ku tentang orang rimba yang sudah tidak di rimba. Sekembalinya dari desa, di ruas jalan lintas sumatera menuju pusat kota Sarolangun, aku berpapasan dengan sebuah rombongan kecil. Dari atribut yang dikenakannya ku pastikan mereka orang rimba. Pernah disuatu siang di antara deretan pertokoan, serombongan kecil orang rimba yang terdiri dari ibu dan anak-anaknya, terlihat sedang meminta – minta ke pada pemilik toko ataupun pembeli yang lalu lalang, termasuk aku. Bahkan aku juga pernah menyaksikan rombongan orang rimba yang di usir seorang bapak pemilik gudang barang bekas. Saat itu mereka sedang mengorek - gorek tanah dengan parangnya dan secara kebetulan lokasinya berhadapan langsung dengan gudang barang bekas. Mungkin si bapak merasa khawatir orang rimba itu akan mencuri tumpukan barang bekas miliknya. Atau mungkin ada alasan lain.

Aku pikir ini adalah realitas baru, sebuah episode baru dari perkembangan budaya orang rimba.Dan bisa saja pentahapan perkembangannya menjadi seperti pengkategorian yang diberlakukan terhadap suku Baduy, yang membentuk dua kategori sosial yakni Baduy Dalam dan Baduy Luar. Hal ini perlu di angkat kepermukaan dan di cari jawaban tentang apa yang terjadi sebenarnya? Dan secara ke ilmuan apakah ini berarti bahwa harus ada pendefenisian ulang tentang identitas orang rimba, menyangkut pengakuan sosial dari in group dan out group apakah mereka tetap dapat disebut dan menyebut dirinya sebagai orang rimba?

Aku sendiri berasumsi bahwa realitas ini merupakan cermin ketidakmampuan struktur ataupun sistem yang di miliki serombongan orang rimba ataupun orang rimba secara keseluruhan menghadapi tekanan ekologis baik itu dari dalam struktur komunitas nya sendiri maupun tekanan pihak luar dari aktivitas – aktivitas ekonomi dan lingkungan yang bersentuhan langsung ataupun tidak langsung dengan orang rimba. Sehingga pada gilirannya ada yang memutuskan memilih jalan dengan cara keluar dari rimba. Realitas ini juga menggambarkan sepertinya orang rimba terbagi dalam beberapa perkembangan ataupun tipologi. Untuk kebutuhan keilmuan dan praktis, sepertinya perlu segera dilakukan pemetaan sosial terhadap realitas ini. Bisa saja satuan sosialnya adalah “ rombongan – rombongan orang rimba”

Tapi apa yang telah dipilih rombongan orang rimba dengan hidup keluar dari rimba, dalam pandangan ku tetap menempatkan posisi mereka dalam rimba yang lain. Rimba belantara yang belum sepenuhnya mereka kenal dan belum mau mengenal mereka. Rimba dimana orang – orangnya tetap memanggil mereka sebagai Kubu atau yang lebih sedikit bersahabat sebagai Sana’.

Kebakaran Lahan di Perkebunan Kelapa Sawit


Dalam buklet panduan penyusunan peraturan desa secara partisipatif tentang pengendalian kebakaran hutan yang diterbitkkan oleh SSFFMP 2006,disebutkan bahwa Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan berbagai wilayah di Sumatera seperti Riau dan Sumatera Selatan acapkali dilanda oleh bencana kebakaran hutan dan lahan. Akibatnya terjadi deforestrasi yang masif, lahan budidaya musnah dan keragaman biodiversity pun hancur.

Masalah asap hasil kebakaran hutan dan lahan telah menjadikan persoalan ini menjadi urusan politik dan lingkungan hidup international, dimana negara – negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura begitu marah dan prihatin dan menuduh pemerintah Indonesia tidak mampu mengurus masalah yang satu ini. Hal ini pun terjadi di negeri rumput salah satu kecamatan di propinsi Jambi. Sehingga sekitar tahun 2007 pemerintah propinsi Jambi melakukan MoU dengan pemerintah Singapura tentang komitment pemerintah daerah terhadap penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.

Tercatat pada tahun 2004 terjadi kebakaran hutan dan lahan diwilayah negeri rumput tepatnya berada di daerah taman nasional hutan raya gambut seluas 30 hektar habis terbakar api. Kejadian berlangsung ketika musim panas panjang terjadi dinegeri rumput. Lokasi kejadian berhasil dipantau oleh satelit NOAA yang berada di sekitar perkebunan kelapa sawit, perusahaan hak penguasaan hutan dan hutan tanaman industri, lahan pertanian transmigrasi, areal pengunaan lain (APL) ataupun lahan perkebunan karet tradisional milik warga [1].

Berdasarkan pengalaman lapangan yang ada selama ini, penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan terutama di negeri rumput yang di dominasi oleh daerah hutan gambut disebabkan oleh dua faktor utama. Faktor pertama : alam dan kedua ; manusia & industri. Untuk yang pertama, kondisi lahan yang didominasi oleh gambut, secara bawaan sangat berpotensi terjadi kebakaran terutama pada musim kemarau. Kondisi ini sulit untuk dilakukan intervensi, selain upaya kontrol dan kesiapan tenaga dan peralatan dari tim pemadam kebakaran yang sudah terlatih. Selain itu upaya yang dapat dilakukan dalam bentuk pencegahan adalah tidak melakukan budidaya tanam/atau merubah kawasan hutan gambut menjadi daerah perkebunan berskala besar maupun perkebunan rakyat.

Kedua : sering kali faktor alam tersebut terhubung dengan prilaku masyarakat disekitar lokasi kebakaran terutama diwilayah operasional perkebunan kelapa sawit. Dan pihak perusahaan tidak bisa melepaskan diri dari stigma bahwa kebakaran hutan dan lahan disebabkan oleh cara – cara tidak ramah lingkungan /pembakaran lahan yang dilakukan perusahaan dalam pembukaan lahan. Padahal sudah lama perusahaan perkebunan meninggalkan cara –cara tradisional yang merusak lingkungan seperti ini. Dalam pembukaan lahan /land clearing pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit telah melakukan teknik rumpukan , dengan menumpuk kayu –kayu dari hasil pembukaan lahan yang telah dipotong menjadi beberapa bagian, disusun rapi memanjang seperti benteng, dan membiarkannya mengalami pelapukan alami.

Berdasarkan keterangan para pekerjaan perusahaan yang terlibat langsung dalam proses land clearing disebutkannya bahwa benar perusahaan tidak melakukan pembakaran lahan dalam pembukaan lahan serta tidak melakukan illegal loging dari hasil pembukaan lahan sebagaimana yang diberitakan salah satu TV swasta nasional baru – baru ini terhadap salah satu perkebunan kelapa sawit yang beroperasional di negeri rumput. Menurut keterangan para pekerja, yang terjadi sebenarnya, secara perlahan kayu – kayu rumpukan yang sudah dianggap sebagai limbah ini di sisihkan dan dimanfaatkan oleh penduduk setempat. Dijualnya kembali kepada pihak yang membutuhkan, dan sebagiannya dimanfaatkan oleh para pekerja untuk kebutuhan bahan bangunan rumah mereka dikampung. Dan sering kali aktivitas pemotongan kayu yang dilakukan dengan sainsaw oleh masyarakat terhadap kayu rumpukan menjadi salah satu prilaku penyebab kebakaran di lokasi perkebunan.

Prilaku lainnya adanya aktivitas mencari ikan didalam lokasi perkebunan yang dilakukan oleh masyarakat disekitar kebun. Proses pencarian ikan dilakukan diparit – parit yang memisahkan blok-blok kebun kelapa sawit, yang dulunya menurut keterangan penduduk setempat merupakan lokasi tempat mencari ikan secara turun temurun. Pencarian ikan dilakukan dengan mengunakan pancing ataupun alat lain seperti setruman yang dinilai banyak kalangan merusak lingkungan alami ikan – ikan dan membunuh bayi – bayi ikan diparit. Semua aktivitas ini sangat memungkinkan menjadi pemicu kebakaran hutan dan lahan terutama yang ditimbulkan dari puntung rokok maupun sisa rokok yang dibuang begitu saja ke lahan. Dan juga bisa juga berasal dari puntung rokok pekerja kebun yang tidak menyadari bahaya membuang puntung rokok sembarangan.

Dan berdasarkan cerita beberapa teman dilapangan juga keterangan salah seorang pihak kepolisian, kebakaran lahan diperkebunan merupakan persoalan yang dipicu oleh persoalan internal yang terjadi didalam perusahaan. Sumbernya berasal dari ketidak puasan beberapa karyawan terhadap suasana kerja & juga penghasilan mereka. Dan beberapa diantaranya dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan hitungan kerja (lembur/upah) yang ditimbulkan dari kerja-kerja pada saat melakukan pemadaman kebakaran lahan secara mandiri oleh pihak perusahaan yang juga melibatkan hampir semua karyawan harian dalam wilayah afdeling yang menjadi lokasi kebakaran.

Secara tertulis pihak perusahaan telah mempunyai SOP pemadam kebakaran yang standar, menara pantau api, namun terkadang dilapangan sulit untuk dilaksanakan terutama menyangkut kelengkapan alat – alat pemadam kebakaran dan tenaga pemadaman mandiri yang terlatih untuk itu. walaupun perusahaan komitm terhadap upaya pencegahan kebakaran lahan, terutama untuk alasan asset perusahaan. Bagi perusahaan kebakaran lahan selain menyangkut persoalan hukum, secara ekonomi juga merugikan, dimana tanaman mati, sisip ulang, cost pekerja pemadam kebakaran, biaya tak terduga dari kedatangan aparat penegak hukum, tim pemadam manggala agni serta pembentukan image terhadap perusahaan. Sekarang perusahaan tidak bisa lagi menutup – menutupi lokasi kebakaran diwilayahnya, karena lokasi kebakaran terpantau di satelit NOAA, dan pihak dinas kehutanan melalui Manggala Agni dapat mengeluarkan titik koordinat lokasi kebakaran lengkap dengan peta sekaligus tata pemanfaatan ruang.

Kendala yang kadang kala muncul pada saat melakukan pemadaman kebakaran lahan secara mandiri adalah jauhnya lokasi kebakaran dari jalan akses utama, dan ini menyulitkan alat pemadaman dan tim untuk sampai ke lokasi, belum lagi kendala water management (air di parit) yang dibutuhkan untuk melakukan pemadaman terutama pada saat musim kemarau datang. Dan terkadang tantangannya pun datang dari alam itu sendiri, dengan adanya angin besar yang tidak menentu, sehingga sulit melakukan zonasi /membatas wilayah sebaran api.

Dengan kondisi yang demikian, kebakaran hutan terutama lahan dalam areal kebun kelapa sawit sangat merugikan pihak perusahaan dan juga masyarakat sebagai mitra perusahaan. Sudah saatnya pihak perusahaan selain melakukan sosialisasi kebakaran hutan dan lahan kepada masyarakat yang di bantu juga oleh pihak terkait, menjajaki pembuatan peraturan desa tentang pengendalian kebakaran hutan dan lahan terutama menyangkut kebakaran lahan diperkebunan kemitraan dengan mendorong partisipasi masyarakat desa sebagai mitra perusahaan, karena pada dasarnya kebun perusahaan berada dalam wilayah desa – desa yang ada disekitar perkebunan. Kebun yang dibangun pun merupakan aset masyarakat desa. Peraturan desa kiranya mencakup kategori tata pemanfaatan ruang lain selain wilayah desa yang di jadikan sebgai lokasi perkebunan kemitraan.



[1] Data diambil dari www.suara pembaruan .com

Selasa, 05 Agustus 2008

BERCERMIN PADA IBU PNS YANG SEDANG KURSUS MOBIL

Krisis lingkungan hidup salah satunya diakibatkan oleh tingginya laju emisi bahan bakar dari konsumsi kendaraan roda empat ataupun roda dua yang membanjiri pasar Indonesia. Kondisi ini membuat pabrikan mobil berlomba menciptakan teknologi kendaraan ramah lingkungan dengan tingkat emisi karbon rendah. Namun baru-baru ini konsumen dikejutkan dengan diproduksinya mobil sedan dengan harga terjangkau hasil pabrikan negeri India. Apapun alasannya, pabrikan tetap berpihak pada produktifitas/laju konsumsi kendaraannya dipasar lokal maupun international.

Sedang bagi masyarakat konsumen, konsumsi kendaraan jenis tertentu, secara fungsional bukan saja bagian dari mobilitas aktivitas sehari-hari atau kerja, melainkan pada aspek tertentu bermuatan motif fetishm, ataupun menampilkan status ekonomi tertentu pula. Maka untuk alasan ini, masyarakat konsumen berlomba – lomba membelanjakan uangnya, baik mobil keluaran baru, mobil mewah selundupan, maupun mobil second hand.

Bagi kelompok masyarakat lainnya, kondisi ini justru dilihat sebagai peluang usaha dalam bidang jasa terkait kebutuhan kendaraan. Kelompok usaha ini tentunya juga secara umum mempunyai izin usaha yang resmi dikeluarkan oleh pihak terkait. Dimulai dari SPBU, jasa servis /bengkel berdasarkan kategori tertentu, sekedar tambal ban/tubless, cuci mobil, mobil derek, asuransi mobil, ataupun kursus mobil. Kursus mobil menjamur dimana2, dengan segala tawaran fasilitas kursus mulai dari mobil kursus bermerk, driver pengajar berpengalaman, dan berafiliasi dengan kepolisian untuk pengurusan SIM pasca kursus. Makanya jangan heran, jika ditengah jalan raya, sesama pengguna jalan raya berpapasan langsung dengan mereka ini.

Fenomena kursus mobil sebenarnya bukanlah sesuatu yang mengejutkan ditengah tingginya tingkat pembelian mobil masyarakat konsumen. Yang mengejutkan sebenarnya, ketika menyaksikan ditengah jalan, pada dua hari yang berbeda, berpapasan dua kali dengan orang yang sama, seorang ibu muda mengendarai mobil kursus ditengah jalan raya kota pada saat jam kerja dan lalu lintas padat. Didampingi pengajarnya, Ibu muda ini dengan perlahan dan sedikit kaku melajukan mobil kursusnya dijalanan. Dengan kesenangan barunya, mungkin ibu muda ini tidak sadar mengendarai mobil, masih dengan pakaian dinas PNSnya.

Disela – sela kerja akhirnya peristiwa ini disampaikan ulang kepada beberapa teman, tentang segala kemungkinan penjelasan. Dan sepertinya mereka tidak tertarik dengan peristiwa ini,ekspresinya datar, mungkin karena kemampuan saya bercerita justru yang membuat hal ini menjadi tidak menarik. Atau penjelasannya menjadi seperti syair lagu sebuah band disco, yang kurang lebih berbunyi “ saya yang berada di planet Mars, atau mereka yang berasal diplanet Mars”

Untuk segala tendensi tersebut akhirnya saya mengucap sendiri, Saya tak kurang lebih sama dengan ibu muda itu, prilakunya saja yang berbeda, idenya tetap sama, etos kerja buruk, malas bekerja, sering telat masuk kantor, sering bolos dengan alasan pura-pura ke desa padahal tertidur disalah satu rumah penduduk. Dan sayangnya, tak sempat berkenalan dengan ibu muda, padahal dia cukup tampak manis diatas kendaraan yang dibawanya.

Kampuang


Takana jo Kampuang, Induak, Ayah, Adik sadonyo….maimbau-imbau den pulang. Itulah penggalan lagu masa kanak-kanak yang masih teringat sampai saat ini. Kampuang seolah-olah memanggil untuk selalu pulang, menjadi cengeng dan melankolis. Sebagai pengantar percakapan, penggalan lagu Minangkabau tersebut, dapat mewakili apa yang menjadi risau hari ini dan mungkin juga seterusnya “Kampuang”.

Kampuang mengejawantah kepermukaan mana kala hari mendekati lebaran (Idul Fithry) , sanak saudara di rantau beramai-ramai “Pulang Basamo Ka Kampuang”, padahal jika ditilik lebih detail tujuan pulang, kampuang orang rantau berbeda-beda, tapi tetap dinamai “Pulang Basamo Ka Kampuang”. Lingkup penggunaan dan maknanya menjadi meluas, tidak lagi mempersoalkan domisili secara administratif pemerintahan, tetapi sudah menjadi satu ikatan cultural; kampuang besar Minangkabau. Apa yang hendak dikatakan dari iven budaya ini, bisa saja inilah MinangKabau.

Apresiasi orang kampuang sendiri, terhadap iven budaya seperti ini, kadang menjadi sinis, katanya kepulangan orang rantau merupakan wujud “kejumawaan” keberhasilan perjuangan ekonomi di rantau. Namun disisi lain, kampuang juga menggugah tanggung jawab ekonomi urang rantau -Philatropy- baik secara pribadi maupun terorganisir dalam 1 wilayah Nagari seperti Sulit Air Sepakat (SAS). Dan secara lebih luas termaktub dalam ranah nilai dan sikap

“ Urang Kampuang Dipatenggangkan Juo”

Dalam aktivitas sosial sehari-hari, Kampuang tidak pernah ditinggalkan dalam percakapan-percakapan sosial dikedai kopi, dipasar atau diarena sosial lainnya. Selalu saja muncul pertanyaan dima kampuang (dimana kampuang). Tapi apa sebenarnya ruang lingkup, makna dan bagaimana memaknai/memposisikan Kampuang hari ini dan seterusnya? apakah Kampuang tetap menjadi penting dalam dunia yang mulai tanpa batas, tanpa sekat yang jelas, seperti saat sekarang ini.

Sebenarnya percakapan kali ini, tergugah oleh sebuah peristiwa 7 tahun lalu, ketika berpapasan dengan Mak Etek tepat didepan rumah Amak. Sebagai wujud sopan santun dari yang muda terhadap yang tua, bergulirlah percakapan sambil lalu “ mau kemana Mak etek ? Jawaban beliau waktu itu ke kampuang. Aneh rasanya, padahal waktu itu sudah dikampuang, dalam wilayah administrative kelurahan yang sama, kalaupun di ukur jarak ke tempat tujuan Mak Etek itu, paling hanya berjarak 250 Meter s/d 300 Meter kearah atas rumah Amak.

Apakah arti / makna kampuang dalam kalimat Mak Etek tadi, berhubungan dengan tujuan beliau yakni tempat tinggal Amak, daerah asal ibu beliau. Jika demikian, asumsinya secara kosmologis(?) ruang lingkup kampuang, jadi mengecil lagi, kedalam areal tempat tinggal/asal Amak sebagaimana disebut anthropolog kedalam istilah Matrilokal.

Dengan demikian terlihat, masyarakat Nagari yang telah terpilah kedalam satuan Jorong, Korong, masih memiliki satuan entitas sosial budaya lain, tergabung kedalam kampuang. Kampuang Amak/Kampuang secara suku/kaum, seperti Kampaung Pisang, Kampuang Jambak, Kampuang Koto. Bahkan untuk Kampuang Koto pun secara topografi permukiman, seperti di Nagari Kurai Bukittinggi, Kampuang Koto terbagi lagi kedalam Koto Dalam, Koto Bawah, Koto Ateh.

Ini menandakan, Minangkabau selain terpilah kedalam Nagari-Nagari, Jorong dan Korong, baik sebagai satuan sosial budaya (adat) yang berbeda sebagai mana digambarkan “Adat Salingka Nagari dan satuan politik (system pemerintahan). Ternyata dia lebih rumit lagi, ada entitas lain yang harus juga diakui, kampuang, dimana tumbuh penghulu-penghulu suku dan tuo-tuo kampuang didalam struktur tersebut. Dan jika pemikiran ini pas, pantas saja, pemerintah Hindia Belanda, waktu itu, untuk menanamkan pengaruh dan kepentingan ke dalam struktur Nagari, mereka mengangkat dan menggaji seorang penghulu, dari penghulu-penghulu yang ada di Nagari.

Jelas sudah di rantau maupun di luhak asal (Luhak Nan Tigo), makna kampuang menjadi begitu penting, penanda social budaya, bagian dari sebuah identitas kesuku bangsaan. Di rantau pengunaan terminology kampuang, ruang lingkupnya menjadi meluas dan cair, sedangkan di luhak asal, ruang lingkupnya menjadi mengecil kedalam satuan-satuan Matri lokal suku/kaum.

Apakah kita akan tetap percaya, dan memaknai kampuang sebagai tempat pulang, sebagaimana penggalan lagu Minangkabau diatas, sebagaimana juga Amak selalu bertanya kepada anaknya “ Kapan Pulang Yuang?” bukankah seorang laki-laki Minangkabau tidak mempunyai ruang “tempat tinggal“ dirumah Amak nya, selain ruang tanggung jawab terhadap anak kemenakan yang semakin dekat dengan “ sakuAbak/Ayah nya.

Mungkin ada benarnya perkataan seorang teman; sebagai bagian dari sebuah ikatan komunal, kapan, dimana dan seperti apapun kondisinya, kampuang akan tetap menjadi tempat pulang, nyaman dan tidak nyaman. Tapi bagaimana dengan kampuang akhirat? Sayang, Buya Hamka telah tiada, mungkin Beliaupun akan berkata kepada kita “ jadikanlah kampuang sebagai ladang bagi kampuang yang lebih luas dan kekal : kampuang akhirat

Kesetaraan jender


Oleh ; Juan Fransiska

Dalam dasawarsa ini isu kesetaraan dan keadilan jender bagi masyarakat dunia merupakan bagian dari nilai – nilai demokrasi juga pembangunan. Indonesia pun seolah-olah tak mau tertinggal, melalui Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta dalam Kompas 20/07/07 mengatakan perempuan adalah aset dan potensi, bukan beban dan hambatan. Disebutkan juga perempuan sering terpinggirkan dari proses pembangunan didaerahnya. Kondisi ini ditenggarai karena terbatasnya akses perempuan dalam ruang public, sehingga perkembangan potensi mereka terhambat, terutama dalam memperoleh peluang kerja serta akses terhadap sumber daya ekonomi lainnya.

Dinegara berkembang / dunia ketiga seperti Indonesia, telah banyak penetrasi kegiatan untuk ini, yang disupport ataupun di fasilitasi oleh founding pro demokrasi asing dan local. Dalam bentuk pendidikan dan penguatan civil society, penganggaran daerah berbasis jender, maupun kesempatan scholarship bagi tokoh muda/aktivitis perempuan untuk melaksanakan studi lanjutan dalam kajian jender dan pembangunan.

Demokrasi dengan segala pirantinya cenderung diposisikan sebagai penanda sebuah keberadaban suatu bangsa, prasyarat tergabungnya suatu negara/bangsa dalam pergaulan masyarakat dunia. Seakan masyarakat manusia diatur sedemikian rupa dalam sebuah tatanan dunia monosistem. Demokrasi terkadang menjadi alasan paling praktis dan kuat untuk melakukan invansi atau mencampuri urusan rumah tangga suatu negara, dan kemudian menggulingkan rezim berkuasa.

Namun sayangnya, dinegeri asalnya sendiri mimpi monosistem ini sebenarnya jauh dari pada mewujud. Mungkin arah kearah sana sudah ada. Berita belakangan memperlihatkan bagaimana pemilihan calon presiden USA menempatkan seorang Hillary Clinton tokoh perempuan pertama yang bersaing sebagai bakal Calon Presiden. Gambaran lainnya, adalah American Idol, disitu jelas terjadi pengelompokan konstentan idol berdasarkan jender. Artinya dalam masyarakat sekelas America isu ini masih sebagai suatu mimpi dan kalaupun dilaksanakan itupun dengan setengah hati.

CSR DAN PERAN RESOLUSI KONFLIK PEMERINTAH


Pengantar

“Indak ado kusuik nan indak kasalasai

Basilang kayu didalam tungku mangko api ka hiduik”

(Pepatah Minangkabau untuk resolusi konflik)

Ada banyak pengertian Community Development dan salah satunya diartikan sebagai proses membangun (kembali) struktur komunitas dari tidak/kurang berdaya menjadi lebih berdaya yang memungkinkan dilakukannya cara-cara baru dalam menata kehidupan sosial dalam memenuhi kebutuhan insani (kebutuhan kemanusiaan/ Human Needs) [1]

Dalam defenisi yang lain diartikan sebagai kegiatan pengembangan masyarakat yang dilakukan secara sistematis, terencana diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat guna mencapai kondisi sosial, ekonomi dan kualitas kehidupan yang yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan pembangunan sebelumnya [2]

Secara lebih operasional World Bank menyebutkan program community development merupakan kegiatan terencana dan sistematis, bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal secara berkelanjutan, perlindungan terhadap lingkungan hidup, pendidikan, perbaikan keterampilan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat yang berada di wilayah perusahaan beroperasi.

Bagi perusahaan melakukan kegiatan Commmunity Development bukan saja untuk mendapatkan izin lokal, mengatur dan menciptakan strategi kedepan serta sebagai cara untuk memenuhi sasaran usaha (Good Corperate Governance)[3].

Tapi lebih dari itu ada penjelasan lain yang lebih mendasar, bahwa setiap perusahaan beroperasional dengan capitalnya ditengah lingkungan masyarakat sehingga tak dapat dihindari aktivitas perusahaan akan selalu berhubungan dengan dua poin utama yaitu pertama : masalah lingkungan hidup dan kedua sosial masyarakat. Dari sisi lingkungan hidup, tujuannya adalah pemenuhan terhadap tuntutan keadilan lingkungan sebagaimana amanat KTT Bumi Rio 1992, dimana dunia usaha komit terhadap isu pembangunan berkelanjutan. Sedangkan dari sisi sosial masyarakat, tujuannya adalah pemenuhan terhadap tuntutan terciptanya keadilan sosial ditengah masyarakat, dan itu menjadi tanggung jawab sosial dunia usaha (Corporate Sosial Responsibility)

Dengan demikian hakikatnya community development lebih ditujukan membuka akses dan pemberdayaan masyarakat (empowerment) sebagai sebuah proses adaptasi sosial budaya yang dilakukan oleh insdustri, pemerintah pusat dan daerah terhadap kehidupan masyarakat setempat [4].

Sebagai bagian besar dari Corporate Sosial Responsibility[5] konsep commmunity development, di adopsi, dikembangkan dan didesain secara berbeda oleh perusahaan untuk masyarakat setempat yang ditetapkan kedalam skala prioritas penanganan. Disini pemahaman tipologi dan pemetaan sosial masyarakat sekitar daerah operasional perusahaan menjadi penting untuk dilakukan.


Community Development Corporate
(Kasus Gembira Selalu. Tbk[6])

Gembira Selalu.Tbk adalah sebuah perusahaan yang bergerak dibidang Perkebunan Kelapa Sawit Kemitraan[7], mengembangkan kegiatan community development selain dalam bentuk charity, juga di terapkan dalam tiga bentuk kegiatan utama ; Pertama program kemitraan sesuai ketentuan pemerintah; berupa kerjasama pembangunan dan pengelolaan kebun kelapa sawit antara perusahaan dan Koperasi, dalam model pengelolaan satu atap [8]. Dan sebelumnya terdapat upaya provisi kemitraan. Sebuah kegiatan non teknis kemitraan berupa pemenuhan syarat –syarat sosial budaya dan administrasi legal sehingga kerjasama kemitraan bisnis antara perusahaan dan masyarakat dapat terwujud.

Disini sangat jelas bahwa subjek kegiatan community development Gembira Selalu Tbk adalah penguatan kelembagaan koperasi mitra. Dengan demikian kelembagaan koperasi mitra mempunyai peran dan posisi strategis bagi keberlangsungan sekaligus keberlanjutan pembangunan perkebunan kelapa sawit yang dibangun dan dikelola oleh perusahaan[9].

Kedua, yang tak kalah penting adalah hubungan dan jejaring komunitas dan pemerintah. Hal ini mencakup kegiatan perintisan, pembentukan dan perawatan hubungan sosial masyarakat dan pemerintah, sehingga posisi sosial perusahaan diwilayah operasional dapat kokoh dan diterima keberadaannya secara terbuka. Langkah ini diambil sebagai antisipasi resiko – resiko sosial sebagai akibat dari kemungkinan adanya ketidakharmonisan hubungan antara perusahaan dengan masyarakat/pemerintah setempat.

Community Development dituntut untuk mengembangankan system peringatan dini, kepada perusahaan mengenai adanya resiko tersebut, sehingga dapat ditanggapi secara cepat dan tepat sebelum terjadi ledakan konflik. Dan ini tentunya akan menganggu pencitraan perusahaan dimata stakeholders lainnya. Didalamnya juga termasuk pengembangan pendekatan penyelesaian konflik diluar pengadilan.

Ketiga : pemberdayaan masyarakat yang berorientasi terhadap penguatan kemandirian serta kesejahteraan masyarakat disekitar wilayah operasional kebun dan terhindar dari dampak lingkungan serta sosial. Hal ini bertujuan agar masyarakat setempat dapat memanfaatkan dan terlibat langsung dalam peluang ekonomi yang terbuka secara berkelanjutan .Dengan demikian tidak terdapat kesenjangan yang mencolok antara perusahaan dan masyarakat. Kegiatannya dapat berupa pelatihan keterampilan kerja bagi tenaga kerja lokal, pelatihan management bagi pengurus koperasi, lembaga – lembaga desa dan kelompok usaha lainnya.

Kecenderungan dilapangan menunjukan, kegiatan community development di tingkat operasional/masyarakat yang difasilitasi oleh CD officer/assistant, belum dapat dilaksanakan secara maksimal, terutama poin ketiga. Hal ini dikarenakan sampai sejauh ini, yang muncul kepermukaan adalah bentuk-bentuk kegiatan yang termasuk kedalam Community Service dan Community Relation. Sampai sejauh ini dalam tahapan pembangunan kebun yang memasuki rata-rata usia tanam 4 tahun kedalam kategori tanaman menghasilkan (TM) kegiatan community empowering [10] belum dilaksanakan. Bahkan salah seorang tokoh Koperasi Mitra sempat menanyakan keberadaan Divisi Community Development ditingkat operasional kebun. Dalam penilaiannya keberadaan community development yang dilaksanakan perusahaan tidak dirasakan masyarakat. Dari pandangan ini terlihat bahwa kegiatan Community Development lebih dilihat dalam bentuk empowering ataupun corporate giving [11].

Walaupun perspektif community development bukan melulu persoalan tinggal di desa, tapi hal ini tetap menjadi penting untuk tetap dilakukan secara reguler. Tempat tinggal praktisi community development yang menetap didalam kebun telah menyebabkan jarak dengan masyarakat semakin tampak, silaturahmi cenderung mekanik berdasarkan kebutuhan – kebutuhan perkegiatan dan cenderung hanya menyentuh tokoh – tokoh elit desa. Sehingga informasi kemitraan ataupun lainnya yang berhubungan dengan pembangunan kebun menjadi tidak maksimal terserap oleh kedua belah pihak. Structure yang berpusat pada basecamp kebun – yang terpisah dengan masyarakat sekitarnya ini dan juga senjang secara sosial budaya harus segera dicairkan. Silaturahmi harus terus dibangun dengan masyarakat sekitar kebun/mitra perusahaan. Hal ini bukan hanya menjadi tanggung jawab praktisi community development di tingkat operasional kebun, tetapi juga harus dilakukan oleh top management kebun, karena pada dasarnya masyarakat melihat silaturahmi sebagai wujud penghargaan terhadap keberadaannya.

Jika di tilik lebih jauh, dengan mengunakan analisis stakeholders, dari kerangka segi tiga emas community development yakni ; Perusahaan/swasta, masyarakat dan pemerintah, kondisi sosial dan politik yang ada dapat dijelaskan sebagaimana berikut :

1). Bagi pihak perusahaan, pemerintah setempat secara politis adalah raja yang harus ditaati, the law, yang telah mengundang dan membuat perusahaan berhasil beroperasional di daerah tersebut. Perusahaan dalam setiap tahapan awal pembangunan kebun selalu berusaha melibatkan pemerintah setempat, terutama di level operasional kebun setingkat kecamatan dan desa[12]. Dengan dasar ini sebenarnya pemerintah setempat perlu melindungi aset dan memberikan pelayanaan yang baik bagi perusahaan serta menjamin hak - hak masyarakat desa terlaksana/diberikan perusahaan sebagaimana diatur dalam kesepakatan yang ada diantara kedua pihak.
Tapi dari beberapa pengalaman yang ada, bagi pihak perusahaan, justru pelibatan pemerintah setempat setingkat desa dan kecamatan, malah justru menjadikan proses penyelesaian konflik cenderung menjadi berbelit , rumit dan membutuhkan budget / amplop yang besar untuk setiap pelibatan pemerintah[13]. Sementara mau tak mau perusahaan harus melibatkan peran pemerintah setempat. Perusahaan membutuhkan ini bukan saja untuk legalitas administrasif tapi terlebih secara politis.


Sebaliknya bagi pihak pemerintah setempat, terkadang perusahaan dilihat lambat dalam proses pembangunan kebun, menelantarkan lahan dan menunda proses yang telah ada dalam kesepakatan. Tanpa melihat kedalam, bahwa di perusahaan pun sebenarnya mempunyai masalah internal, dalam bentuk struktur organisasi, politik kebun (pergantian top management dan proses ikutannya)[14], penganggaran guna keberlanjutan pembangunan kebun, pelaksanaan komitment dll. Dan harus diakui bahwa penundaan penanaman pokok sawit berarti nilai investasi/nilai uang saat investasi akan tinggi dan masyarakat akan semakin lama menunggu untuk menikmati tanaman menghasilkan (TM)[15].

Dan yang tak kalah penting adalah apa yang menjadi tujuan perusahaan untuk membangun kebun dan maju sejahtera bersama masyarakat desa, sepertinya jauh dari kenyataan. Semua tinggal harapan saja. Karena hampir lebih dari 50 % lahan yang sudah ataupun belum ditetapkan sebagai HGU Koperasi mitra , dan menjadi hak anggotanya telah diperjual belikan pada pihak kedua yang berasal dari luar desa/kota/propinsi. Sindikasi penjualannya melibatkan aparat pemerintah desa, kecamatan, koperasi dan karyawan perusahaan. Masyarakat desa pada akhirnya tetap akan menjadi penonton, dan secara sosial nantinya akan berdampak pada keberlanjutan operasional perusahaan.

Secara umum desa – desa mitra perusahaan tidak mengatur dan menetapkan menegement penggelolaan sumber daya (kebun koperasi) dalam bentuk peraturan desa. Terutama yang berkaitan dengan dengan pengaturan bahwa lahan tersebut tidak bleh dipindah tangankan ataupun diperjual belikan kepada pihak kedua. Dari 11 desa mitra perusahaan, hanya terdapat satu desa yang melakukan pengaturan management penggelolaan dan pemanfaatan sumber daya (kebun koperasi), dimana penduduk dalam kategori pendatang yang mendapatkan hak dalam Kebun Koperasi tidak diperbolehkan untuk memindah tangankan haknya kepada pihak kedua. Tapi akhirnya ketentuan yang dibuat dalam sebuah berita acara rapat desa inipun dirubah. Dengan ketentuan 50 % dari total perolehan (hak) diserahkan kembali dan menjadi asset desa.

2). Dari sisi masyarakat secara internal ada soal dalam kelembagaan lokal, demokrasitisasi desa. Konflik internal desa/tokoh-tokoh desa, silang sengkarut ini membentuk wacana tersendiri ditengah masyarakat , dan mempengaruhi pandangan masyarakat (pro dan kontra) terhadap perusahaan[16]. Secara kongrit keterkaitan diantara dua komponen masyarakat/koperasi dan perusahaan berujung pada belum disepakatinya model dan mekanisme distribusi informasi progress kemitraan yang transparans dan akuntabel.

Kondisi yang ada disana sini menyebabkan tersumbatnya informasi yang dibutuhkan oleh pengurus koperasi sebagai wujud pelaporan dan pertanggung jawaban kepada anggota koperasi. Hal ini meliputi ; 1). Progress kegiatan penanaman diareal kebun koperasi, 2). Penetapan tahun tanam masing-masing blok dan masa jatuh tempo blok dalam areal kebun koperasi, 3). Laporan penerimaan tanaman yang sudah tertanam, 4). Laporan produksi tandan buah sawit dalam areal kebun koperasi, 5). Perhitungan nilai investasi per hektar sesuai ketentuan pihak Bank yang akan menjadi beban hutang koperasi (cicilan ke Bank dan pendapatan bersih). Untuk kebutuhan ini pihak koperasi menginginkan dilakukannya suatu kegiatan pertemuan rutin tiap bulan yang khusus membahas masalah kemitraan antara perusahaan dan koperasi, meliputi progres, kendala dan tindak lanjut.

Kondisi ini berpengaruh pada upaya merajut kerukunan ataupun pengakuan sosial dari masyarakat setempat guna mendukung keberlanjutan kebun. Dimana kelompok masyarakat tertentu memanfaatkan situasi ini demi kepentingan mendeskriditkan, mengantikan pengurus koperasi, kepala desa ataupun top management kebun[17].

3). Kemampuan pemerintah setempat memfasilitasi, mediasi maupun resolusi konflik[18] terhadap hal – hal yang berkaitan dengan investasi dan tahapan pembangunan kebun yang dilakukan pihak perusahaan diatas izin lokasi yang berada dalam wilayah desa - desa, areal peruntukan lain, ataupun persil individu.

Kedepan sudah saatnya community development corporate, menginisiasi kegiatan yang fokus kepada sisi pemberdayaan/pembaruan tata pemerintahan - nya sebagai sumber kekuasaan politik, pembuat peraturan, pengambil keputusan terkait investasi perkebunan swasta diwilayah operasional bisnis [19]. Disisi lain sebagai bagian dari upaya mendorong peran dan fungsi pemerintah dalam proses resolusi konflik, terutama penyelesaian konflik penggelolaan sumber daya (tanah/proverty ;Beckman) [20] antara perusahaan dengan penduduk desa, persoalan penerbitan izin lokasi yang terkadang tumpang tindih peruntukan lahan dalam ketentuan tata ruang yang ada.

Selanjutnya, memastikan netralitas pemerintah setempat, memfasilitasi maupun mediasi dan resolusi konflik yang mengakomadasi kepentingan penduduk /komunitas setempat dan perusahaan. Kondisi yang ada dilapangan sejauh ini, memperlihatkan bagaimana posisi pemerintah seakan-akan terombang ambing kedalam kedua kepentingan ini.

Hal ini strategis dilakukan, karena perusahaan mempunyai tanggung jawab hukum/obey the law. Tapi peraturan/hukum seperti apa? tentunya peraturan yang sehat bagi iklim dan dunia usaha. Dan secara nyata, operasional kegiatan community development di tingkat operasional bisnis/masyarakat, mau tidak mau harus melibatkan peran dan mengakomodasi kepentingan pemerintah desa, maupun kecamatan, karena lembaga inilah yang bertanggung jawab dan mempunyai kekuasaan politik terhadap wilayah serta masyarakat di tingkat operasional bisnis.

Selanjutnya Dinas Koperasi dan Perdagangan sebagai instansi pemerintah yang membidangi pembinaan dan penguatan kelembagaan koperasi warga. Kurang maksimalnya fasilitasi dan dampingan dinas Koperindag terhadap koperasi-koperasi, dapat dilihat sebagai ketiadaan sinergi dan integratifnya program pemerintah setempat dengan target –target program yang telah ditetapkan terutama dalam bidang investasi perkebunan skala besar yang berdampak langsung secara ekonomi, sosial dan lingkungan pada masyarakat setempat.

Dan yang tak kalah penting, keterkaitan masalah sosial perkebunan dengan masalah fundamental berdimensi agraria/pertanahan; klaim lahan, batas desa dll, yang mau tidak mau juga melibatkan peran Pemerintah Desa, Kecamatan, Badan Pertanahan Nasional, juga pihak aparat kepolisian.

Dalam pandangan seorang aparat kepolisian, penyetopan kegiatan illegal logging yang dilakukan penduduk oleh pemerintah, secara tidak langsung dan langsung berdampak secara ekonomi dan sosial pada komunitas dan lingkungan sekitar, terutama komunitas bisnis/perkebunan, dan ini perlu menjadi fokus pihak-pihak terkait. Dalam pandangannya hal ini salah satu bentuknya muncul dengan adanya klaim lahan sepihak yang dilakukan masyarakat pada lahan yang telah ditanami oleh pihak perusahaan. Dan kemudian dalam masa rentang waktu yang lama setelah operasional kebun dimulai, barulah penduduk desa bersikeras untuk dapat diterima bekerja diareal perkebunan.

Konflik yang cukup mengkhawatirkan dan bisa menjadi bom waktu secara sosial dan ekonomi adalah 1). Belum adanya pembagian letak dan luasan kebun defentif di areal pengembangan yang terdiri dari 5 Desa. 2). Penentuan batas desa yang sangat berkaitan dengan penentuan letak dan luasan kebun kemitraan, 3). Dalam pandangan pemerintah desa sebagian areal desa dalam areal pengembangan masuk (tercaplok) kedalam lokasi izin take over yang dijadikan sebagai HGU perusahaan. 4). Sebagian areal pengembangan merupakan daerah banjir permanent yang secara teknis kebun sebenarnya dapat dilakukan penanaman dengan syarat adanya kelengkapan teknis pengairan dan persetujuan dari koperasi mengenai beban biaya yang dikeluarkan dari pembangunan sarana teknis pendukung tersebut. 5). Telah terjadi penjualan dibawah tangan terhadap lahan yang belum memiliki ketetapan luasan dan letak kebun (ketetapan antara perusahaan dan koperasi)dari penduduk desa/koperasi kepada pihak kedua yang berasal dari daerah luar dengan sindikasi aparat pemerintahan, Koperasi dan karyawan perusahaan. 6). Kedepan cakupan konflik meluas, karena pembeli berasal dari luar dengan struktur pengetahuan dan politik yang lebih luas (polisi, tentara, PNS, pengacara, masyarakat sipil dan kategori etnis tertentu), 7). Tuntutan kerugian sosial ekonomi akibat terlambatnya progress penanaman diareal tergenang yang sebelumnya merupakan tempat masyarakat mencari nafkah (ikan). 8). Disisi lain jika lahan areal tergenang tidak ditanam, hal ini juga berpotensi konflik, dimana masyarakat sangat berkemungkinan melakukan tindakan untuk memenuhi target perolehan luasan lahan untuk desa/koperasi.

Hal ini karena mereka telah terlanjur melakukan penjualan dibawah tangan terhadap hak-hak anggota koperasi dengan menyebutkan jumlah luasan per individu anggota koperasi. Sementara ketentuan tersebut belum ada antara pihak perusahaan dan Desa/koperasi. 9). Kejelasan terhadap legalitas kepemilikan lahan persil individu sebelum dan setelah proses kemitraan.

Pada saat awal persil individu yang dimitrakan, kepemilikan lahan atas nama A, setelah kebun terbangun muncul penggakuan baru dengan dokumen persil individu baru (B) dan surat keterangan kepemilikan dari pemerintah desa. Dengan kata lain terdapat penolakan terhadap dokument –dokument persil individu dari pemerintah desa terhadap dokumen persil individu yang diserahkan pada proses awal kemitraan.10). Munculnya sertifikat hak milik atas nama kelompok tani di dalam Areal Izin Lokasi Perusahaan. Diatas tanah tersebut telah dibangun kebun sawit oleh perusahaan dengan umur tanaman 4 tahun. Persoalan ini muncul kepermukaan pada saat pengurusan HGU perusahaan, sesuatu yang janggal tapi itu terjadi. 10). Penetapan tahun tanam dan masa jatuh tempo tanaman(kesiapan akad kredit dengan Bank) dimana koperasi berkewajiban membayar cicilan ke bank dan berhak mendapatkan penghasilan bersih dari hasil penjualan tandan buah sawit. 11). Resolusi konflik terhadap persoalan diatas dapat dimungkinkan terjadi jika ada maksimasi peran resolusi konflik yang dimiliki pemerintah setempat serta sinergis dan transparansnya komponen lain dalam lingkaran community development.

Sejauh ini terlihat, upaya mendorong peningkatan peran pemerintah kurang maksimal dilakukan, baik yang di dorong oleh perusahaan, maupun pemerintah sebagai wujud kesadaran public services. Kalau pun itu dilakukan, nuansanya dari sisi perusahaan lebih sebagai upaya pengakuan legalitas kegiatan secara administratif dan politis, sedang bagi pemerintah (oknum pemerintah?) terdistorsi kearah pendulum yang berbeda “masyarakat / perusahaan diposisikan menjadi pelayan pemerintah (oknum pemerintah?) “. Keberadaan perusahaan dipandang sebagai sebuah ” lokaan” yang dalam bahasa Jambi berarti kerjaan/uang.

Dengan demikian kegiatan community development corporate sangat bergantung dan ditentukan bukan saja oleh komitment terhadap keberlanjutan sosial, ekonomi dan lingkungan serta sinergisnya segita emas masyarakat, perusahaan dan pemerintah. Melainkan juga oleh ketersediaan biaya shampoo ataupun biaya intertaiment . Dan ini akan berarti pembengkakan biaya sosial kemitraan, yang secara langsung sangat merugikan perusahaan, juga masyarakat mitra/koperasi.

Pada kondisi seperti ini, anggota koperasi mitra, dapat dilihat sebagai “the last victim” dengan posisi tawar dan akses yang lemah terhadap sumber daya desa, proses pengambilan ditingkat desa, operasional dan penggelolaan kebun sawit kemitraan serta peraturan terkait lainnya. Kondisi ini sebenarnya merupakan efek ikutan dari belum terorganisirnya resources kelembagaan koperasi secara maksimal dan ketidakadaan demokratisasi desa.

Penutup

Dengan demikian harus ada upaya terstruktur untuk mendorong adanya pembaruan tata kelola pemerintahan setempat (Good Local Governance) terkait dengan pelayanan perijinan dan pelayanan public yang diselenggarakan oleh pemerintah di tingkat operasional bisnis. Dalam hal ini pemerintah setempat mempunyai kepentingan besar dalam menjamin terciptanya iklim investasi didaerahnya. Pemerintah setempat dalam hal ini telah mengundang baik secara langsung maupun tidak para investor. Dan dengan tegas pula pemerintah setempat dapat melakukan black list terhadap perusahaan yang nakal.

Peningkatan kapasitas pemerintah setempat dalam pelayanan public dengan sendirinya merupakan upaya meningkatkan kualitas demokrasi – ukuran yang dikembangkan akan sangat jelas, yakni sejauh mana masyarakat merasakan demokrasi dijalankan dan sejauhmana pengaruhnya terhadap peningkatkan kualitas hidup [21]. Upaya ini harus juga sejalan dengan maksimasi peran resolusi konflik yang dimiliki pemerintah, karena konflik pada dasarnya merupakan proses mencapai keseimbangan baru dalam masyarakat serta sumber transformasi masyarakat [22].

Walaupun telah banyak pemerintahan setempat melakukan inisiatif pembaruan tata kelola pemerintahan seperti one stop service, tentunya sangat lamban jika mengharapkan inisiatif ini tumbuh dengan sendirinya. Dibutuhkan kekuatan dari luar untuk mendorong upaya percepatan pembaruan tata kelola pemerintahan terkait perbaikan iklim investasi daerah. Dan isu kepemimpinan setempat yang bersih tetap menjadi bagian yang penting dalam proses transformasi ini.

Peran ini dapat diambil alih langsung oleh perusahaan. Model pengorganisasian/penggelolaannya dapat diatur sedemikian rupa berdasar kondisi real daerah operasional masing-masing. .Pertama: perusahaan mendirikan yayasan/organisasi sosial yang berada dibawah naungan perusahaan/group, kedua ; berpatner atau bermitra dengan pihak/lembaga lain, Ketiga ; membentuk dan bergabung kedalam sebuah konsorsium[23]. Model pengorganisasian kegiatan pemberdayaan seperti ini telah banyak dilakukan oleh perusahaan lain. Upaya ini tetap harus seiring dengan gerak “ Be A Good Corporate Governance ” yang salah satunya, dilakukan oleh pihak perusahaan dengan program community development secara terencana, aplikatif dan berkelanjutan.(13/03/2008)


Daftar Pustaka

Bahan Training Community Development Gembira Selalu.Tbk 2004

Beckmann, Franz Von Benda

2000, “ Properti dan Kesinambungan Sosial “ Grasindo ; Jakarta

Effendi, Nursyirwan

2007, “ Fenomena On –The Ground Development “ dalam Antropologi dan Pembangunan di Masyarakat Lokal, Lab. Antropologi Universitas Andalas ; Padang.

Fisher, Simon. Ludin, Jawed

2000, “ Menggelola Konflik, Keterampilan dan Strategi Bertindak” Jakarta : The British Council.

Harsono, Budi

1994, “ Hukum Agraria di Indonesia Himpunan Peraturan – Peraturan Hukum Tanah “ Jembatan: Jakarta

Juliantara, Dadang.

2005 “Peningkatan Kapasitas Pemerintah dalam Pelayanan Publik “ Yogyakarta : Pembaruan

ICSD

2004 Pedoman Pengembangan Masyarakat Disektor Energi dan Sumber Daya Mineral Jakarta : Departement Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia.

Rudito, Bambang

2003 “Akses Peran Serta Masyarakat” dalam Akses Peran Serta Masyarakat, Jakarta : Sinar Harapan dan Indonesia Center for Sustainable Development.

Soekanto, Soejono. Lestari, Ratih.

1988 “ Fungsionalisme dan Teori Konflik” Jakarta : Sinar Grafika.

Dokumen

2006 Surat Perjanjian Kerjasama Gembira Selalu. Tbk dengan Koperasi

Semangat “

Ponedy, Dedy

2000 “ Analisis dan Resolusi Konflik Antara Masyarakat Tiku V Jorong dengan PT. Mutiara Agam di Kabupaten Agam “ Disertasi S2 Pembangunan Wilayah Pedesaan - Universitas Andalas Padang

………….? (nama penulis tidak tertera)

Tahun (Tidak tertera) “ Paradigma Baru Community Development Bagi Perusahaan”



[1] Bahan Training CD Gembira Selalu . Tbk

[2] Budimanta dalam Pedoman Pengembangan Masyarakat Disektor Energi dan Sumber Daya Mineral – ICSD 2004.

[3] Lihat Indonesia Center for Sustainable Development, “Pedoman Pengembangan Masyarakat Disektor Energi dan Sumber Daya Mineral” ICSD 2004.

[4] Lihat Rudito 2003 “ Akses Peran Serta Masyarakat” dalam Akses Peran Serta Masyarakat, Jakarta : Sinar Harapan dan Indonesia Center for Sustainable Development.

[5] CSR diartikan sebagai komitmen bisnis untuk berkonstruksi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan karyawan perusahaan, keluarga/kerabat karyawan, komuniti setempat, pendatang dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan.(ICSD 2004 :6)

[6] Gembira Selalu.Tbk adalah nama samaran untuk sebuah group bisnis kelapa sawit yang beroperasional disalah satu kabupaten di propinsi Jambi yang berpusat di Jakarta. Anak – anak perusahaannya menyebar di Sumatera dan Kalimantan.

[7] Kemitraan adalah kerjasama pembangunan & pengelolaan kebun kelapa sawit antara perusahaan dan koperasi dengan Pembiayaan Kredit Komersial dari Bank yang diupayakan oleh perusahaan. Dengan mekanisme penggelolaan Kebun Kelapa Sawit Kemitraan dilakukan oleh Perusahaan agar tercapai standar operasi yang optimal. Jangka waktu kerjasama diusahakan minimal selama 30 s/d 60 Tahun (2 Daur), Sertifikat HGU Kebun Koperasi berlaku sebagai agunan bagi Bank pemberi kredit.

[8] Tahapan awal pembangunan kebun, lahan yang di mitrakan oleh koperasi ke perusahaan harus berada dalam

kondisi clear and clear, artinya lahan tidak bermasalah secara teknis maupun sosial/hukum.

[9] Penduduk desa tidak perlu mengeluarkan biaya sedikitpun dari saku pribadi (kalaupun ada hanya dalam bentuk memitrakan lahan desa/ulayat ataupun individu dengan pola 50% : 50 %). Mulai dari pembukaan kebun sampai pembayaran cicilan kredit ke Bank semuanya difasilitasi oleh Pihak Perusahaan dari hasil kebun kemitraan. Kebun kelapa sawit dibangun, dirawat, dipanenkan oleh perusahaan, persyaratan administrasi ke Bank melalui Koperasi, mulai dari photo, KTP, Kartu Anggota Koperasi di uruskan Perusahaan, potongan/cicilan ke Bank didapat dari hasil TBS dikebun HGU Koperasi. Kepala Keluarga (KK) Desa tidak mengeluarkan uang dan tenaga sedikitpun. KK desa masih bisa mengerjakan perkerjaan harian mereka, sebagaimana biasanya. Kondisi dan model seperti ini menyebabkan masyarakat kurang punya “ rasa” memiliki terhadap kebun dan masyarakat petani secara umum membutuhkan bukti langsung bahwa perkebunan sawit dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.Efecnya anggota koperasi secara perlahan menjual/memindahkan tangankan hak atas pembagian luasan/kaplingan dalam HGU kebun Koperasi kepada pihak kedua.

[10] Budimanta membagi ruang lingkup community development berdasarkan kategori ; community services, community empowering dan community relation. ( Budimanta : 2003 ;24 dalam buku Pedoman Pengembangan Masyarakat Disektor Energi dan Sumber Daya Mineral.- 2004 ICSD)

[11] Pemberian dari perusahaan/corperate giving cenderung merusak kemandirian masyarakat karena menciptakan ketergantungan terhadap perusahaan.Terutama jika kegiatan Community Development perusahaan hanya diartikan sebagai charity terhadap kegiatan-kegiatan yang di organisir organisasi desa. Dan yang lebih mengkwatirkan, bantuan seperti ini menumpulkan kesetiakawan sosial dan gotong royong yang sebenarnya dimiliki masyarakat. Ini tampak jelas dengan begitu tergantungnya masyarakat terhadap perusahaan untuk pemeliharaan badan jalan, mencuci parit – parit ditepi jalan desa yang mengairi lahan pertanian, padahal kegiatan ini dapat dilakukan secara mandiri. Tidak menyerahkan sepenuhnya kepada inisiatif perusahaan. Dan terkadang untuk ini pihak masyarakat desa, melakukannya dengan cara demontrasi & menutup jalan desa yang dilalui perusahaan. Walaupun tidak sepenuhnya benar, perusahaan memang sudah sepatutnya merawat jalan desa yang dilaluinya seperti jalan miliknya sendiri, tetapi bukan berarti itu harus menumpulkan modal sosial/kegotong royongan yang dimiliki warga desa. Dengan pengertian lain, kemajuan dapat dicapai tidak mengorbankan modal sosial dan secara cultural tidak tercerabut dari akar budayanya.

[12] Mendorong dan merawat partisipasi merupakan salah satu prinsip dasar dari Community Development juga Good Governance .Bahkan dalam pandangan Cleaver 1999 dalam tulisan effendi 2007 disebutkan pendekatan partisipatif dapat memberikan jaminan efesiensi dan efektifitas proses demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan. Walaupun tidak sepenuhnya benar, di lapangan sejauh yang dapat saya pahami partisipasi publik dalam pembangunan kebun cenderung bersifat elitis/kelembagaan desa. Terjebak kedalam mitos kelembagaan desa sebagai refresentasi masyarakat desa sebagaimana dilukiskan suara pemimpin adalah suara rakyat. Pendekatan partisipasi elitis ini selain menyebabkan biaya mobilisasi yang besar dari segi perusahaan. Perusahaan tidak mau bermain dan masuk terlalu jauh dalam arena politik desa. Demokratisasi desa seolah – olah hanya menjadi urusan internal masyarakat desa. Padahal penting untuk mengedepankan dimensi manusia, institusi sosial/pranata sosial dalam konteks community development. Dari sisi masyarakat desa karena lemahnya akses penduduk terhadap sumber daya dan pengambilan keputusan ditingkat desa menyebabkan informasi kemitraan yang seharusnya menjadi milik semua anggota koperasi hanya berada dalam gengaman elit-elit desa, koperasi atau kelembagaan desa lainnya. Pendekatan elitis inipun pada sisi lain, justru menjadi sumber konflik ditengah masyarakat desa dalam hubungannya dengan perusahaan, karena adanya kelompok lain yang merasa kepentingannya tidak terwakili, yang berujung pada hilangnya trust terhadap kepemimpinan lokal dan institusi sosial/lembaga yang ada.

[13] Dalam hal ini dapat dicontohkan pada saat penentuan tapal batas desa dan areal yang masuk kedalam kategori banjir dalam areal izin lokasi perusahaan. Bagi perusahaan data dan kesepakatan yang didapat dari kegiatan ini akan dipergunakan sebagai dasar peruntukan dan pembagian luasan kebun untuk masing-masing desa. Perusahaan mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk pengecekan lapangan dengan pelibatan secara penuh pihak pemerintah desa, kecamatan dan lembaga koperasi mitra. Namun sayangnya pada saat perusahaan membutuhkan berita acara pelaksanaan kegiatan dengan poin –poin berita acara yang draftnya dibuat oleh perusahaan, pihak pemerintah kecamatan berdalih bahwa poin-poin dalam berita acara tersebut dari segi bahasa berat dan sulit dimengerti masyarakat. Sedangkan pihak perusahaan berpendapat bahwa poin-poin dalam berita acara tersebut sengaja dibuat rinci untuk menjamin agar kedepan tidak ada lagi masalah (tuntas). Tapi pihak kecamatan berpendapat berita acara tersebut tidak perlu dibuat detail. Hal ini disengaja dilakukan selain karena alasan bahasa yang sulit dimengerti masyarakat, juga terkait rencana proses penyelesaian konflik yang bertahap sebagaimana diinginkan pihak kecamatan. Sedangkan bagi perusahaan tahapan tersebut akan memakan anggaran kegiatan yang besar. Karena ketidaksepahaman proses ini, akhirnya pihak kecamatan mengambil inisiatif (entah karena kesal atau apa?) dengan menyampaikan sebuah kalimat sekarang kita hitungan bisnis saja, berapa pihak perusahaan sanggup bayar untuk menyelesaikan persoalan ini ? “. Proses ini akhirnya untuk sementara waktu terhenti, karena tidak ada kesepahaman dalam tahapan penyelesaian konflik maupun biaya yang diinginkan pihak kecamatan.

[14] Pergantian top management kebun/perusahaan, sejauh yang dapat saya pahami merupakan salah satu sumber terlambatnya proses penyelesaian konflik antara masyarakat dan perusahaan. Hal ini sangat disadari oleh tokoh-tokoh desa dan koperasi, dalam pandangan mereka “ yang baru nanti dapat saja berkilah itu terjadi bukan pada masa kepemimpinan saya, dan saya harus mempelajari ulang hal tersebut “. Dan secara internal dapat dilihat sebagai sumber konflik terhadap structure perusahaan, dalam derajat tertentu menimbulkan “keserahan suasana kerja” . Karena pergantian top management cenderung diikuti oleh keluar dan masuknya orang-orang (karyawan) dalam jejaring/klik disekitarnya (top management).

[15] Dalam surat persetujuan keserjasama antara koperasi dan perusahaan disebutkan bahwa TM yang jatuh tempo adalah tanaman yang masuk kedalam hitungan tanam 49 bulan. 30 % biaya pemeliharaan dan 3 % untuk biaya penggelolaan. sisanya 67 % untuk membayar angsuran ke pihak Bank dan pendapatan bersih koperasi. Saat ini belum ada kesepakatan yang tetap antara perusahaan, Bank dan Koperasi mengenai presentase pembagian 67 % untuk poin angsuran Bank dan Pendapatan bersih Koperasi. Padahal terhitung Juli 2007 di blok HGU salah satu Koperasi telah terdapat tanaman jatuh tempo 49 bulan. Dan itu belum dibayarkan kepada pihak koperasi. Hal ini sebenarnya melanggar ketentuan yang disepakati dalam surat perjanjian kerjasama antara perusahaan dengan koperasi, dimana disebutkan koperasi berhak menerima pendapatan dari penjualan bersih tandan buah sawit setelah koperasi memperoleh kredit dari bank dan atau pihak ketiga, paling lambat 1 bulan sebelum kelapa sawit berumur 49 bulan. Padahal secara teknis pihak perusahaan bisa melakukan inisiatif teknis lain untuk ini dan tetap memberikan apa yang telah menjadi hak petani/koperasi sesuai ketentuan yang ada. Dari sisi perusahaan kendalanya ditenggarai belum koneksnya pihak perusahaan dengan Bank dalam menentukan nilai investasi perhektar yang menjadi tanggungan hutang koperasi.

[16] Koperasi yang ada belum berjalan sebagaimana ketentuan yang ada, lebih tampak secara legalitas formal.Sedangkan demokratisasi desa muncul manakala penetapan kepala keluarga yang berhak mendapatkan bagian lahan dari kebun sawit kemitraan dan tergabung dalam lembaga koperasi, kreteria dan penetapan KK nya dilaksanakan dengan tidak transparans dan terkadang mau tak mau juga harus mengakomadasi kepentingan kategori sosial lain diluar desa seperti pejabat – pejabat institusi tertentu dalam lingkup yang lebih luas. Kondisi ini memperlihatkan lemahnya akses penduduk setempat pada sumber daya dan proses pengambilan keputusan ditingkat desa. Sedangkan konflik internal tokoh desa lebih tampak sebagai wujud dari persaingan politik dan ekonomi. Dari segi politik, muncul dalam bentuk mencari pengaruh untuk kepentingan pemilihan/ pencalonan posisi kepala desa (disebut datuk) maupun pasca pemilihan. Sedangkan secara ekonomi sebenarnya juga terhubung dengan penjelasan ekonomi, karena posisi Kepala Desa walaupun tidak memiliki gaji yang besar dari pemerintah. Tapi posisi ini dinilai cukup strategis terhadap peluang-peluang ekonomi dan informasi yang masuk ke desa. Terutama interaksi desa dengan perusahaan di sekitar desa. Hal ini diungkapkan oleh seorang mantan kepala desa dalam sebuah pembicaraan santai dikedainya.

[17] Ada surat lintas koperasi mitra tentang penyelesaian konflik antara perusahaan dan masyarakat/koperasi, dimana dalam surat tersebut disebutkan bahwa solusi dari kemandegan proses kemitraan adalah dengan menganti posisi top management kebun.

[18] Fisher (2000 : 7) menyebutkan resolusi konflik sebagai usaha menanggani sebab –sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan bisa tahan lama diantara kelompok –kelompok yang bermusuhan.

[19] Tentang PP dan UU penggelolaan pertanahan /agraria lihat Dedy Ponedy 2000. Sedangkan peraturan perundangan mengenai perusahaan perkebunan lihat Boedi Harsono 1989.

[20] Pengaturan terhadap penggelolaan sumber daya (proverty) dalam bentuk peraturan desa menjadi penting untuk dilakukan pemerintah desa sebagai upaya pembaruan tata pemerintah lokal. Upaya ini terutama menyangkut persoalan-persoalan yang melingkupinya : 1). sebagai bagian dari wilayah tradisional / asal –usul, 2). sumber kesejahteraan/capital, 3). sumber kekuasaan, 4). sumber konflik laten dan manifest(nyata).

[21] Lihat Dadang Juliantara , Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah dalam Pelayanan Publik, Yogyakarta : Pembaruan 2005.

[22] Lihat Sukanto & Ratih, Fungsionalisme dan Teori Konflik, Jakarta : Sinar Grafika 1988

[23] Lihat artikel Paradigma (Baru) Community Development Bagi Perusahaan, tidak terdapat keterangan penulis dan penerbit. Kegiatan yang akan dilakukan pengorganisirannya Sepintas lalu mirip seperti yang dilakukan oleh NGO Surf-Aid, yang focus terhadap isu kesehatan. Surf Aid di Kepulauan Mentawai focus terhadap Malaria dan Revitalisasi Pos Yandu, yang disuffort perusahaan clothing seperti Billabong, Ripcurl dll. Lokasi-lokasi dampingan Surf Aid, dipusatkan diwilayah/spot lokasi surfing. Khusus di Katiet –Sipora lokasi dampingan surf Aid berdiri sebuah kotage atas investasi asing. Dalam pelaksanaannya Surf –Aid juga bekerjasama dengan Dinas terkait, seperti Dinas Kesehatan dan Kader-kader kesehatan Desa.